Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.
Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.
Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.
Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Kehilangan Kendali
Alice duduk di depan Kirana, memegang tangannya dengan erat. Matanya menatap lurus ke arah gadis itu, memastikan bahwa ia mendengar setiap kata yang akan ia ucapkan.
"Kirana, dengarkan aku baik-baik," ujar Alice dengan penuh ketegasan. "Aku mengenalmu lebih dari siapa pun. Aku tahu kau bukan tipe orang yang mau menjual harga diri demi uang. Kau adalah orang yang tulus, baik, dan tidak pernah mengharapkan imbalan dari siapa pun."
Kirana hanya menundukkan kepala.
Alice menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
"Jangan biarkan omongan orang-orang bodoh itu membuatmu berpikir kau tidak pantas berada di sini. Mereka hanya iri, Kirana. Mereka tidak suka melihatmu mendapat perhatian dari Kak Kael, karena bagi mereka, pria seperti Kak Kael seharusnya bersama seseorang yang 'setara' dengannya."
Kirana menggigit bibir bawahnya. "Tapi mereka tidak sepenuhnya salah, Alice. Aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanya anak dari keluarga hancur, hidupku penuh penderitaan, dan sekarang tiba-tiba aku tinggal di tempat mewah dengan bantuan Kaelus. Dari luar, aku memang terlihat seperti…"
"Berhenti." Alice memotong perkataan Kirana dengan tegas. "Aku tidak mau mendengar kau merendahkan dirimu seperti itu. Kau layak mendapatkan semua ini, Kirana. Jika tidak, Kak Kael tidak akan berusaha keras untuk membantumu."
Air mata Kirana mulai menggenang di sudut matanya.
Alice mengangkat tangannya dan menyentuh pipi sahabatnya dengan lembut.
"Kau tidak sendirian," ucapnya pelan. "Aku ada di sini. Kak Kael juga ada. Kau bukan beban bagi siapa pun, jadi berhenti berpikir seperti itu."
Kirana akhirnya menangis. Bukan karena sedih, tapi karena ia merasa lega.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seseorang benar-benar meyakinkannya bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
.
.
Setelah memastikan Kirana merasa lebih baik, Alice pun mengantarnya pulang ke apartemen yang Kaelus sediakan untuknya.
Saat ia kembali ke rumah, ia menemukan sang kakak sedang duduk di ruang tamu dengan segelas anggur di tangan.
"Alice?" Kaelus menoleh ketika melihat adiknya masuk. "Dari mana saja?"
"Aku mengantar Kirana pulang," jawab Alice singkat.
Kaelus mengangguk pelan, lalu kembali menatap gelas anggurnya.
Alice duduk di sofa yang berhadapan langsung dengannya.
Ia memperhatikan wajah kakaknya dalam diam.
Ada sesuatu yang berbeda dari sorot mata Kaelus malam ini.
Biasanya, pria itu selalu terlihat penuh percaya diri dan tenang. Namun kali ini, ada kesan melankolis di wajahnya.
"Kak," panggil Alice tiba-tiba.
Kaelus mengangkat alis. "Hm?"
"Apa Kakak jatuh cinta pada Kirana?"
Glek!
Kaelus hampir tersedak anggurnya sendiri. Ia buru-buru menaruh gelasnya dan menatap Alice dengan ekspresi kaget.
"Apa?"
Alice menyilangkan tangan.
"Kakak dengar pertanyaanku. Aku tanya, apa Kakak jatuh cinta pada Kirana?" ulangnya dengan nada lebih serius.
Kaelus terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" tanyanya balik, mencoba mengulur waktu.
Alice mendengus. "Aku tidak buta, Kak. Aku melihat cara Kakak memandang Kirana. Itu bukan sekadar perhatian biasa. Kakak menyukainya, bukan?"
Kaelus tidak langsung menjawab.
Ia menatap kosong ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.
Beberapa saat kemudian, ia tersenyum tipis—senyum yang penuh kegetiran.
"Apa gunanya aku mengakui itu?" gumamnya pelan.
Alice membelalakkan mata. "Jadi Kakak memang menyukainya?"
Kaelus tidak menjawab, tetapi ekspresinya sudah cukup menjadi jawaban bagi Alice.
Adiknya itu menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke sofa.
