Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warung makan
Matahari telah condong ke arah barat saat sepeda motor Malik membelah jalan Surabaya. Meski sudah mulai terbenam, cahaya matahari masih sangat kuat, memantul tajam di jalan beraspal yang membakar permukaan dengan kehangatannya. Malik mengendalikan motornya dengan cekatan, menghindari kendaraan-kendaraan yang berjubel, hingga akhirnya menepi di sebuah warung makan di pinggir jalan.
Warung makan itu sederhana, namun cukup nyaman. Dengan tak lebih dari sepuluh meja makan untuk empat orang, suasana disana terasa lebih tenang dibandingkan jalanan yang sibuk. Malik memilih salah satu meja kosong di pojok, duduk dengan tenang sembari meraih buku menu yang terletak di atasnya.
Perutnya terasa kosong, perasaan lapar mulai menguasai dirinya. Sejak pagi tadi, perutnya terasa mules karena gugup menghadapi persidangan. Kejadian tak terduga sebelum persidangan benar-benar membuatnya cemas. Informasi tidak terduga tiba-tiba meletup mengubah alur persidangan yang sudah dia susun dengan sangat hati-hati.
Tak hanya fisik yang lelah, pikirannya pun kacau. Bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi? Dengan cepat, dia mulai memindai isi buku menu, namun pikirannya masih melayang jauh, mencoba mencari jalan keluar dari kekacauan yang baru saja dia hadapi.
“Mau pesan apa, Mas?” tanya pelayan, memecah keheningan yang menyesakkan.
Suaranya ringan dan ramah, namun saat Malik mengalihkan pandangan ke arahnya, ekspresi pelayan itu berubah. Matanya membesar, tidak menyangka akan bertemu dengan orang yang sedang ia lihat. Senyum cerah terbit dari bibirnya.
“Malik,” ucapnya sumringah.
Malik terkejut. Siapa sangka dia akan bertemu seseorang yang dikenalnya di sini, di warung pinggir jalan Surabaya. Tentu saja, ia tidak menduga akan bertemu dengan Susi, pendaki yang pernah ia temui di gunung Dieng beberapa waktu lalu.
“Susi,” Malik menjawab dengan nada tak percaya. “Bagaimana kabarmu?”
Susi tersenyum lebih lebar. “Gw baik. Lo? Sepertinya engga ya,” katanya sambil melihat raut wajah Malik yang tampak masam.
Malik menghela napas, mencemooh dirinya sendiri. Kejadian pagi itu masih membekas. Wajahnya langsung merenung, seakan melupakan sejenak kehadiran Susi di depannya. “Ya, ga semua hal berjalan baik hari ini,” ujarnya, menyembunyikan rasa kecewa dan frustrasi.
“Ah… apa ini karena Naima?” tanya Susi penasaran, matanya tajam mengamati Malik, dari caranya bicara terselip rasa geli.
“Bukan,” jawab Malik sambil tersenyum lemah, seolah mencoba mengalihkan pembicaraan.
Susi mengangguk, sedikit bingung antara percaya atau tidak dengan jawaban Malik. Sejujurnya, dia sangat ingin menggoda Malik, tapi sepertinya dia harus menunda keinginannya itu. Suasana hati Malik sepertinya sedang buruk. Dia tidak ingin candaannya malah merusak reuni mereka.
“Lo kerja di sini?” tanya Malik, berusaha mengalihkan percakapan. "Bukannya kau karyawan dulu, kan?”
“Ya, beberapa hari lalu gw masih karyawan, tapi karena bos yang kurang ajar, akhirnya gw berhenti,” ucap Susi dengan nada acuh, berusaha menutupi rasa sakit hati yang masih membekas. Memori tentang kejadian itu—ketika dirinya hampir dilecehkan—terasa seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Malik terdiam sejenak, matanya menyiratkan empati, tetapi dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan lebih jauh. Dia memilih untuk bergeser topik. "Ah, Lo mau pesan apa, Malik?" Susi bertanya, berusaha untuk kembali fokus pada situasi yang lebih ringan.
"Gw mau ayam bakar sambal ijo dan sayur kangkung. Minumnya air putih aja," jawab Malik dengan senyum kecil, mencoba membuat suasana menjadi lebih santai.
“Oki doki,” jawab Susi sambil tertawa kecil. "Pesanan Lo akan segera datang.” Gadis itu pergi menuju dapur, melaporkan pesanan pada sang koki.
