Sinopsis:
Melia Aluna Anderson, seorang manajer desain yang tangguh dan mandiri, kecewa berat ketika pacarnya, Arvin Avano, mulai mengabaikannya demi sekretaris barunya, Keyla.
Hubungan yang telah dibina selama lima tahun hancur di ulang tahun Melia, saat Arvin justru merayakan ulang tahun Keyla dan memberinya hadiah yang pernah Melia impikan.
Sakit hati, Melia memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan menerima perjodohan dengan Gabriel Azkana Smith, CEO sukses sekaligus teman masa kecilnya yang mencintainya sejak dulu.
Tanpa pamit, Melia pergi ke kota kelahirannya dan menikahi Gabriel, yang berjanji membahagiakannya.
Sementara itu, Arvin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya telah terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Yang Bahagia
Suasana di kediaman keluarga Anderson begitu meriah pagi itu. Taman belakang yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan impian dengan dekorasi putih, emas, dan sentuhan bunga mawar lembut. Semua keluarga dan kerabat dekat hadir dengan wajah cerah, siap menyaksikan Melia Aluna Anderson dan Gabriel Azkana Smith mengikat janji suci.
Melia duduk di kamar pengantin, mengenakan gaun pernikahan putih sederhana namun anggun. Rambutnya ditata rapi dengan mahkota kecil yang memancarkan keanggunan seorang ratu. Di wajahnya terpancar kecantikan yang berbeda, tenang, dewasa, namun tetap menyimpan kesedihan yang samar.
Laura masuk ke kamar, membawa buket bunga mawar putih. Ia memandang sahabatnya yang duduk termenung di depan cermin. “Mel, kamu cantik banget hari ini,” ujar Laura lembut sambil mendekati Melia.
Melia menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, La.” Suaranya terdengar pelan, namun cukup tegas.
Laura duduk di sampingnya, memegang tangan Melia. “Kamu yakin dengan keputusan ini, kan?” tanyanya hati-hati.
Melia menatap refleksinya di cermin. “Aku yakin, Laura. Gabriel orang baik. Dia pantas mendapatkan kesempatan. Lagipula, aku ingin memulai hidup baru. Aku harus berhenti menoleh ke belakang.”
Laura tersenyum tipis, bangga pada kekuatan sahabatnya. “Kamu berhak bahagia, Mel. Jangan pernah ragu dengan keputusan ini.”
Melia mengangguk kecil. Namun jauh di dalam hatinya, ada getaran samar, bukan penyesalan, tapi sebuah perasaan perpisahan yang sulit diungkapkan. Arvin. Nama itu berkelebat di pikirannya untuk sesaat, tetapi cepat-cepat ia buang jauh-jauh.
Sementara itu, Gabriel sudah siap dengan setelan jas abu-abu yang sempurna. Senyumnya tidak pernah hilang sejak pagi tadi. Di sampingnya, Baskara berdiri sebagai pendamping terbaiknya.
“Bos, ini hari besar lo. Nggak ada lagi senyum setengah hati. Hari ini lo menang,” ujar Baskara sambil tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.
Gabriel tertawa ringan. “Gue nggak pernah lihat ini sebagai kemenangan, Baskara. Gue hanya ingin membuat Melia bahagia. Itu saja.”
Baskara menepuk pundaknya. “Dan lo bakal berhasil. Melia beruntung punya lo, bro.”
Gabriel menghela napas panjang, matanya menatap ke arah taman yang mulai dipenuhi para tamu. “Bukan tentang siapa yang beruntung, Baskara. Tapi ini tentang kesempatan yang harus gue manfaatin sebaik mungkin.”
Di dalam hatinya, Gabriel berjanji: Melia akan bahagia. Dan aku tidak akan pernah mengecewakannya.
Sementara itu, jauh di kota N, Arvin duduk termenung di apartemennya yang berantakan. Di tangannya ada undangan pernikahan Melia dan Gabriel yang ia temukan dua hari lalu di laci meja kerjanya.
Ia menatap undangan itu lama, hatinya terasa sesak. Entah apa yang mendorongnya, tiba-tiba Arvin mengambil jaket dan kunci mobil. Aku harus ke sana. Aku harus lihat Melia.
Mobil melaju kencang di sepanjang jalan tol menuju kota B. Pikiran Arvin berkecamuk. Wajah Melia terus terbayang di benaknya, senyum manisnya, tatapan penuh cinta yang dulu selalu ia abaikan. Hati Arvin dipenuhi penyesalan yang menyiksa.
“Aku bodoh. Kenapa aku harus menyadarinya sekarang?” gumam Arvin, tangannya mencengkeram setir erat. “Melia… tunggu aku.”
👰🤵Akad Nikah yang Penuh Haru
Di taman belakang keluarga Anderson, semua tamu telah duduk rapi di kursi putih. Musik lembut mengalun, menciptakan suasana khidmat nan hangat. Gabriel berdiri di depan, menunggu kedatangan Melia dengan senyum tenang.
Langkah kaki Melia terdengar lembut saat ia berjalan menuju Gabriel, ditemani oleh sang ayah. Semua mata tertuju padanya, takjub akan kecantikannya. Namun di balik wajah itu, ada kekuatan seorang perempuan yang telah melewati badai besar dalam hidupnya.
Gabriel menatap Melia dengan penuh cinta ketika ia sampai di hadapannya. “Kamu cantik sekali,” bisik Gabriel pelan.
Melia hanya tersenyum tipis. Hatinya tenang, meski ada rasa haru yang menyelimuti.
Akad nikah berlangsung khidmat. Suara penghulu memimpin jalannya prosesi, disaksikan oleh keluarga besar dari kedua belah pihak. Dengan suara tegas, Gabriel mengucapkan ijab kabul.
“Saya terima nikahnya Melia Aluna Anderson binti Jack Briano Anderson dengan mas kawin tersebut tunai.”
Suara itu menggema, diiringi dengan tangis haru dari para tamu. Melia menutup matanya sejenak, merasakan beban berat di hatinya perlahan-lahan menghilang. Hari ini, ia resmi memulai lembaran baru dalam hidupnya.
Gabriel menatap Melia penuh kebahagiaan, lalu menggenggam tangannya erat. “Terima kasih sudah mempercayai aku,” bisiknya lembut.
Melia menoleh, memandang wajah Gabriel. Untuk pertama kalinya, ia merasa tenang dan yakin bahwa kebahagiaan akan datang padanya q-lahan.
Saat semua orang mulai bertepuk tangan merayakan pernikahan Melia dan Gabriel, sebuah mobil berhenti mendadak di depan rumah keluarga Anderson. Arvin turun dengan tergesa-gesa, napasnya memburu. Ia berjalan cepat menuju taman belakang, namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan di depannya.
Di altar kecil itu, Melia berdiri di samping Gabriel. Keduanya tersenyum, menerima ucapan selamat dari para tamu. Arvin berdiri terpaku di balik pohon besar, dadanya terasa dihantam batu besar.
Melia benar-benar telah menikah.
Wajah Arvin memucat. Lututnya lemas, seolah-olah tubuhnya tidak lagi mampu berdiri tegak. Matanya menatap Melia dari kejauhan, perempuan yang pernah ia abaikan, kini telah menjadi milik orang lain.
“Melia…” bisiknya, hampir tanpa suara.
Arvin mengepalkan tangannya, menahan perih yang menyayat di hatinya. Ia ingin maju, ingin memanggil nama Melia, tapi langkahnya seakan terkunci. Apa yang bisa ia katakan? Permintaan maaf? Penyesalan? Semua itu sudah terlambat.
Dari kejauhan, Melia seperti merasakan sesuatu. Ia menoleh sesaat, melihat ke arah kerumunan tamu. Namun, Arvin sudah bersembunyi di balik pohon, tidak sanggup menatap mata Melia.
Arvin berjalan gontai keluar dari rumah itu, tanpa seorang pun yang menyadari kehadirannya. Setiap langkah terasa berat. Ia duduk di dalam mobilnya, menatap undangan yang ia bawa. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh.
“Selamat tinggal, Melia,” gumamnya lirih. “Maaf… karena aku terlalu bodoh untuk menyadari seberapa berharganya kamu.”
Di taman belakang, Melia dan Gabriel berdiri bersama, menerima ucapan selamat dari tamu yang datang. Melia tersenyum, namun dalam hatinya, ada perasaan lega yang akhirnya ia rasakan. Arvin adalah masa lalunya, sebuah babak yang telah ia tutup dengan keberanian. Kini, ia siap menatap masa depan bersama Gabriel.
Sementara itu, Arvin melaju pergi meninggalkan rumah itu. Hatinya kosong, dipenuhi penyesalan yang tidak akan pernah bisa ia hapus. Hari itu, Arvin menyadari satu hal penting:
Cinta yang diabaikan pada akhirnya akan menemukan rumah di hati orang yang lebih menghargainya.
To be continued...