Ava Seraphina Frederick (20) memiliki segalanya kekayaan, kekuasaan, dan nama besar keluarga mafia. Namun bagi Ava, semua itu hanyalah jeruji emas yang membuatnya hampa.
Hidupnya runtuh ketika dokter memvonis usianya tinggal dua tahun. Dalam putus asa, Ava membuat keputusan nekat, ia harus punya anak sebelum mati.
Satu malam di bawah pengaruh alkohol mengubah segalanya. Ava tidur dengan Edgar, yang tanpa Ava tahu adalah suami sepupunya sendiri.
Saat mengetahui ia hamil kembar, Ava memilih pergi. Ia meninggalkan keluarganya, kehidupannya dan juga ayah dari bayinya.
Tujuh tahun berlalu, Ava hidup tenang bersama dengan kedua anaknya. Dan vonis dokter ternyata salah.
“Mama, di mana Papa?” tanya Lily.
“Papa sudah meninggal!” sahut Luca.
Ketika takdir membawanya bertemu kembali dengan Edgar dan menuntut kembali benihnya, apakah Ava akan jujur atau memilih kabur lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Kenzo melangkah cepat keluar dari ruang meeting setelah mendapat informasi kalau di lobby ada sedikit masalah.
Di luar, si kembar sedang berurusan dengan Jeremy dan Kenzo tidak ingin keributan kecil itu mengganggu pertemuan penting ini.
Kenzo percaya bahwa Ava dan Edgar bisa menyelesaikan sisa pembicaraan bisnis mereka.
Pintu tertutup, meninggalkan Edgar dan Ava sendirian di ruang meeting yang sunyi, hanya diterangi oleh pantulan cahaya kota yang masuk melalui jendela kaca.
Suasana di antara mereka sangat canggung.
“Sudah lama bukan?”
“Hmm,” sahut Ava malas.
“Kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?”
“Tidak ada yang perlu aku katakan!”
Ava bangkit danberniat keluar dan mencari Kenzo, atau setidaknya melarikan diri dari tatapan Edgar yang membakar.
Namun, sebelum Ava mencapai pintu, Edgar sudah bergerak. Dengan kecepatan yang tidak terduga, ia sudah berdiri di belakang Ava dan menarik pergelangan tangannya.
“Mau ke mana?” tanya Edgar dengan suara dalam dan serak.
“Bukan urusanmu!” balas Ava, mencoba melepaskan tangannya tetapi cengkeraman Edgar terlalu kuat.
Edgar tidak memedulikan penolakan Ava. Ia menarik Ava kembali ke tengah ruangan dan tanpa peringatan, ia memaksa Ava duduk di pangkuannya.
Posisi mereka begitu intim, dimana tubuh Ava menempel erat pada tubuh kekar Edgar.
“Ed, aku sibuk. Tolong jangan ganggu pekerjaanku!” desis Ava, berusaha keras agar suaranya tidak bergetar.
Edgar seolah tuli. Ia mengabaikan peringatan itu. Matanya terpaku pada wajah Ava.
Dengan gerakan lambat yang penuh dominasi, tangan kanannya bergerak dari pinggang Ava, mengusap paha Ava, naik perlahan hingga mencapai perut bagian bawahnya.
“Tujuh tahun aku terus memikirkanmu, Ava. Bahkan hingga detik ini. Apakah kau sudah melupakan malam itu?” bisik Edgar.
Malam itu adalah malam yang merenggut segalanya dari Ava, malam yang memberinya dua bayi menggemaskan.
“Malam itu? Maksudmu malam apa?” Ava bersikap seolah benar-benar amnesia. “Aku sama sekali tidak ingat—”
Ucapan Ava terpotong. Tangan besar Edgar sudah menyelinap masuk ke dalam rok span pendek milik Ava. Jari-jari panjang dan kuat itu menarik kain rok Ava ke atas, hingga ujung kain itu tersangkut di pinggangnya.
“Edgar, kau mau apa!” seru Ava dengan suara tertahan.
“Mau mengingatkanmu sesuatu,” balas Edgar, matanya yang gelap menatap
Ava dengan tajam.
Tangan besar itu menyelinap lebih dalam, menembus lapisan kain terakhir Ava, hingga menyentuh bagian sensitifnya.
