“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Mak Syam meraih lengan sang anak, menggenggam hangat telapak tangan Amala yang terasa kasar. Pekerjaan berat yang ditekuni oleh putrinya, membuat telapak tangannya terdapat kapalan. Sehari-hari Amala berteman dengan benda tajam seperti; pisau deres, sabit, cangkul, parang babat, dan alat tani lainnya. Hal itu menyebabkan kulitnya menjadi kasar dan jauh dari kata mulus, bahkan kulit kakinya terdapat beberapa bekas luka tahunan yang belum hilang.
“Kita datang ke sana sebagai tamu undangan, bukankah mereka menyamakan kita sama seperti lainnya. Jadi, nanti kita perginya sama-sama saja dengan warga desa,” beritahu Mak Syam.
Tadi pagi utusan orang tuanya Yasir. Mengantar nasi punjungan, mereka menyamakan kedudukan Mak Syam sama seperti lainnya. Yang diundang melalui satu rantang makanan berisi nasi dan lauk pauk. Sedangkan Amala diundang lewat kartu undangan.
Amala menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu. Dia mengeratkan genggaman mereka, sakit itu masih terasa bahkan bertambah saja setiap harinya. Berusaha ikhlas bukanlah perkara mudah, ini tidak lagi tentang perasaan pribadinya. Lebih ke harga diri dan martabat keluarganya, mereka benar-benar dibuat tidak punya muka.
“Mak, besok pagi pergi nyekar yuk?” ajaknya, dia merindukan sosok ayahnya. Dulu semasa pahlawannya itu masih hidup, kehidupan mereka begitu manis. Pak Abidin, sosok yang humoris, begitu menyayangi istri dan anak-anaknya.
Namun, kepergian pak Abidin yang begitu tiba-tiba. meninggalkan duka mendalam bagi Amala, yang ketika itu masih berumur 10 tahun dan Nirma 9 tahun.
Pak Abidin meninggal akibat penyakit angin duduk. Selepas kepergian kepala keluarga, Mak Syam lah yang menggantikan peran menjadi ibu sekaligus seorang ayah. Merangkap sebagai tulang punggung keluarga.
Dulu melihat ibunya bekerja begitu keras, Amala tak sampai hati. Sewaktu umurnya 12 tahun lebih dan baru saja lulus SD. Gadis kecil beranjak remaja itu memutuskan untuk tidak lanjut sekolah. Amala membantu sang ibu menggarap ladang, dia juga belajar gigih bagaimana caranya menyadap karet.
Tubuh kurusnya, bahu ringkih nya, dipaksa kuat memikul ember-ember berisi getah karet, kepala kecilnya dipaksa menjunjung karung berat berisi hasil panen. Amala terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya.
Sementara Nirma hanya fokus pada pendidikan. Selepas belajar, dia akan pergi bermain bersama teman sebayanya.
Nirma memiliki kulit sensitif. Setiap kali ikut ke ladang, dia pasti akan mengeluh lantaran tidak kuat gigitan nyamuk hutan, panasnya terik matahari. Nirma juga tidak pandai merawat rumah, dia paling malas bila disuruh menyapu halaman yang sangat luas, memasak pun dirinya tidak bisa dan enggan belajar.
Pekerjaan rumah pun dikerjakan oleh Amala, begitu juga dengan memasak. Rasa masakan Amala begitu lezat, selain pintar mencari uang dia juga ahli menghidangkan makanan enak.
“Iya, besok pagi kita mengunjungi rumah peristirahatan bapakmu.” Mak Syam mengelus lengan Amala yang tertutup kaos panjang.
“Ya sudah, Amala mau menggiring Kambing dulu ke tempatnya bang Agam. Semoga laku mahal.” Amala mengenakan kembali sandal yang tadi terlepas dari kakinya.
“Mamak ikut, Mala!”
Mak Syam dan juga Amala, masing-masing menarik tali tambang yang terikat di leher Kambing jantan berukuran lumayan besar. Mereka membawa hewan itu ke samping rumah Agam. Di sana terdapat kandang besar nan luas yang berisi puluhan ekor Lembu dan juga Kambing.
“Makmur sekali kehidupan nak Agam, ya Mala?” Mak Syam begitu takjub, memandangi tanah luas yang terdapat bangunan rumah megah, puluhan kandang ternak, warung sembako, gudang penyimpanan dekorasi pesta, lumbung padi, gudang sayur dan buah-buahan. Belum lagi kendaraan pribadi anaknya Nyak Zainab, yang lebih dari 10 unit terdiri dari mobil, truk, pickup, motor, bahkan ada juga becak motor.
