Pernikahannya dengan Serka Dilmar Prasetya baru saja seminggu yang lalu digelar. Namun, sikap suaminya justru terasa dingin.
Vanya menduga, semua hanya karena Satgas. Kali ini suaminya harus menjalankan Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste, setelah beberapa bulan yang lalu ia baru saja kembali dari Kongo.
"Van, apakah kamu tidak tahu kalau suami kamu rela menerima Satgas kembali hanya demi seorang mantan kekasih?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Bertumpu di Atas Kakinya Sendiri
Vanya mengangguk meyakinkan keterkejutan Bu Rahma.
"Perceraian di dalam pernikahan kedinasan ini, tidak gampang. Harus ada bukti yang kuat kalau pernikahan itu harus bercerai. Pertama, tindakan kekerasan secara fisik. Kedua, perselingkuhan dengan membawa bukti nyata dan kita melihat sendiri bahwa pasangan kita selingkuh. Yang ketiga, tidak memberi nafkah, yang keempat kita tidak bisa melayani suami secara lahir dan batin...." urai Bu Rahma menjelaskan apa saja yang bisa menguatkan perceraian itu terjadi.
"Sebetulnya masih ada poin lain yang menguatkan perceraian itu bisa terjadi. Tapi kalau saya ungkapkan di sini secara lisan, maka tidak akan cukup waktu untuk menjabarkan. Sebetulnya perceraian itu bisa saja dengan mudah terjadi, apabila kesalahan itu terdapat pada istrinya."
"Seperti yang saya ungkapkan tadi di depan, seorang istri yang tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai istri, artinya dia tidak mampu secara fisik untuk melayani kebutuhan biologis suaminya, dan yang kedua, perselingkuhan yang dilakukan istri. Itu poin yang bisa mempermudah perceraian itu terjadi," lanjut Bu Rahma.
Vanya tertegun, Dari semua poin yang diungkapkan Bu Rahma, hanya ada satu yang mengena, yaitu sebuah foto yang bisa menjadi bukti. Lalu Vanya memperlihatkan bukti itu.
"Sebuah foto kebersamaan antara perempuan dan laki-laki, dalam hal ini suami Dik Vanya, saya rasa masih jauh untuk dijadikan bukti sebagai perselingkuhan. Walaupun bukti foto kemesraan itu ada, tidak akan cukup menguatkan jika suami sudah menyangkalnya," tutur Bu Rahma lagi.
Vanya semakin bingung, semua yang diutarakan Bu Rahma sepertinya tidak mendukung untuknya mengajukan perceraian. Bukti foto itupun, tidak akan kuat jika nanti Dilmar menyangkalnya.
"Lalu apa yang harus saya lakukan, Bu. Saya saat ini merasa kecewa melihat foto kebersamaan suami saya bersama perempuan lain? Apakah saya biarkan saja dan pura-pura tidak tahu apa yang selama ini suami lakukan?" Akhirnya Vanya kembali bersuara setelah tadi dia puas mendengarkan Bu Rahma bicara.
"Dik Vanya jangan diam saja, Dik Vanya coba tanyakan dari hati ke hati. Sebelum mengajak suami bicara, Dik Vanya kumpulkan mental dan hati yang kuat, dan kendalikan emosi. Saya tahu diusia Dik Vanya saat ini, emosi itu tidak mudah dikontrol, Dik Vanya akan meluap-luap. Tapi, saran saya, sebelum bicara Dik Vanya harus berusaha kendalikan emosi, agar bicaranya bisa tenang dan berwibawa di depan suami. Agar hal ini menjadi penilaian buat suami, bahwa Dik Vanya bisa tegar disaat hati Dik Vanya tersakiti," pungkas Bu Rahma sembari menggenggam tangan Vanya, memberikannya kekuatan.
Air mata Vanya menetes seketika, semua ucapan Bu Rahma bisa masuk ke telinganya, tapi ternyata tidak mudah diterima oleh hati. Vanya merasa ini tidak adil, padahal bukti ciuman itu sudah merupakan bukti nyata kalau suaminya berselingkuh.
"Di dalam hidup kita selalu ada dua pilihan, memberi kesempatan atau sama sekali tidak. Tapi, di dalam pernikahan Dik Vanya yang sudah terikat secara dinas dan baru saja dilalui dalam waktu kurang lebih delapan bulan ini, sepertinya apa yang disampaikan Dik Vanya, baru bisa dikatakan ujian kecil. Banyak kejadian yang lebih parah dari Dik Vanya. Bahkan pihak istri ada yang sampai mau bunuh diri karena merasa dikhianati. Namun seiring waktu, suami sadar, dan aksi nekad sang istri pada akhirnya menjadi pelajaran bagi suami sehingga si suami sadar sepenuhnya. Dan akhirnya mereka bersatu kembali."