Edgar tidak menunggu, jari-jarinya langsung bergerak, menemukan titik yang paling responsif di sana.
Napas Ava tercekat. Ia menggigit bibirnya sendiri dengan mata terpejam erat, berusaha menahan suara de sa han yang mendesak keluar.
Ava tidak bisa memungkiri, tujuh tahun hidup dalam kesendirian, ia juga merindukan sentuhan itu. Sentuhan yang hanya diberikan oleh Edgar, pria pertama dan satu-satunya yang sudah merenggut kehormatannya.
Melihat Ava tidak memprotes dengan Edgar kembali mengerakkan jarinya. Seolah Egar tahu, kalau Ava menginginkannya kebih dalam.
Edgar segera mengangkat Ava dari pangkuannya dan mendudukkannya di atas meja meeting. Ia berdiri di antara kedua kaki Ava, membukanya lebar-lebar dengan lututnya.
Ava melotot, matanya penuh keterkejutan, tetapi ia tidak mampu menolak pesona suami sepupunya yang luar biasa tampan nan menghoda ini.
Rasa ingin tahu dan rindu mendominasi naluri pertahanannya.
Edgar mendekat, mencondongkan tubuhnya ke depan, hingga hidung mereka bersentuhan. Napas panas Edgar menerpa kulit Ava. Ava sudah bersiap Edgar akan menciumnya, memutus penantian tujuh tahun mereka.
Nyatanya, Edgar malah membisikkan sesuatu di telinga Ava. “Kau tahu, serigala gila itu tidak buruk. Aku suka yang sulit didapatkan.”
Bisikan itu, yang menggabungkan ancaman dan rayuan, membuat Ava semakin tegang. Ia tahu Edgar telah mencurigainya sebagai pencuri, tetapi itu tidak menghentikan pergerakan tangan Edgar di bawah sana.
Tangan Edgar di bawah rok Ava terus bergerak tanpa henti, dengan ritme yang tahu persis apa yang dibutuhkan Ava. Gelombang demi gelombang kenikmatan memukul Ava. Punggungnya melengkung sedikit, kepalanya bersandar ke belakang.
Tepat saat Ava akan sampai ke puncak, hendak mencapai titik pe lepa san yang sangat ia butuhkan, Edgar tiba-tiba menjauhkan dirinya dari Ava.
Seketika, wajah Ava berubah kecewa. Matanya terbuka, menatap Edgar dengan pandangan terluka dan bingung.
Edgar menyeringai dingin, menunjukkan dominasinya yang total. Ia mengangkat kedua jari tangannya, yang kini basah dan berkilauan di bawah cahaya lampu ruangan.
“Apa kau sudah mengingat semuanya, Nona Seraphina?” ucap Edgar, suaranya tajam, mengakhiri momen panas itu dengan sebuah pertanyaan.
Ava memalingkan wajah, menarik rok spannya ke bawah, merapikan dirinya secepat mungkin. Ia berusaha terlihat acuh tak acuh, meskipun tubuhnya masih gemetar karena tindakan Edgar itu.
“Aku tidak ingat!” Ava masih mengelak.
“Cih!” Edgar berdecih. Jadi benar, Ava membuangnya setelah mendapatkan keperjakaannya.
Sialnya, Edgar tak bisa sedikit pun membenci Ava, karena sampai saat ini, Edgar masih menginginkan Ava lebih dari apa pun.
Drrt! Drrt!
Ponsel Edgar yang tergeletak di meja bergetar nyaring. Itu panggilan dari Jeremy.
Edgar menggeser tombol jawab dengan malas, tatapannya tidak lepas dari Ava.
“Tuan, anda harus segera ke lobby! Saya tidak sanggup menghadapi dua bocah ini! Pecat saya, Tuan, pecat!” teriak Jeremy dari seberang telepon dengan suara panik dan memilukan.
Edgar mendengus. Kenyataan sudah menariknya kembali. Ia harus menghadapi dua bocah yang baru ditemuinya tadi.
lanjut kak sem gat terus💪💪💪
apa² jgn² kamu menyukai ivy...
kl iya tamat lah riwayat mu jeremy
untung edgar cocok y coba kl ava ataupun edgar tidak cocok... pastinya mereka disuruh memilik anak lagi🤔