"Kak, aku tahu Kakak adalah pria yang sulit jatuh cinta," kata Alice pelan. "Tapi kalau sudah jatuh cinta, Kakak juga tahu kan, kalau perasaan itu tidak bisa dipaksakan?"
Kaelus menatap Alice dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
Alice menatap kakaknya dengan penuh belas kasih.
"Kirana tidak pernah melihat Kakak sebagai pria," katanya jujur. "Bagi dia, Kakak hanyalah sosok pelindung. Kakak seperti kakaknya sendiri, seseorang yang memberinya perlindungan di saat dia tidak punya siapa-siapa. Tapi… bukan sebagai pria yang dicintainya."
Kaelus terdiam.
Ia tahu adiknya benar.
Sejak awal, Kirana tidak pernah memberikan sinyal bahwa ia memiliki perasaan khusus padanya.
Namun entah mengapa, jauh di lubuk hatinya, ia tetap berharap bahwa mungkin suatu hari gadis itu akan menyadarinya.
Alice menggenggam tangan kakaknya dengan lembut.
"Aku tidak ingin melihat Kakak tersakiti," ucapnya pelan. "Kalau Kakak benar-benar menyayangi Kirana, maka Kakak harus siap untuk menerima kenyataan bahwa dia mungkin tidak akan pernah membalas perasaan Kakak dengan cara yang sama."
Kaelus tersenyum pahit.
"Aku tahu," katanya pelan. "Aku tahu, Alice."
Tapi mengetahui sesuatu dan benar-benar menerima kenyataan adalah dua hal yang berbeda.
Dan malam ini, Kaelus menyadari betapa sakitnya mencintai seseorang yang bahkan tidak pernah melihatnya sebagai pria.
.
.
Kaelus duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Tangannya menggenggam gelas kristal berisi anggur merah, tetapi sudah setengah jam ia tak menyentuh minumannya.
Pikirannya dipenuhi oleh satu sosok—Kirana.
Ia sudah berusaha mengalihkan perhatian. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan, menghadiri rapat penting, bahkan menerima undangan makan malam dari beberapa wanita cantik yang sering mencoba mendekatinya. Namun semua itu tidak ada gunanya.
Bayangan Kirana terus muncul dalam benaknya, seolah gadis itu mengendap-endap ke dalam pikirannya tanpa izin.
Dan itu mulai membuatnya gila.
.
.
Kaelus berpikir bahwa semakin jauh ia menjauh dari Kirana, semakin cepat perasaannya akan memudar.
Tapi ternyata ia salah besar.
Ia sengaja mengurangi interaksi dengan Kirana. Ia tidak lagi mengantarnya ke sekolah, tidak lagi memastikan apakah dia sudah makan dengan benar, dan tidak lagi menanyakan bagaimana harinya.
Namun, setiap kali ia melihat nomor Kirana di ponselnya tetapi menahan diri untuk tidak menghubunginya, dadanya terasa sesak.
Setiap kali ia melihat Kirana berjalan bersama Alice tanpa menoleh ke arahnya, hatinya terasa kosong.
Setiap kali ia mendengar suara gadis itu tertawa bersama orang lain, ada rasa iri yang menjalar dalam dirinya.
Ia tidak bisa lepas dari gadis itu.
Ia ingin Kirana menjauh dari pikirannya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya—Kirana semakin menempati ruang di hatinya.
.
.
Kaelus terbangun dengan napas terengah-engah.
Mimpinya barusan terasa begitu nyata.
Dalam mimpinya, ia melihat Kirana berdiri di bawah hujan, tersenyum lembut ke arahnya. Rambutnya basah, gaun putihnya menempel di tubuh mungilnya, dan matanya menatap Kaelus dengan sorot yang sulit diartikan.
Lalu gadis itu mengulurkan tangan, seakan meminta Kaelus untuk mendekat.
Namun, setiap kali Kaelus mencoba meraihnya, Kirana justru semakin menjauh.
Sampai akhirnya, gadis itu menghilang dalam kabut, meninggalkannya sendirian dalam kehampaan.
Kaelus mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menghilangkan efek dari mimpi itu.
Sial.
Kini bahkan dalam tidur pun, Kirana masih menghantuinya.
.
.