***
Lama menunggu, seseorang melangkah pelan ke arah Malik. Lelaki itu menegakkan tubuh, mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang sejak tadi menjadi pelariannya. Namun, bukan Susi yang muncul, melainkan seorang lelaki berkulit tan dengan senyum jenaka yang masih melekat dalam ingatan Malik—Bimo.
Alis Malik terangkat, menatap sosok yang kini berdiri di depannya dengan campuran rasa heran dan kejutan. Ia baru saja terperangah oleh pertemuannya dengan Susi, dan sekarang Bimo? Malik tahu kedua orang itu tinggal di Surabaya, tapi siapa sangka mereka akan muncul berturut-turut dalam satu hari?
Bimo tidak repot-repot memberi penjelasan atau menunggu undangan. Dia menarik kursi di depan Malik dan duduk tanpa banyak basa-basi. Namun, wajahnya tidak lagi memancarkan keriangan yang Malik kenal. Garis lelah tergurat di wajahnya, menghapus kesan jenaka yang biasa menjadi ciri khasnya.
"Kenapa lo?" tanya Malik singkat, nadanya datar namun mengandung rasa penasaran.
Bimo tersenyum kecil, menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. "Hah… lama nggak ketemu, gue disambut pertanyaan kayak gitu," ucapnya, mencoba bercanda meski nadanya terdengar letih.
Malik bersandar di kursinya, mencoba bersikap santai. Sebenarnya, ia hanya bertanya untuk mengisi kekosongan, tanpa benar-benar berharap mendapat jawaban panjang. Namun, Bimo, seperti biasa, selalu punya sesuatu untuk diceritakan.
"Biasalah," ujar Bimo akhirnya, sambil bertopang dagu. "Kerjaan. Lagi banyak pasien di rumah sakit. Ini aja gue baru balik. Kayaknya tidur yang benar udah jadi barang langka buat gue."
Malik mengangguk pelan, tidak terlalu terkejut. Sebagai tenaga medis, Bimo pasti menghadapi tekanan yang tidak main-main. Namun, Malik bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan fisik di balik nada suara Bimo.
Saat percakapan mereka mulai mengalir, Susi datang dengan membawa pesanan Malik. Ia meletakkan piring ayam bakar sambal hijau dan sepiring sayur kangkung di meja, aromanya langsung menggoda selera. Tapi langkahnya sedikit melambat saat menyadari kehadiran Bimo. Mata Susi menyipit sedikit, meski tidak tampak terkejut.
"Lo mau pesan apa, Bim?" tanyanya datar, tapi ada nada akrab di balik pertanyaannya.
Bimo melirik Susi, lalu tersenyum kecil. "Hm… kayak biasa aja, Si. Oiya, sambelnya banyakin."
Susi mengangguk ringan, lalu berbalik menuju dapur tanpa berkata apa-apa lagi.
Bimo memandang punggung Susi yang menghilang di balik pintu dapur, lalu menoleh kembali ke Malik. "Warung ibunya Susi ini favorit gue. Sambelnya itu juara banget," katanya, mencoba mencairkan suasana.
Malik hanya mengangguk pelan sambil menyendok makanannya. "Lo sering ke sini, ya?"
"Sering banget. Gue kan anak rantau, malas masak sendiri. Jadi ya mending makan di sini, lebih praktis," jawab Bimo sambil meregangkan tubuhnya.
Malik mengangguk lagi, mempelajari wajah Bimo yang tampak lebih kurus dibanding terakhir kali mereka bertemu. Dia baru menyadari bahwa hidup di perantauan mungkin tidak semudah yang terlihat dari luar.
Tiba-tiba, Bimo menyeringai kecil, ekspresi jailnya kembali muncul. "Oiya, ngomong-ngomong, gimana Naima? Kalian udah ada kemajuan, belum?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu.
Malik hanya menggeleng pelan, tetap melanjutkan makannya. Dalam hatinya, ia sudah memutuskan sejak awal bahwa tidak ada gunanya memaksa. Naima harus memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri perasaannya.
Ia tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Jika Naima akhirnya membuka hati, ia akan menyambutnya dengan penuh syukur. Namun, jika gadis itu tetap bertahan dengan jaraknya, Malik siap menerima keputusan itu, meski mungkin dengan sedikit rasa pahit.
Dia menelan suapannya, mengalihkan pandangan ke piringnya yang hampir kosong. Dalam diam, ia menyimpan harapan kecil bahwa pada akhirnya Naima akan menyadari satu hal: Malik tidak pernah berniat mengekang. Ia hanya ingin menjadi bagian dari hidup Naima, dengan cara yang sepenuhnya tulus.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak