“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Harry mematung. Surat di tangannya terasa lebih panas dari bara api. Matanya membelalak, membaca ulang lembar gugatan cerai itu seolah berharap ada kesalahan cetak. Tapi tidak. Nama penggugat itu jelas: Arawinda.
“Nggak, ini nggak mungkin! Ini nggak bener!” gumamnya, suara tercekat.
Dengan tangan gemetar, ia merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel dan langsung menghubungi nama Ara. Sekali … dua kali … tidak diangkat. Baru pada panggilan ketiga, terdengar panggilan itu tersambung.
“Ara!” suara Harry meledak. “Apa-apaan ini?! Kamu gugat cerai aku?!”
Di seberang, suara Ara terdengar tenang. “Kamu nggak bisa baca, ‘kah? Apa tulisannya terlalu kecil.”
“Kenapa? Kenapa kamu ninggalin aku, Ar? Apa karena aku udah nggak punya pekerjaan lagi?” Dada Harry bergemuruh saat menanyakan hal itu.
Ara malah tertawa di ujung sana, pelan—namun terdengar menyakitkan.
“Karena nggak punya pekerjaan? Harry ... banyak yang kamu nggak punya sebagai suami. Tanggungjawab, kesetiaan ....”
“Ah, jadi ini karena kekhilafan ku itu, ‘kan? Karena perselingkuhan ku yang hanya baru satu kali itu? —Ara, yang namanya berumahtangga, adakalanya kita bosan dengan pasangan kita sendiri. Dan itu wajar—”
“Benar, itu wajar,” potong Ara secepat kilat. “Yang nggak wajar itu, kamu yang nggak mampu menangani hal sesederhana itu. Kalau bicara bosan, tentu aku juga bosan. Tiga tahun menjadi ibu rumah tangga, dan diharuskan melihat wajah suami yang tak pernah bisa melindungi harga diri istrinya. Selain bosan, aku juga muak, Har. Tapi ... nggak pernah sedikitpun terbesit di hati ini untuk menduakan mu!”
“Laki-laki dan perempuan itu jelas beda, Ara! Jangan kamu samakan!” Harry masih tak mau kalah. “Cobalah kamu itu kalau ngambil keputusan dengan kepala yang tenang. Jangan karena dikuasai amarah begini!”
“Hahaha,” Ara tertawa keras, tapi, tawa itu terdengar menyesakkan. “Tentu aku sudah memikirkan semua ini dengan isi kepala yang tenang. Dan, untuk berada di titik ‘perempuan tenang’, aku sudah melewati banyak hal yang menyakitkan!”
Di seberang sana, air mata Ara menetes. Ia terkenang kembali—betapa menyakitkan semua perlakuan buruk yang ia dapatkan bahkan sampai detik ini.
“Kamu tau, Har? Dulu aku kira, aku yang terlalu perasa—terlalu baper. Tapi ternyata ... memang kalian yang terlalu tega.”
“Araaaa, kita omongin ini semuanya baik-baik, ya? Kamu sekarang di mana? Biar aku susul ke sana, hemm?”
Ara kembali tertawa, kali ini lebih pelan.
“Har, konsisten mencintai satu orang adalah seni yang indah dan mahal. Laki-laki semurahan kamu mana paham tentang hal ini. Ngomongin semuanya baik-baik? Kamu nggak paham ya? Semuanya udah nggak baik-baik aja, Har. Dan titik permasalahan semua ini ya dari kamu!”
“Aku cinta kamu, Ar ...,” lirih Harry.
“Dan aku udah enggak!” tegas Ara. “Harry, kamu harus menerima kenyataan, bahwa ada beberapa hal yang nggak akan pernah bisa kembali seperti semula—termasuk perasaan aku ke kamu.”
Harry mulai terisak, tersedu-sedu layaknya bocah yang kehilangan mainannya.
“Dan satu lagi, Har. Jangan pernah kamu datang ke rumah ibuku dan buat onar di sana. Aku sudah nggak tinggal di sana. Kalau aku sampai dengar kamu ataupun ibumu yang berhati malaikat itu mengusik ketenangan ibuku sedikit saja ... aku akan menempuh jalur hukum!”
Sambungan telepon terputus. Harry masih terisak di tempat, menatap layar ponsel yang kini gelap. Napasnya memburu. Surat itu masih di tangannya—selembar kertas, yang mampu membuat perasaannya porak-poranda.
“Nggak bisa, aku nggak bisa diam aja. Aku harus ke kantornya!” Harry beranjak, hendak mencari keberadaan Ara.
Namun, baru satu kali melangkah, pria berwajah sembab itu mengurungkan niatnya. Maniknya membulat sempurna ketika melihat wanita yang berhari-hari ini dihindarinya—kini berdiri di ambang pintu dengan membawa seorang pria yang usianya berbeda jauh.
“Mas ...,” lirih Puspa.
“Kamu yang namanya Harry?!”
...****************...
Mesin ATM mengeluarkan bunyi khasnya. Kartu keluar terlebih dahulu, lalu tak lama uang pun menyusul. Ara memungut segepok uang itu dengan tangan sedikit bergetar. Sudah lama sekali ia tidak menggenggam lembar demi lembar dengan jumlah sebanyak ini—apalagi hasil dari keringatnya sendiri.
“Alhamdulillah ....” Ara menyeka air mata haru yang lancang menetes. Bibirnya bergetar.
Meski sedikit gajinya telah dipotong untuk mengganti kerusakan mobil Elan, sisa yang ia terima tetap lebih dari cukup untuknya. Untuk pertama kalinya dalam sekian waktu, ia merasa memegang kendali atas hidupnya sendiri.
Ia menatap layar mesin ATM yang kini sudah kembali ke tampilan awal, lalu menyimpan uang itu dengan rapi di dalam tas. Tak ada senyuman di wajahnya—hanya sorot mata penuh perhitungan, memikirkan bagaimana caranya agar tumpukan uang itu bisa beranak pinak.
Tak butuh waktu lama, Ara pun menuju ke sebuah toko bangunan di ujung kota. Tempat itu kecil, tetapi lengkap. Seorang pria paruh baya yang ramah menyambutnya dari balik meja.
“Saya mau tanya-tanya, Pak,” kata Ara sambil mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya. “Kalau saya mau bangun kedai kecil … warung sembako dan camilan ringan, gitu. Kira-kira, bahan dasar yang saya butuhkan apa aja ya?”
Pemilik toko tampak antusias. Ia langsung menurunkan kacamata bacanya ke ujung hidung dan mengambil pulpen.
“Luas bangunannya kira-kira berapa meter, Mbak?”
Ara menjelaskan dengan detail—ia sudah menyiapkan sketsa sederhana. Pria itu manggut-manggut dan mulai menuliskan daftar bahan bangunan di atas kertas, sambil memberi saran-saran hemat yang tetap kokoh.
Di tengah aroma semen dan cat tembok, Ara merasa sesuatu yang baru tumbuh di dalam dirinya. Bukan lagi dendam karena menjadi objek hinaan—ataupun kemarahan karena menjadi korban pengkhianatan. Tapi, matanya kini penuh dengan harapan.
“Kapan ingin di kerjakan?” tanya pemilik toko dengan senyuman ramah.
“Dalam minggu ini, Pak.”
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