"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Yani berpikir setelah kejadian kemarin, para iparnya akan menyerah datang ke sana. Atau setidaknya mereka datang memang untuk menjenguk Hamid, saudara mereka dan bukan lagi untuk mempermalukan mereka di depan banyak orang.
Mereka tidak tahu saja jika sejak mereka pergi dari sana kemarin, beberapa orang yang sempat menyaksikan kejadian itu selalu menatap Yani dengan tatapan yang sulit Yani artikan. Namun Yani tahu jika kebanyakan pandangan itu seperti sedang menghakiminya. Sungguh itu membuatnya sedikit banyak tidak nyaman di sana.
Dia sudah meminta untuk pulang atau rawat jalan saja, tapi dokter belum mengizinkan sebab operasi yang dijalani Hamid termasuk operasi besar.
Yani hanya bisa menghela napas berat ketika melihat Radit dan Rania masuk ke dalam ruang rawat Hamid. Dari raut wajahnya, Yani bisa menebak jika mereka datang bukan untuk minta maaf. Entah apa lagi yang akan mereka katakan kali ini, yang pasti tidak akan jauh dari masalah Asya yang menjadi seorang penyanyi.
"Asya pergi nyanyi lagi?" tanya Radit saat melihat hanya ada Luna di sana. Lihat! Bahkan dia sama sekali tidak menanyakan kabar adiknya. Jika tidak bisa tulus setidaknya hanya sekedar basa-basi pun sudah cukup. Sayangnya itu pun tidak bisa mereka lakukan.
"Iya." Bukan Yani yang menjawab tapi Hamid.
"Kamu itu emang pengen keluarga kita sial ya?" kata Rania dengan nada suara yang naik beberapa oktaf.
"Emangnya kenapa sih, Mas, Mbak? Anakku itu cuma kerja. Jual suaranya. Bukan jual diri. Kenapa kalian tega mengatakan Asya membawa sial kayak gini?" tanya Hamid. Jujur saja sejak kedua kakaknya itu muncul dia sudah sangat kesal. Ditambah kata-kata mereka yang seakan tidak punya filter membuat pria yang masih terbaring sakit itu emosi. Sudah cukup kemarin dia menghina Asya, dia tidak akan membiarkan kejadian yang sama terulang dua kali.
Radit dan Rania tertawa remeh mendengar pembelaan Hamid untuk anaknya.
"Itu menurut kamu. Tapi, menurut kami dan orang-orang di luar sana, Asya itu sudah mempermalukan nama baik keluarga. Tidak pernah loh, Hamid, di dalam keluarga kita ada yang kerjaannya serendah Asya," ujar Rania menatap penuh kemarahan adik dan adik iparnya itu. Wanita itu juga menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Mungkin saja Hamid lupa karena hidupnya yang terlalu miskin sekarang.
"Kenapa kami harus selalu mendengarkan kata orang? Sedangkan saat kami susah tak satupun dari mereka yang peduli." Kali ini Yani yang bicara dengan lantang.
"YANI!!!" pekik Rania tidak terima dengan ucapan Yani. Sungguh dia tidak pernah bisa menerima jika Yani yang membantah ucapannya. Menurutnya orang seperti Yani itu tidak punya hak untuk membantah.
"Kenapa? Apa yang saya katakan salah?" Namun Yani akan terus menantang ucapan para iparnya itu. Lagipula tidak ada hukum resmi untuk itu. Jangan karena Yani dan keluarganya tidak bergelimang harta mereka berhak menginjak-injaknya.
Radit dan Rania sama sekali tidak menyangka jika Yani bisa seberani ini melawan mereka sekarang. Padahal dulu, mau mereka berbuat apapun mereka tidak pernah marah. Yani dan Hamid hanya bisa menangis setiap kali saudaranya bicara.
Ya itu dulu. Saat Yani dan Hamid belum memiliki apa-apa dan tinggal bersama orangtua Hamid. Saat itu adalah saat paling menyakitkan dalam hidup Yani dan Hamid sebab mereka benar-benar tidak punya apa-apa. Jika saudaranya memperlakukan tidak baik Yani dan Hamid masih bisa menahannya. Namun jika sudah mencakup buah hati mereka, Yani dan Hamid tidak akan tinggal diam.
