Nova Spire, seorang ahli medis dan racun jenius, tewas tragis dalam ledakan laboratorium saat mencoba menciptakan obat penyembuh paling ampuh di dunia. Tapi kematian bukan akhir baginya—melainkan awal dari kehidupan baru.
Ia terbangun dalam tubuh Kaira Frost, seorang gadis buta berusia 18 tahun yang baru saja meregang nyawa karena dibully di sekolahnya. Kaira bukan siapa-siapa, hanya istri muda dari seorang CEO dingin yang menikahinya demi tanggung jawab karena membuat Kaira buta.
Namun kini, Kaira bukan lagi gadis lemah yang bisa diinjak seenaknya. Dengan kecerdasan dan ilmu Nova yang mematikan, ia akan membuka mata, menguak kebusukan, dan menuntut balas. Dunia bisnis, sekolah elit, hingga keluarga suaminya yang penuh tipu daya—semua akan merasakan racun manis dari Kaira yang baru.
Karena ketika racun berubah menjadi senjata … tak ada yang bisa menebak siapa korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Beberapa hari telah berlalu sejak insiden tanaman beracun dan penyadapan diam-diam di kamar mandi. Hari ini, sinar matahari menembus lembut melalui jendela besar kamar VVIP, menerangi seorang gadis muda yang tengah duduk di tepi ranjang rumah sakit.
Kaira Frost atau Nova Spire dalam tubuhnya, telah diperbolehkan pulang.
Wajahnya tampak tenang, rambut panjangnya dikepang rapi oleh seorang pelayan wanita baru yang dengan cekatan merapikan koper-koper kecil milik Kaira. Tidak seperti pelayan sebelumnya yang kasar, wanita ini lebih tenang dan sopan, meski tetap terasa dingin.
“Nona, ini koper terakhirnya,” ucap pelayan itu singkat sambil menutup ritsleting.
“Letakkan di dekat pintu. Aku akan berdiri sendiri,” jawab Kaira pelan, tangannya sudah meraba tongkat putih yang biasa ia gunakan.
Tak lama, pintu kamar terbuka.
“Kaira,” suara dingin itu langsung memenuhi ruangan.
Leonel Frost melangkah masuk dengan setelan gelapnya yang rapi, diikuti Joni di belakang. Tatapannya langsung tertuju pada gadis yang duduk di tepi ranjang, lalu menelusuri ke arah pelayan yang berdiri menunduk.
“Kita pulang,” ucap Leonel singkat, tak menunggu jawaban.
Kaira perlahan berdiri, tongkatnya menyentuh lantai pelan. Meski matanya buta, langkahnya stabil dan tidak terlihat goyah. Gerakannya tenang, bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang buta dan baru pulih dari koma.
Leonel menatapnya tajam, memperhatikan gerakan kecil itu, cara Kaira meraba, cara dia tidak pernah salah melangkah, bahkan ketika mendekati koper di lantai. Kecurigaannya semakin dalam, namun tetap tak menemukan celah.
“Kau sepertinya menatapku seperti aku monster,” ucap Kaira tiba-tiba sambil berdiri tegak di hadapan Leonel.
Leonel mendengus pelan. “Aku hanya memastikan kau tidak akan pingsan di tengah jalan.”
“Sayang sekali, aku masih hidup,” balas Kaira datar, sudut bibirnya naik sedikit.
Joni terbatuk pelan di belakang, suasana terasa tegang, tapi tak seorang pun berani menyela.
Leonel berbalik tanpa berkata apa-apa lagi. “Ayo.”
Dengan pelayan membimbingnya, Kaira berjalan melewati lorong rumah sakit. Banyak orang memandangi mereka, membicarakan pasangan muda itu, seorang CEO dingin dan istri buta yang baru saja keluar dari koma.
Di halaman depan rumah sakit, sebuah mobil hitam mewah sudah menunggu. Joni membukakan pintu, dan pelayan membantu Kaira duduk di kursi belakang. Kaira duduk diam, tangan terlipat di pangkuan. Sementara pelayan duduk di sampingnya.