Kaelus duduk di dalam mobilnya, memandangi sekolah tempat Kirana dan Alice belajar.
Ia tidak seharusnya ada di sini.
Ia tidak punya alasan untuk datang, tetapi kakinya seolah bergerak sendiri membawa tubuhnya ke tempat ini.
Kemudian matanya menangkap sosok Kirana yang baru keluar dari gerbang sekolah.
Gadis itu sedang tertawa bersama Alice dan beberapa teman lainnya. Pipinya sedikit memerah, mungkin karena udara dingin.
Lalu sesuatu terjadi.
Seorang pemuda dari sekolah yang sama menghampiri Kirana dan menyodorkan sesuatu—sebuah kotak kecil berwarna merah muda.
Wajah Kirana terlihat kaget. Ia tersenyum gugup, lalu menerima kotak itu dengan kedua tangannya.
Kaelus menggenggam kemudi dengan erat.
Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Gadis kecil itu… mendapatkan hadiah dari pria lain?
Seketika rasa tidak nyaman menyebar di dadanya.
Sial, ini tidak benar.
Ia tidak seharusnya merasa seperti ini.
Ia tidak seharusnya peduli.
Namun saat melihat pemuda itu tersenyum canggung dan Kirana membalasnya dengan tawa kecil, Kaelus merasakan sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan—rasa marah.
Rasa marah yang konyol dan tidak masuk akal.
Karena seharusnya Kirana tidak tersenyum seperti itu kepada pria lain.
Seharusnya Kirana hanya tersenyum kepadanya.
.
.
Kaelus akhirnya tidak tahan lagi.
Ia membuka pintu mobil dan keluar.
Langkahnya tegap dan penuh ketegasan saat berjalan menuju Kirana.
Ketika gadis itu melihatnya, mata Kirana membesar karena terkejut.
"K-Kael?"
Kaelus tidak mengatakan apa pun.
Ia hanya meraih pergelangan tangan Kirana dan menariknya dengan lembut.
"Kakak, tunggu! Apa yang Kakak lakukan?" Alice memanggilnya, tetapi Kaelus mengabaikannya.
Begitu mereka cukup jauh dari orang-orang, Kaelus akhirnya berhenti dan melepaskan tangan Kirana.
Gadis itu menatapnya dengan kebingungan.
"Ada apa?" tanya Kirana.
Kaelus menatap gadis itu dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Kau menyukai pria itu?" tanyanya langsung.
Kirana mengerjapkan mata, jelas tidak menyangka Kaelus akan bertanya seperti itu.
"Eh? Maksud Kakak—"
"Pria yang tadi memberimu hadiah. Kau menyukainya?"
Kirana terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Tidak, dia hanya teman sekelas yang baik. Dia memberiku ini karena—"
"Bagus."
Kirana mengerutkan kening. "Apa?"
Kaelus menarik napas dalam sebelum mengatakannya.
"Aku tidak suka melihatmu bersama pria lain."
Gadis itu membeku.
Kaelus meraih dagu Kirana, membuat gadis itu menatap langsung ke dalam matanya.
"Dan aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menahan diri."
Suara Kaelus terdengar dalam dan penuh ketegasan.
Jari-jarinya mengusap pipi gadis itu dengan lembut, tetapi ada ketegangan yang begitu kuat di antara mereka.
Kirana merasa seluruh tubuhnya kaku.
Ia tidak pernah melihat Kaelus seperti ini sebelumnya.
Lelaki itu biasanya tenang, penuh kendali. Tapi kali ini, ada sesuatu yang liar dalam sorot matanya.
Sesuatu yang berbahaya.
"Kirana."
Gadis itu menelan ludah.
"Apa… apa maksud Kakak?" suaranya bergetar.
Kaelus tidak menjawab.
Ia hanya menatap Kirana dengan penuh intensitas, seolah ingin mengatakan banyak hal tetapi memilih untuk menahan diri.
Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa lagi, Kaelus melepaskan dagunya dan melangkah pergi.
Meninggalkan Kirana yang masih berdiri terpaku, dengan jantung yang berdebar kencang.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya… Kirana menyadari sesuatu yang selama ini tidak ia perhatikan.
Kaelus Moretti… bukan sekadar melihatnya sebagai adik kecil yang perlu dilindungi.