Seperti dulu pernah Rania sempat ingin mencelakai Asya saat masih kecil. Wanita itu salah paham dan menuduh Yani ingin meracuni putranya. Padahal Yani tidak melakukannya. Terlintas dalam pikirannya saja tidak pernah. Hal itu membuat Rania marah dan hampir menyakiti Asya. Untung saja Hamid segera datang dan membawa anak dan istrinya untuk menginap di rumah Paman dan Bibi Hamid untuk beberapa hari sebelum mereka pulang lagi ke rumah orangtua Hamid yang dikuasai oleh saudara-saudaranya.
Dan setelah akhirnya Hamid dan keluarga diusir dan pergi dari rumah itu, tidak pernah ada masalah lagi antara mereka. Keluarganya pun terkesan acuh tak acuh dan tak peduli, hingga hanya karena Asya bekerja sebagai seorang penyanyi, mereka kembali mengusik keluarga Hamid. Namun seperti dulu, Hamid dan Yani pun tidak akan membiarkan mereka menyakiti Asya.
"Kami bukan kalian yang punya banyak uang dan bisa menyekolahkan anak kalian sampai punya pendidikan yang tinggi." Yani menyindir Sarah, anak Radit yang selalu saja dibanggakan karena bisa kuliah.
"Namun percuma punya pendidikan tinggi tapi digunakan untuk membodohi orang tua, bahkan menyebarkan berita yang tidak benar."
Radit sudah mengepalkan tangannya seperti ingin menghajar Yani. Si4lan! Berani sekali dia menghina putrinya yang berharga.
"Jaga ya mulutmu, Yani. Sarah gak seperti itu!" protes Radit.
Yani mendengus pelan melihat reakasi pria itu.
"Kami akui kami juga bukan orangtua yang bisa memenuhi segala keinginan anak-anak kami. Mereka harus bersusah payah bekerja untuk membeli apa yang mereka inginkan." Kali ini Yani menyindir anak-anak Rania.
"Ya itu derita kalian," timpal Rania mencibir.
"Namun hal itu membuat kami bangga karna anak-anak kami jadi sosok yang giat dan rajin. Bukan malah bermalas-malasan tinggal di rumah dan hanya memainkan ponselnya, menunggu ibunya yang sudah seperti pembantu menyediakan seluruh kebutuhan yang sebenarnya bisa mereka lakukan sendiri."
Rania yang awalnya tersenyum kini menatap Yani dengan tatapan kesal juga. Ingin menimpali namun dia tidak tahu harus berkata apa sebab apa yang dikatakan oleh Yani itu benar adanya.
"Kenapa kalian tidak mengurus anak kalian masing-masing saja tanpa ikut campur masalah keluarga kami? Kalian juga belum menjadi orangtua yang telah berhasil mendidik anak kalian dengan baik," ujar Yani.
"Yani, kamu benar-benar sudah keterlaluan," kata Radit.
Hamid tertawa remeh. "Sekarang kalian tau kan gimana rasanya saat mendengar anak kita dihina?"
Ya. Tujuan Yani membeberkan semua itu memang untuk melihat bagaimana reaski kedua kakak iparnya. Ternyata mereka sama, tidak terima ketika anak mereka dihina.
Yani bukannya tidak bersyukur jika seseorang atau keluarga perhatian pada keluarganya namun mereka adalah sebuah pengecualian. Bukannya membantu, mereka hanya bisa memperumit keadaan. Bantuan terbaik yang bisa mereka lakukan hanyalah diam dan tidak ikut campur.
Kaduanya pun pergi dari sana tanpa berkata apapun lagi. Kendati demikian tetap saja keduanya melancarkan rencana yang sebenarnya sudah mereka siapkan untuk keluarga Hamid. Mereka tidak akan membiarkan keluarga mereka dihina begitu saja tanpa pembalasan.
'Lihat saja! Kalian akan menyesal sudah berkata seperti itu.'
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,