Leonel mengambil kursi depan, tepat di samping sopir.
Sesaat sebelum mobil berjalan, Leonel menoleh sedikit ke arah belakang melalui kaca spion.
“Kalau kau butuh sesuatu, katakan saja. Aku tidak suka drama.”
“Jangan khawatir. Aku sudah mati sekali, dan aku tidak punya waktu untuk sandiwara murahan.” Kaira menjawab tanpa sedikit pun intonasi emosional.
Leonel menahan ekspresi terkejutnya. Tak biasanya Kaira berbicara seperti itu. Dingin. Menohok. Dan seolah tahu terlalu banyak.
Mobil melaju meninggalkan rumah sakit.
Kaira duduk tenang, wajahnya menghadap ke luar jendela seakan sedang melihat dunia yang tak bisa ia lihat.
Tapi di dalam pikirannya, Nova berkata pelan, "Akhirnya aku keluar dari kandang. Tapi sekarang ... aku kembali ke sarang serigala."
*****
Deru mobil berhenti di depan sebuah mansion bergaya Eropa klasik yang berdiri megah di tengah pekarangan luas. Pilar-pilar besar berwarna putih gading menjulang tinggi, dihiasi tanaman rambat yang tertata rapi.
Pintu mobil terbuka. Pelayan membimbing Kaira keluar dengan hati-hati. Tongkat putih di tangannya menyentuh lantai marmer halus, langkahnya mantap meski tanpa penglihatan.
Langkah-langkah itu menggema di lorong saat Kaira perlahan memasuki mansion.
Terdengar suara tawa dan obrolan dari dalam ruang tamu. Beberapa wanita berpakaian mewah tengah duduk menikmati teh dan kue-kue kecil. Namun, suara mereka langsung mereda begitu menyadari kehadiran seorang gadis dengan balutan pakaian simpel dan penutup mata kain hitam.
"Kaira?" suara seorang wanita terdengar, bernada setengah kaget.
Beberapa wajah yang semula tertawa kini berubah menjadi ramah seketika, seolah tertempel topeng sopan santun.
“Oh, Kaira sayang! Akhirnya kau pulang juga,” seru seorang wanita paruh baya dengan suara lembut namun palsu.
Namun sebelum Kaira sempat merespons, seorang gadis muda dengan gaun pastel berlari kecil mendekatinya.
"Kak Kaira! Aku rindu!" serunya riang, tangannya terulur hendak memeluk.
Namun tepat saat pelukannya hampir menyentuh, Kaira bergeser satu langkah ke kanan. Gerakannya begitu alami, seolah karena naluri. Tapi bagi Maura, itu terasa seperti penolakan telak.
Brugh!
“Akh!” Maura terjatuh ke lantai dengan tubuh menabrak permadani. Bahkan posisi jatuhnya samgata tidak etis dengan dress-nya yang tersingkap sedikit.
“Maura!” suara wanita tua langsung menjerit, berdiri dari kursinya. “Astaga! Sayang, kau tidak apa-apa?”
Suara itu ada bibi dari Leonel, Magenta.
Leonel yang berada tepat di belakang Kaira langsung melangkah cepat, membantu Maura bangkit. Wajahnya tetap datar, namun ada kerutan tipis di antara alisnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Leonel.
Maura menggeleng pelan dengan wajah polosnya. Lalu Maura menatap Kaira dengan mata yang berkaca-kaca. “Kak Kaira … kenapa tega? Kenapa Kakak menghindar? Kakak sengaja membuat ku terjatuh.” ucapnya lirih, seperti terluka.
Kaira menoleh ke arah suara Maura. Wajahnya polos, nada bicaranya datar.
“Aku buta. Mana aku tahu kalau ada orang yang tiba-tiba datang.”