“Nyak Zainab dan anak-anaknya adalah keluarga yang dermawan, Mak. Jadi, tidak heran kalau Allah melimpahkan rahmat-Nya berupa harta berlimpah. Mereka keluarga yang taat agama, sifat dan sikapnya juga tidak tercela,” puji Amala.
“Kamu benar, Mala. Dari zamannya bapaknya Nak Agam masih hidup, keluarga mereka sudah kaya dan dermawan. Setelah Beliau tiada, dan diteruskan oleh Nak Agam, kekayaan mereka bertambah pesat. Anak pertama Nyak Zainab itu sangat pandai dalam berdagang, bertani maupun berbisnis,” Mak Syam ikut memuji. Amala mengangguk menyetujui.
“Assalamualaikum, Mak Syam.” Agam berjalan mendekati sosok tetangganya.
“Walaikumsalam,” jawab mereka serempak.
Amala menunduk dalam, dia memberikan tali kekang kepada sang ibu. Kemudian Amala mundur selangkah ke belakang, plastik hitam yang sedari tadi dia bawa pun masih dipegang erat. Mau memberikan langsung, tetapi malu.
“Mak, Mala masuk ke warung ya,” pamitnya pada sang ibu. Mak Syam mengiyakan, dia paham betul kalau putri sulungnya ini memiliki rasa malu yang tinggi. Mak Syam tidak tahu saja, kisah naas sekaligus lucu anak sulungnya jika bertemu dengan Agam.
Agam melirik pada sosok yang berjalan cepat, memasuki warungnya.
Mak Syam pun mengutarakan maksudnya, terjadilah percakapan seputar harga dan memeriksa dua ekor Kambing jantan. Agam tidak sendirian ada dua orang pekerjanya yang ikut membantu.
“Amala,” seru Wahyuni, ia sedang bermain dengan putri semata wayangnya.
“Hai Siron, cantik sekali anak sholehah ini.” Amala mengelus lembut pipi kemerahan bayi perempuan berumur 3 tahun.
“Maci … Makwa La,” Siron tersenyum lebar sampai barisan gigi kecilnya terlihat.
“Kembali kasih Sayang.” Amala mengusap pucuk kepala Siron yang tertutup hijab instan berwarna pink.
“Kelihatannya warung lagi ramai ya, Yun?” tanya Amala, dia mendengar suara pembeli saling bercengkrama.
“Alhamdulillah selalu ramai, Mala,” jawab Wahyuni, saat ini mereka sedang berada di ruang istirahat warung bang Agam.
“Alhamdulillah,” balas Mala.
Kehidupan Wahyuni sangat makmur, suaminya memiliki toko emas besar di kota kecamatan. Yuni juga membantu sang abang mengelola keuangan bisnisnya. Anak kedua dari tiga bersaudara ini lulusan sarjana akuntansi. Rumahnya juga besar dan berdekatan dengan rumah bang Agam.
“Nyak Zainab kapan pulang, Yun?”
“Masih lama kelihatannya. Meutia saat ini tengah hamil muda, sementara suaminya seorang dokter di rumah sakit umum yang sering mendapatkan panggilan darurat, dia diharuskan siap sedia kapan saja. Itulah yang buat Nyak enggan meninggalkan Meutia seorang diri, walaupun ada Bibi yang menemani,” ungkap Wahyuni.
Amala mengangguk paham.
“Makwa La, tolong tepuk-tepuk,” pinta Siron.
“Jangan mau mak wa,” Yuni menggoda putrinya.
Siron pun kesal, dia yang semula sudah berbaring di atas busa kasur sampai terduduk dan menarik tangan Amala. Meminta agar bokongnya ditepuk-tepuk. “Ibu, nakal!”
Amala tersenyum lebar, dia membenarkan posisi duduknya agar nyaman menepuk bokong montok Siron, yang sedang ngedot susu.
“Kalau sudah ada kau, aku dilupakannya,” sungut Wahyuni, anaknya memang manja bila berdekatan dengan Amala.
“Ya karena aku tidak suka menjahilinya. Tidak sepertimu dan juga Dhien, apalagi Meutia,” papar Amala. Mereka pun jadi tertawa kecil.
“Wahyuni, boleh aku meminta tolong …?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu