Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Keputusan di Ujung Cahaya
Elarya berdiri di tepi tebing, memandang jauh ke bawah ke jurang yang menganga di depan mereka. Angin malam berhembus lembut, membawa harum tanah basah dan daun-daun yang bergoyang. Cahaya bulan yang temaram memantul di permukaan air yang jauh di bawah, memberi kesan dunia ini lebih luas daripada yang ia bayangkan. Namun, meski dunia ini terbentang begitu luas, Elarya merasa ada sesuatu yang mengikat dirinya pada tempat ini, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar takdir.
Kael berdiri di sampingnya, diam, tidak mengatakan apapun. Hanya ada keheningan di antara mereka, sebuah kedamaian yang tercipta setelah pertempuran batin yang mereka hadapi bersama. Meski Elarya bisa merasakan tubuhnya lelah, pikirannya penuh dengan gambaran-gambaran yang membingungkan tentang kekuatan dalam dirinya—kekuatan yang selalu ia anggap sebagai segel cahaya yang harus dijaga, tetapi kini ia tahu bahwa itu lebih dari sekadar kekuatan. Itu adalah bagian dari dirinya, bagian yang harus ia peluk, bukan dikendalikan.
“El,” Kael akhirnya bersuara, suaranya lembut namun penuh makna. “Apa yang kau rasakan? Setelah semua yang terjadi, apakah... apakah kau merasa siap menghadapi apa yang akan datang?”
Elarya menundukkan kepalanya, merasakan berat pertanyaan itu. Ia ingin menjawab dengan percaya diri, tetapi setiap kata terasa tersangkut di tenggorokannya. Apakah dia siap? Siap untuk apa? Mengendalikan kekuatan yang masih membingungkannya? Menghadapi kenyataan bahwa takdirnya—takdir mereka—terikat pada kegelapan dan cahaya dalam cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya?
“Aku tidak tahu, Kael,” akhirnya Elarya menjawab dengan suara yang pelan, penuh keraguan. “Terkadang aku merasa aku bisa menghadapinya, tapi di lain waktu, aku merasa seperti aku akan kehilangan kendali. Kekuatan ini—cahaya ini—terlalu besar. Aku takut jika aku tidak bisa mengendalikannya, itu akan menghancurkan semuanya. Bahkan aku sendiri.”
Kael mendekat, menatap Elarya dengan tatapan yang penuh kasih. “Kau tidak sendirian, El. Kau selalu bisa bergantung padaku. Aku akan selalu ada untukmu.”
Elarya menatap Kael, matanya penuh dengan rasa terima kasih yang dalam. Meskipun kata-kata Kael sederhana, namun bagi Elarya, itu berarti segalanya. Selama ini, ia merasa seperti terjebak dalam dunia yang penuh dengan pilihan-pilihan sulit, dan kehadiran Kael—dengan keteguhan dan keberaniannya—memberi Elarya sedikit ketenangan.
“Terima kasih, Kael,” Elarya berkata, suara hampir berbisik. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, tapi aku merasa... aku merasa lebih kuat ketika kau ada di sisiku.”
Kael tersenyum, memandang Elarya dengan hangat. “Kekuatanmu bukan hanya tentang kekuatan fisik atau magis, El. Itu juga tentang hati. Hati yang kau miliki, yang penuh dengan kasih dan keberanian. Itulah yang membuatmu berbeda dari yang lain.”
Elarya menggigit bibir, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang sudah lama terpendam. “Kael... ada sesuatu yang aku harus katakan. Sesuatu yang aku tak pernah ungkapkan sebelum ini.”
Kael menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu kata-kata berikutnya. Elarya merasa ada beban yang begitu berat di hatinya, seolah setiap kata yang akan ia ucapkan akan mengubah segalanya.
“Aku takut, Kael. Aku takut pada apa yang bisa terjadi jika aku tidak bisa mengendalikan segel ini. Aku takut pada kekuatan yang aku bawa—kekuatan yang begitu besar, yang bisa merusak siapa saja yang aku cintai, bahkan mungkin diriku sendiri. Aku takut jika aku tidak bisa melindungimu, atau semua orang yang aku sayangi.”
Elarya menunduk, berusaha menahan air matanya. Kael tidak berbicara, namun ia meraih tangan Elarya dengan lembut, menggenggamnya erat.
“Dengarkan aku, Elarya,” kata Kael dengan suara yang penuh keyakinan. “Kekuatanmu, itu bukan kutukan. Itu adalah bagian dari dirimu yang harus kau pahami. Semua orang yang mencintaimu tidak akan takut pada itu, termasuk aku. Aku percaya padamu, El. Aku percaya kau bisa mengendalikan segalanya.”
Elarya merasakan tangan Kael yang erat menggenggam tangannya, memberi kekuatan yang tidak bisa dijelaskan. Perlahan, ia menatap mata Kael, mata yang penuh dengan keyakinan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih tenang. Kekuatan yang ia bawa dalam dirinya bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Itu adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menerima serta memahaminya, bukan berlari darinya.
