Kisah tentang seorang gadis yang cantik dan lembut, ia harus menjalani hari-harinya yang berat setelah kepergian kakak perempuannya. Anak-anak yang harus melakukan sesuai kehendak Ibunya. Menjadikan mereka seperti apa yang mereka mau. Lalu, setelah semuanya terjadi ibunya hanya bisa menyalahkan orang lain atas apa yang telah dilakukannya. Akibatnya, anak bungsunya yang harus menanggung semua beban itu selama bertahun-tahun. Anak perempuan yang kuat bernama Aluna Madison harus memikul beban itu sendirian setelah kepergian sang kakak. Ia tinggal bersama sang Ayah karena Ibu dan Ayahnya telah bercerai. Ayahnya yang sangat kontras dengan sang ibu, benar-benar merawat Aluna dengan sangat baik. **** Lalu, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang selalu menolongnya disaat ia mengalami hal sulit. Laki-laki yang tak sengaja ia temui di gerbong Karnival. Lalu menjadi saksi perjalanan hidup Aluna menuju kebahagian. Siapa kah dia? apakah hanya kebetulan setelah mereka saling bertemu seperti takdir. Akankah kebahagian Aluna telah datang setelah mengalami masa sulit sejak umur 9 tahun? Lika liku perjalanan mereka juga panjang, mereka juga harus melewati masa yang sulit. Tapi apakah mereka bisa melewati masa sulit itu bersama-sama? *TRIGGER WARNING* CERITA INI MENGANDUNG HAL YANG SENSITIF, SEPERTI BUNUH DIRI DAN BULLYING. PEMBACA DIHARAPKAN DAPAT LEBIH BIJAK DALAM MEMBACA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugardust, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu?
Melihat itu, aku malah melakukan hal bodoh. Kenapa juga aku harus bersembunyi dibalik dinding. Aku mengintip ke arah mereka dari balik dinding. Tapi Jaeden melihatku, lalu memanggil ku dengan keras.
“ Sayang! disini!” teriak Jaeden.
“ I iya” ucapku terbata-bata.
Aku yang gelagapan seperti orang yang ketahuan sedang menguntit. Lalu aku menghampirinya.
“ Ah maaf, kami tidak tahu” mereka bertiga langsung pergi meninggalkan kami.
“ Mereka siapa? apa kenalanmu?” tanyaku yang penasaran.
“ Bukan siapa-siapa, mereka meminta nomorku, tapi aku tidak kasih”
“ Karena kau tampan, makanya banyak yang ingin mendekatimu”
“ Apa? benarkah? coba ulangi sekali lagi?” tanyanya sambil tesenyum menampakkan giginya.
“ Ah sudahlah” aku memalingkan wajahku.
“ Yah, tapi kenapa kau bersembunyi?” tanyanya.
“ T t tidak kok, aku baru saja keluar”
“ Baiklah sayang”
“ Apa?”
“ Sayang” dia tersenyum lebar sambil menatapku.
Aku malu setengah mati, dia memanggilku dengan kata sayang di depan para perempuan tadi. Hal sesederhana itu membuat perempuan menjadi sangat senang dan percaya diri.
“ Sisa tiga menit lagi, ayo kita masuk” ajakku yang mengambil popcorn diatas meja dan membawanya masuk.
“ Oke” dia bangkit dari kursi sembari membawa dua minuman.
Antrean masuk ke dalam ruangan bioskop terlihat panjang. Kami harus mengantri untuk masuk dan duduk berdasarkan nomor kursi yang telah kami pilih. Jaeden memilih untuk duduk di tengah. Setelah duduk, kami menunggu film untuk di putar.
Film telah diputar, kami menonton film horror. Entah kenapa Jaeden memilih untuk menonton horror, padahal aku sudah bilang ingin menonton film yang ringan saja. Di awal film, kami masih biasa saja sambil menyantap popcorn dan minuman kami. Di pertengahan film banyak sekali jumpscare, membuat para penonton kaget dan ketakutan. Jaeden yang kaget lalu mendekatkan dirinya kepadaku, dia menempelkan kepalanya ke pundakku. menutupi wajahnya menggunakan jaket yang dia pakai.
“ Kalau kau takut, kenapa memilih menonton film horror sih?”
“ Ah, aku sengaja”
“ Apa? tidak dengar”
“ Aku kira tidak seseram ini, tapi ternyata lebih seram dari bayanganku”
“ Lain kali biar aku saja yang memilih, dasar”
“ Maaf”
“ Tidak apa, kemarikan tanganmu”
Aku meraih tangannya dan meletakkannya di atas pahaku, sembari ku genggam tangannya agar dia tidak begitu merasa takut. Tangannya terasa hangat dan sedikit basah. Sesekali aku menatap wajahnya yang dari samping pun tetap terlihat tampan. Tak jarang, banyak wanita yang mengincar dan ingin memilikinya. Aku adalah perempuan yang beruntung. Film pun sudah habis dan kami keluar ruangan.
“ Apa ada yang ingin kau makan?” tanya Jaeden.
“ Tidak, aku ikut saja denganmu”
“ Oke, aku juga sudah memesan tempat, ayo” dia menarik tanganku.
Saat berjalan menuju parkiran, tiba-tiba aku melihat dari jauh orang yang mirip sekali dengan ibu atau mungkin itu memang ibu, di samping wanita itu ada pria tua yang digandengnya, mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu dan berjalan menuju arahku. Aku menghentikan langkahku, aku kaku, terdiam, seluruh tubuhku bergetar, detak jantungku sangat cepat. Aku tidak bisa melangkahkan kakiku bahkan mulutku tertutup rapat, aku hanya menatapnya saja, aku benar-benar mematung saat ini.
“ Aluna? ada apa?” tanya Jaeden.
