Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ini Takdir Kita
Rizki menemui Anya di tempat kerjanya, siang hari saat jam istirahat. Anya sama sekali tidak memasang wajah khawatir atau pun semacamnya, meski ia telah tahu niat Rizki menemuinya hari ini.
"Katakan apa yang ingin Mas katakan!" ucap Anya memulai obrolan.
"Bagaimana kabar kamu, Anya?" tanya Rizki, dia tidak mau langsung ke topik utama, alasan dan tujuannya menemui Anya tidak akan dia katakan sekarang.
"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja, Mas." Anya tersenyum. Rizki tahu, ada rasa sakit dan sedih yang disembunyikan oleh gadis di depannya saat ini.
"Beberapa waktu lalu mama datang ke rumah kamu ka_"
"Dan tante sudah tahu semuanya!" potong Anya.
"Maafin aku, kita enggak bisa melanjutkan hubungan ini." Rizki menundukkan kepalanya, ia memendam rasa bersalah mendalam terhadap Anya.
Anya membisu, ingin mengeluh dan mengumpat marah, tapi ia tak bisa. Begitu lama menunggu untuk hari bahagia ini, tapi itu semua dibuat hancur oleh adiknya sendiri.
Dia ingin menyalahkan Rizki karena tidak bisa memilih, Rizki yang juga dilema dengan keadaannya.
Sekeras mungkin Anya berusaha menahan tangisnya, tapi dia tidak mampu, terlalu banyak beban yang menindih tubuhnya.
"Kamu udah janji sama aku, Mas. Jujur, aku kecewa," akhirnya kata itu berhasil keluar dari mulutnya.
"Aku juga enggak bisa berbuat apa-apa, Anya. Aku enggak sanggup nolak keinginan mama dan papa. Mereka orang tua aku, yang aku perlu adalah restu dari mereka," ucap Rizki parau.
"Aku menolak setiap lelaki yang datang melamar hanya untuk menunggu kamu, Mas. Aku menunggu bertahun-tahun, tapi ini akhirnya." Anya tergugu, air matanya tumpah ruah.
Beningan kristal itu jatuh bergulir membasahi pipinya yang semakin pucat, hari ini Anya kurang sehat, tapi ia tetap memaksakan diri bekerja.
Tubuh sedang tidak sehat begitu juga dengan batinnya, semua sedang tidak baik-baik saja.
"Anya, aku tidak pernah menyuruh kamu untuk melakukan semua ini. Itu kesalahan kamu sendiri, kenapa menolak mereka!" ucap Rizki dengan nada sedikit tinggi. Entah kenapa, obrolan yang tadinya datar dan tenang, mendadak menjadi berapi seperti ini.
Mungkin karena mereka sama-sama merasakan kecewa dengan kenyataan.
"Karena aku teringat kamu, aku takut, Mas. Aku takut kamu kecewa, aku cuma berusaha menjaga perasaan kamu, tapi kamu tidak berusaha memperjuangkan hubungan ini." Anya yang sudah terlalu sedih, sampai-sampai tidak bisa berpikir jernih, ia malah menyalahkan Rizki, padahal cowok itu sudah mencoba semampunya. Namun, tetap saja tidak bisa, hubungan itu tidak akan berakhir bahagia tanpa restu dari orangtuanya.
"Anya!" sentak Rizki, "aku sudah berusaha, dan apa kamu tahu, karena memperjuangkan kamu, melawan mama, tidak mengikuti keinginannya, kamu tahu apa yang terjadi? Mama jatuh dari tangga saat berusaha ngejar aku yang ingin menemui kamu, dan sampai sekarang mama masih koma di rumah sakit. Kamu pikir aku tidak berusaha? Aku sudah berusaha semampuku!" ucapnya lantang, "tolong, aku memohon dengan sangat sama kamu, Anya. Tolong jangan persulit aku lagi," sambung Rizki dengan suara yang lemah dan penuh kesedihan. Ucapannya itu sukses membuat Anya semakin larut dalam kesedihan, ini sudah menjadi takdir dari perjalanan hidup mereka.
Seperti apa pun memaksa, seerat apa pun digenggam sesuatu yang tidak ditakdirkan untuk kita tetap akan pergi.
Jangan terlalu berharap, cintai sewajarnya jika kamu tidak ingin kecewa. Jika cinta kepada seorang insan lebih besar daripada cinta kepada Sang Pencipta, maka sudah pasti kekecewaan yang akan kita rasa.
Melepaskan dengan ikhlas adalah cara terbaik menurut Anya, saat ia sudah tidak mampu menggenggam apa yang selama ini dijaganya.