Tiba-tiba, tanpa mereka sadari, angin mulai berhembus lebih kencang. Cahaya bulan memantulkan siluet mereka di tanah yang basah. Di kejauhan, suara derap kaki kuda terdengar semakin dekat, dan beberapa sosok terlihat muncul dari dalam kegelapan hutan. Elarya dan Kael terkejut, tetapi mereka tidak panik. Mereka sudah siap dengan segala kemungkinan.
Dari balik pepohonan, muncul sosok yang mereka kenali. Lysander, dengan tatapan serius, berjalan mendekat. Di belakangnya, para prajurit dari kerajaan yang telah mereka kenal.
“Elarya, Kael,” suara Lysander terdengar tegas, meski ada kekhawatiran yang tidak bisa ia sembunyikan. “Kalian sudah sampai di sini. Ini bukan kebetulan. Takdir kalian sudah menanti, dan kita tidak punya banyak waktu.”
Elarya merasa gelisah mendengar kata-kata Lysander, namun ia mengerti apa yang dimaksud. Ini bukan lagi soal menemukan jawaban tentang segel cahaya atau takdirnya. Ini adalah soal pilihan, pilihan yang akan menentukan masa depan mereka semua. Tak hanya hidupnya, tapi hidup seluruh dunia.
“Lysander, apa yang harus kita lakukan?” tanya Elarya, suaranya penuh dengan harapan, meski keraguan masih membayangi.
Lysander menatapnya lama, lalu menggelengkan kepalanya perlahan. “Kita harus mempersiapkan diri, El. Kekuatan yang kalian bawa akan diuji. Dan kita tidak bisa menghadapinya sendirian. Kita membutuhkan lebih dari sekadar cahaya atau kegelapan. Kita butuh persatuan.”
Kael mendekat, berdiri di samping Elarya. “Persatuan... maksudmu, kita harus mencari cara agar semua pihak bekerja sama?”
Lysander mengangguk. “Ya. Kekuatan cahaya dan kegelapan harus disatukan. Hanya dengan cara itu kita bisa menghadapinya. Jika tidak... dunia kita akan terjerumus ke dalam kekacauan yang lebih besar.”
Di saat itu, Elarya merasa sebuah panggilan kuat dalam dirinya. Sebuah panggilan untuk memilih, untuk berdiri tegak di hadapan kegelapan yang semakin mendekat. Tak ada pilihan lain selain menghadapi apa yang datang. Namun, ia tahu satu hal—selama ia bersama Kael, dan mereka bersatu dengan yang lainnya, mereka akan lebih kuat daripada yang mereka bayangkan.
“Jika ini takdir kita,” Elarya berkata dengan keyakinan baru, “maka kita akan menghadapinya bersama.”
Dengan kata-kata itu, Elarya memandang ke horizon yang gelap, siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Elarya berdiri tegak, menatap sosok Lysander dan prajuritnya yang kini mengelilingi mereka. Kabut di sekitar mereka mulai mereda, tetapi atmosfer tegang tetap menggantung, seolah-olah dunia ini menunggu keputusan mereka. Keputusan yang bisa mengubah segalanya.
Lysander, yang sebelumnya tampak begitu tenang, kini terlihat lebih serius. Pundaknya terangkat seolah-olah membawa beban yang berat, dan matanya yang tajam menatap Elarya seakan ingin memastikan bahwa dia siap. Di belakangnya, prajurit-prajuritnya berdiri berjajar, menunggu arahan selanjutnya.
"Elarya," Lysander berkata dengan suara tegas, "Waktu kita semakin sempit. Kekuatan yang kalian bawa bukan hanya ancaman untuk kalian, tapi juga untuk seluruh kerajaan. Aku tahu kalian sudah berjuang keras, tetapi kalian harus memilih. Apakah kalian siap untuk melangkah lebih jauh dan menghadapinya? Tidak ada lagi jalan mundur."
Kael berdiri di samping Elarya, matanya penuh tekad. "Kami siap, Lysander. Kami sudah melewati banyak hal untuk sampai ke sini. Kami tidak akan mundur."
Lysander mengangguk, lalu menatap Elarya. "Apakah kau benar-benar siap, Elarya? Apa yang ada di dalam dirimu lebih dari sekadar cahaya. Itu adalah kekuatan yang bisa menghancurkan dunia jika tidak dikendalikan dengan bijak. Kau harus memilih antara menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan, atau membiarkannya mengambil alih."
Elarya menatap Kael sejenak. Sesaat, hatinya bergetar, dan bayangan masa lalu muncul di benaknya. Masa kecilnya yang tenang, saat ia belum tahu tentang segel dalam dirinya. Saat semuanya terasa mudah dan tak ada yang perlu dipertaruhkan. Namun, sekarang, dia tahu bahwa takdirnya sudah terjalin erat dengan kekuatan ini. Kekuatan yang ia bawa bukan hanya sebuah anugerah, tetapi juga sebuah tanggung jawab yang besar.