“ Aluna?”
Ternyata benar, itu ibu. Meski sudah bertahun-tahun lamanya wajah ibu tidak berubah, hanya sedikit menua. Aku masih ingat dengan jelas wajahnya itu, tahi lalat yang ada di dekat bibirnya. Ibu melihatku sekilas, tapi dia tetap terus berjalan tanpa menyapaku, dia melewatiku begitu saja. Bahkan dia baru saja tertawa bersama pria tua itu. Apa dia tidak mengenali aku, anaknya, atau dia pura-pura tidak mengenaliku. Ini sudah tahun kesembilan setelah ibu memilih pergi, aku tidak pernah berjumpa lagi dengannya setelah itu. Bahkan dia tidak pernah mencariku atau menanyakan kabarku. Apa benar dia ibuku. Ibu macam apa yang tega bersikap seperti itu pada anak kandungnya.
Tak terasa air mataku menetes. Hatiku sakit, dadaku sesak. Apa ibu benar-benar sudah tak menganggapku lagi, apa ibu lupa denganku. Kenapa ibu sejahat itu padaku. Aku memang membenci ibu, tapi tak ku sangka rasa rinduku juga masih tersisa.
“ Aluna, apa kau tidak apa-apa? kau kenapa tiba-tiba menangis?” tanya Jaeden cemas dan memegang pundakku.
Aku terduduk di lantai, aku tak kuat menopang badanku. Aku menangis hanya karena melihatnya saja. Aku tidak bisa memanggilnya, apalagi menyentuhnya. Kenapa ibu begitu, memangnya apa yang sudah kulakukan. Bahkan hari ini, dimana di saat aku dilahirkan olehnya, dia bisa tidak mengingatnya dan menganggap bahwa aku tidak pernah dia lahirkan.
“ Sakit” aku menangis dan memeluk Jaeden.
“ Kau sedang sakit? apanya yang sakit?” Jaeden semakin cemas.
“ Ibu”
“ Ibu? kenapa dengan ibumu?”
Mata Jaeden mencari dan melihat ke arah wanita yang baru saja melewati kami, sepertinya dia tau jika itu adalah ibuku. Dia berusaha bangkit untuk mengejar ibu. Tapi aku menahannya.
“ Jangan, tidak perlu, ayo pergi saja” ucapku sembari menghapus air mataku dan bangkit untuk berdiri.
Seluruh badanku masih bergetar, meski dadaku masih terasa begitu sesak. Aku harus tetap terlihat kuat dan baik-baik saja.
“ Apa kau yakin? mau pulang saja?”
“ Tidak, mari habiskan waktu bersama”
“ Baiklah, aku akan menemanimu sampai kau merasa lebih baik”
Kami melanjutkan langkah kami, Jaeden memegang tanganku. Mulai hari ini aku akan benar-benar menghapus ibu dari kehidupanku. Aku tidak ingin kenal dengannya lagi atau menganggapnya masih hidup. Akan aku anggap jika ibu sudah mati. Seperti ibu yang menganggapku begitu.
———————————————————
Restoran mewah yang berada di pusat kota, berada di atas hotel di lantai lima belas. Restoran yang sangat mewah, kami disambut dengan sangat baik.
“ Halo permisi, untuk dua orang, sudah reservasi atas nama Jaeden” Jaeden berbicara dengan pelayan di pintu masuk.
“ Baiklah, mohon ikuti pelayan ini untuk menempati meja yang telah disediakan” ucap pelayan yang bertugas di pintu masuk.
Pelayan yang lain mengarahkan kami untuk duduk di kursi yang telah disiapkan di ujung kanan dekat kaca jendela yang besar. Dari atas sini kami dapat melihat gedung-gedung tinggi dan kendaraan yang lalu lalang. Hotel ini pun juga sangat tinggi dan memiliki dua puluh lantai.
“ Terima kasih” ucap Jaeden pada sang pelayan.
“ Silakan ditunggu makanan yang telah dipesan sebelumnya” sang pelayan pamit untuk pergi.
“ Dari mana kau tahu tempat seperti ini? ini sangatlah mahal” ucapku.
“ Ah, aku tahu dari paman, paman sering mengajakku kesini, makanan disini sangat enak, kau harus mencobanya”
“ Tapi ini terlalu berlebihan untukku”
“ Tidak apa, hari ini kau duduk saja dengan manis”
“ Kalau begitu aku akan menikmatinya. Terima kasih, Jaeden”
Jaeden tersenyum menatap mataku. Sepertinya dia penasaran dengan hal tadi. Tapi dia tidak berani untuk menanyakan hal itu padaku duluan, lebih baik aku memberitahunya saja.
“ Wanita itu, dia ibuku”
“ Oh, benarkah?”
“ Tapi mulai sekarang aku akan menganggapnya tidak pernah ada dalam hidupku”
“ Apa itu membuatmu sangat sakit?”
“ Iya, aku benci ibu”
“ Siapa laki-laki di sebelahnya itu?”
“ Mungkin itu adalah suami barunya”
“ Hate her as much as you want, but don’t blame yourself as if it was your fault. It’s not, you’re the best, Aluna. (Bencilah ibumu, sebesar yang kau mau, tapi jangan salahkan dirimu seolah itu adalah kesalahanmu. Itu bukan salahmu, kau lah yang terbaik, Aluna).”
“ Thanks (Terima kasih), Jaeden”
Jaeden meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. Dia terus menyemangatiku dan selalu tersenyum saat menatapku. Dia juga mengajakku bercanda untuk mengembalikan perasaanku yang kurang baik. Salahnya, kenapa aku harus bertemu dengan ibu hari ini, ini membuatku sangat sakit. Andai jika tidak ada Jaeden, mungkin aku akan bertingkah konyol.