Suasana di ruang utama mansion Frost terasa tegang. Semua orang belum sempat benar-benar mencairkan suasana ketika suara seorang wanita paruh baya memecah keheningan.
"Akhirnya kau pulang juga, Kaira."
Suara itu datang dari Natalia, istri kedua ayah Kaira. Ia duduk anggun di sofa, menyilangkan kaki dengan angkuh, namun senyum di wajahnya tampak dibuat-buat.
Kaira menoleh perlahan, meskipun ia tidak bisa melihat, arah suara itu begitu jelas di telinganya. Tanpa jeda dan dengan suara dingin, ia menjawab, "Tentu. Apa Bibi Natalia lebih mengharapkan aku mati saja?"
Seisi ruangan langsung sunyi. Bahkan suara napas pun seperti ditahan. Beberapa pelayan yang berdiri di sudut saling melirik gugup. Natalia tersenyum kaku, jelas tidak menyangka akan dibalas setajam itu.
"Kaira … kenapa bicaramu seperti itu? Bibi cuma—"
"Bertanya. Iya, aku juga hanya menjawab," potong Kaira dengan nada datar, seolah tidak peduli suasana.
Kaira kemudian berkata dengan mengerutkan keningnya. "Oh, iya. Apa yang kau lakukan di sini Maura?"
Maura yang tadi terjatuh kini berdiri di samping Leonel. Ia melangkah maju, menyamakan tinggi tubuhnya dengan Kaira, meski Kaira lebih tinggi.
Nadanya lembut, seperti biasanya, tapi Kaira bisa mendengar nada manipulatif yang terselip di baliknya.
"Kak Kaira, aku tinggal di sini untuk membantu kakak. Karena kakak tidak bisa melihat … aku hanya ingin menemani."
Kaira menoleh ke arah suara Maura, lalu berkata pelan namun tegas.
"Kalau begitu, sekarang aku tidak butuh bantuanmu."
Maura tertegun. Matanya melebar.
"Apa maksudmu?"
"Aku bilang, kau boleh pulang. Kembali ke mansion keluarga Dorry. Mulai hari ini, aku tidak mau kau ada di sini lagi."
Ruangan kembali membeku. Natalia terbatuk kecil, tapi tidak ada yang berani bicara.
Maura melangkah maju, matanya mulai berkaca-kaca.
"Tapi kak … bukankah ini rumahku juga? Aku tinggal di sini bukan tanpa alasan. Aku cuma ingin—"
"Ingin apa? Menggantikan posisiku? Mengatur rumah ini seolah-olah kau yang jadi nyonya?"
Suara Kaira kali ini terdengar penuh racun.
"Membantu? Selama aku sadar, yang membantuku hanya para pelayan. Kau bahkan tidak pernah datang menjenguk saat aku koma. Di rumah sakit pun aku tidak melihat atau lebih tepatnya, tidak merasakan kehadiranmu. Jadi tolong, jangan bersandiwara di depanku."
Maura mengatupkan bibirnya, tidak mampu membalas. Kaira melangkah pelan ke arah kursi, duduk dengan anggun seperti seorang ratu, meski tongkat masih di tangan.
"Dan satu hal lagi," Kaira menambahkan tajam. "Sikapmu selama ini di rumah ini … seperti istri muda Leonel. Terlalu nyaman, terlalu banyak ikut campur. Kau lupa siapa dirimu."
Natalia berdiri dari tempat duduknya. "Kaira, jaga bicaramu. Maura hanya mencoba membantu—"
"Kalau begitu bantu dia berkemas," sela Kaira tanpa ragu. "Karena aku tidak akan tinggal serumah dengan gadis yang mengincar posisi yang bukan miliknya."
seirinh wktu berjlan kira2 kpn keira akan bis melihat yaaa
ya panaslah masa enggak kaira tinggl di rumah keluarga fros aja panas padahal tau kalo kaira di sana tidak di anggap,apa lagi ini bukan cuma panas tapi MELEDAK,,,,,,