Biar ia dimiliki orang lain, cinta tidak melulu soal harus memiliki, kadang kita harus melepaskannya dan membiarkan dia bahagia dengan yang lain, itu juga bentuk dari cinta. Anya ridha dan ikhlas akan apa yang telah Allah takdirkan untuknya, dia tidak akan lagi mengharap Rizki bisa menjadi imamnya, apa yang telah pergi tentu akan Allah ganti dengan yang lebih baik.
"Maafkan aku, Mas." Anya tertunduk lemah, dia tahu ini salah. Tak seharusnya terlalu berharap, mestinya dia sadar diri. "Mas, kita cukup sampai di sini. Makasih untuk semuanya, aku doain yang terbaik untuk kebahagiaan kamu. Penuhi keinginan mama kamu, restu kedua orangtua lebih penting, jika dia yang dipilihkan untuk kamu, berarti dialah yang terbaik. Semua orangtua di dunia ini pastinya menginginkan yang terbaik untuk anaknya," ucap Anya, dia menggigit bibirnya kuat-kuat, agar tangisnya tak pecah dan terdengar pilu. Meski air mata terus saja bergulir tak terbendung, tapi Anya masih bisa bersikap tenang.
Rizki sama sekali tidak menatap Anya, dia tidak berani dan tidak sanggup melihat kesedihan di mata perempuan yang dicintainya.
Tidak ada kata yang keluar, rasanya lidah pun sudah membeku, hanya hatinya yang terus bicara dan menangis pilu.
"Kita sudah kenal cukup lama, tidak pernah bertengkar, dan selalu terbuka satu sama lain. Meski beberapa tahun jarang berkabar, tapi kita tetap saling menjaga dalam setiap doa kan. Allah tahu mana yang terbaik untuk kita, Mas. Jadi, aku harap tidak ada dendam di antara kita dengan berakhirnya cerita ini." Anya berhenti bicara, ditariknya napas panjang, ia terus memperhatikan wajah Rizki, mungkin itu untuk yang terakhir kali mereka bertemu. "Aku pergi, Mas. Assalamualaikum!" ucap Anya untuk yang terakhir kali, gadis itu kembali masuk dalam kafe untuk melanjutkan lagi pekerjaannya.
Sedangkan Rizki masih terpaku dengan mata berkaca-kaca. "Waalaikumsalam," ucapnya saat Anya sudah tidak ada lagi di sana.
Ditatapnya pintu belakang kafe Windi, pintu itu kembali tertutup setelah kepergian Anya. Rizki masih belum ingin beranjak dari sana, ia ingin menikmati sisa-sisa waktu terakhirnya di tempat itu, karena esok dan seterusnya mungkin dia tidak akan pernah lagi ke sana untuk menemui Anya atau pun mencari tahu kabarnya.
***
"Eh, lo berdua! Di mana bos kalian yang sok pahlawan itu, hah? Suruh dia ke sini, suruh lepasin gue!" teriak Arya, dari semalam dia terus menjerit-jerit. Sudah dua hari di sana, tapi Anya dan Windi belum juga datang untuk menemuinya.
"Banyak omong ni bocah!" ucap salah satu anak buahnya Windi.
"Gimana menurut lo, bro. Apa kita habisi saja ni anak?" tanya teman di sebelahnya.
"Jangan dulu, belum ada aba-aba dari si bos. Kita tunggu si bos datang dulu," jawab orang yang berbadan lebih besar lagi.
Mereka berdua menatap Arya dengan sorot mata tajam dan mematikan. Arya mulai bergidik ngeri, jika sesuatu terjadi padanya maka tidak akan ada yang bisa menolongnya, bagaimana kalau dia dibunuh dan kemudian jasadnya dibakar? Sudah pasti tidak akan ada keluarga yang dapat menemukan jasadnya.
Arya semakin takut saat pikiran-pikiran buruk itu muncul di otaknya.
Tanpa pikir panjang lagi dia langsung ingin membuat kesepakatan dengan mereka.
"Jangan apa-apain gua!" ucap Arya saat mereka berdua mulai berjalan mendekat.
"Tergantung perintah dari bos kita," balas mereka, keduanya tersenyum melihat wajah ketakutan Arya.
"Oke! Oke! Gue mau buat janji sama bos kalian, katakan sama dia, gue mau lakuin apa aja yang dia mau asalkan dia ngebebasin gue dari sini."
"Oke, keputusan yang bagus!" Lelaki itu kemudian segera menelpon Windi, memberitahukan apa yang barusan dikatakan oleh Arya.
Terdengar suara Windi yang bersorak gembira di ujung sana, ia segera memanggil Anya untuk berangkat menemui Arya setelah kafe ditutup.
"Dasar orang-orang bodoh!" sinis Arya dalam hati, dia tersenyum kecil dengan ujung bibir ditarik ke atas. Tampak senyuman yang mencurigakan, kali ini entah apa yang sedang direncanakan oleh cowok itu.