"Saya tahu," Elarya akhirnya bersuara, suaranya tegas meski ada gemuruh ketegangan di dalam dirinya. "Kekuatan ini ada dalam diriku, dan aku tidak bisa melarikan diri dari takdirku. Aku akan menghadapinya. Aku akan mengendalikan kekuatan ini, dan aku akan memastikan bahwa itu digunakan untuk kebaikan."
Kael menatapnya dengan bangga. "Aku percaya padamu, Elarya. Kami akan melakukannya bersama."
Lysander mengangguk dengan penuh hormat, meski di matanya terlihat kekhawatiran yang mendalam. "Baiklah. Kita tidak punya banyak waktu. Pasukan musuh semakin mendekat. Jika kita tidak bertindak sekarang, semuanya bisa berakhir. Kami sudah menyiapkan sebuah tempat di mana kekuatanmu bisa diuji, Elarya. Tempat yang dapat membantumu memahami segel dalam dirimu."
Lysander memberi isyarat kepada pasukannya, dan mereka mulai bergerak maju, dengan langkah teratur dan penuh kewaspadaan. Elarya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ini bukan lagi tentang melarikan diri atau bersembunyi dari takdir. Ini tentang menerima kenyataan, berhadapan dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, dan mengambil keputusan yang akan mempengaruhi masa depan dunia.
"Elarya," Kael berkata dengan suara lembut namun penuh keyakinan, "Aku akan selalu di sampingmu. Tidak peduli apa yang terjadi. Kita akan bersama-sama menghadapi apapun yang datang."
Mendengar kata-kata Kael, Elarya merasa sebuah kehangatan menyebar di dalam dirinya. Ia tahu, meski segel dalam dirinya membawa beban yang berat, ia tidak sendirian. Kael ada di sana, dan bersama-sama, mereka akan menghadapinya.
Saat mereka mulai melangkah maju bersama Lysander dan pasukannya, Elarya merasakan energi yang kuat mengalir dalam dirinya. Energi yang bercampur antara cahaya dan kegelapan, yang tidak bisa lagi dipisahkan. Semakin dalam mereka melangkah, semakin kuat Elarya merasakan pengaruh segel yang ada di dalam dirinya. Tapi, kali ini, ia tidak merasa takut. Ia merasakannya sebagai bagian dari dirinya, dan dengan Kael di sisinya, ia merasa siap untuk menghadapinya.
Perjalanan mereka membawa mereka ke sebuah gua besar, tersembunyi jauh di dalam pegunungan. Gua itu begitu gelap, tetapi cahaya yang dipancarkan oleh segel Elarya menerangi jalan mereka. Saat mereka memasuki gua, Elarya merasa sesuatu yang sangat kuat menyelubungi mereka. Ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang menghubungkan mereka dengan kekuatan yang lebih besar.
Lysander berhenti di tengah gua, menatap Elarya dengan serius. "Ini adalah tempat yang kita cari. Di sini, kau akan menghadapinya. Di sini, kau akan mempelajari lebih dalam tentang kekuatan yang ada dalam dirimu."
Elarya menatap gua yang gelap di depannya, dan sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini adalah titik balik dalam perjalanannya. Ini adalah saat ia harus menghadapi dirinya sendiri, dan segalanya akan bergantung pada bagaimana ia memilih untuk mengendalikan kekuatan yang ada di dalamnya.
“Kami akan tetap di sini, Elarya,” Kael berkata, memegang tangannya dengan erat. “Kami akan menunggumu.”
Dengan napas dalam, Elarya melangkah maju, memasuki ruang dalam gua yang lebih dalam. Suara langkahnya menggema di seluruh gua, dan semakin ia berjalan, semakin kuat ia merasakan segel di dalam dirinya berdenyut. Ia bisa merasakannya—kekuatan yang sangat besar, yang telah lama terkunci. Itu bukan hanya cahaya, bukan hanya kegelapan. Itu adalah keduanya.
Segala macam gambaran dan suara mulai muncul dalam benaknya—gambar-gambar dari masa lalu, dari takdir yang tidak bisa dielakkan, dan suara-suara yang menggema, memberitahunya untuk menyerah atau untuk maju.
Akhirnya, ia berhenti di tengah gua, dan dengan satu tarikan napas yang dalam, ia mengangkat kedua tangannya. Cahaya dari segel mulai bersinar lebih terang, dan seketika itu juga, seluruh gua dipenuhi dengan cahaya yang begitu kuat, seakan-akan dunia itu sendiri bergetar.
"Sekarang, Elarya," suara Lysander terdengar dalam pikirannya, "hadapi dirimu sendiri. Hadapi kekuatanmu."
Dengan hati yang penuh tekad, Elarya menutup matanya dan memfokuskan pikirannya pada kekuatan dalam dirinya. Ia merasakan cahaya dan kegelapan bergabung, menari-nari di dalam dirinya, saling berkelindan. Dan di dalam diri Elarya, ia menemukan keseimbangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Kekuatan itu bukanlah sesuatu yang bisa ia kuasai dengan mudah, tetapi ia tahu satu hal: jika ia bisa mengendalikan dirinya sendiri, ia akan bisa mengendalikan segalanya. Dan dengan Kael di sisinya, ia siap untuk menghadapi apapun yang akan datang.