"Di sini saya tidak bermaksud sok bijaksana. Tapi sebagai sesama perempuan, saya hanya bisa memberi kekuatan dan doa, semoga apa yang dialami Dik Vanya bisa dilalui dengan baik dan rumah tangganya kembali harmonis, serta suaminya bisa mencintai Dik Vanya tulus. Yang mau saya sampaikan pada Dik Vanya adalah, tetaplah berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai agama yang Dik Vanya anut, supaya diberikan kekuatan dan jalan yang terbaik."
Setelah mendengar siraman rohani dari Bu Rahma yang terakhir, Vanya melepaskan tangan Bu Rahma dengan perlahan. Hatinya masih belum plong meskipun dengan lembut dan bijaksana Bu Rahma menyiraminya dengan kata-kata penuh motivasi ataupun berusaha menenangkan.
"Terimakasih banyak Bu, atas pencerahannya untuk saya hari ini. Saya sangat bersyukur bisa bertemu Ibu. Semoga saya bisa melewati semua ini dengan baik dan tegar. Sekali lagi terimakasih, saya mohon doa dari Ibu agar saya diberi kekuatan sama Yang Maha Kuasa. Kalau begitu, saya pamit," ucap Vanya sembari menyalami tangan Bu Rahma sebelum pada akhirnya ia pamit.
Keluar dari rumah Bu Rahma, jujur saja hati Vanya belum mendapat ketenangan. Sepanjang jalan, ia menangis. Vanya tidak mendapat solusi. Vanya ingin menjerit dan menangis sejadi-jadinya dengan masalah ini. Vanya mengarahkan mobilnya menuju sebuah taman, sepertinya ia akan melimpahkan semua masalah yang membebani hatinya di taman itu. Berharap mendapat ketenangan.
Tiba di taman, Vanya mencari tempat yang sepi dan aman dari orang lain. Kebetulan banyak bangku kosong di sana untuk sekedar duduk termenung menenangkan diri.
"Selama ini aku sudah memendam semua masalah ini sendiri tanpa siapapun tahu, kecuali Mbak Sisi dan Bu Rahma. Tapi, aku belum menemukan ketenangan. Lalu harus pada siapa lagi aku mencurahkan semua sakit hati ini supaya hati aku plong? Hiks, hiks," gumamnya diiringi tangis.
Berdoa saja bagi Vanya tidak cukup, sebab selama ini Vanya selalu berdoa di setiap penghujung sholatnya, tapi Vanya juga butuh sepasang tangan untuk bisa merangkulnya sampai membuat dia tenang. Tapi pada siapa? Tidak ada lagi orang lain yang bisa ia percaya. Pada kedua orang tua Dilmar, Vanya tidak ada keberanian sama sekali. Atau pada ibunya? Vanya juga bukan tipe anak yang suka membebani pikiran ibunya.
Akhirnya yang bisa Vanya lakukan saat ini adalah menangis sampai sesak di dadanya berkurang. Setelah tangisnya reda, Vanya meraih Hp nya, lalu ia memotret sepasang kakinya dari lutut ke bawah.
Vanya tiba-tiba saja memposting foto kakinya itu di status WA nya, dengan caption "***Berdiri di atas kaki sendiri dan bertumpu juga di atas kaki sendiri***."
Sebetulnya Vanya ingin menjelaskan lebih panjang arti dari sepasang foto kakinya itu, yakni selama ini dia memendam sendiri masalahnya dari keluarga, menghadapinya juga sendiri dan pada akhirnya dia sendiri yang menyelesaikannya. Tapi, dengan cara apa dia harus menyelesaikannya, karena Vanya belum tahu seperti apa penyelesaiannya nanti?
Vanya berdiri dari bangku di taman itu, ia menyudahi keberadaannya di sana. Kini langkahnya menuju parkiran taman untuk menghampiri motornya. Vanya meninggalkan taman itu, dengan hati yang masih sedih dan galau.
Saat motor Vanya melintas dan keluar dari taman itu, dua pasang mata tengah mengamatinya dan mengikuti ke mana Vanya menjalankan motornya.
nyesel atau marah sama Vanya....
lha gmn tidak ..ms Vanya masih kepikiran takut kalau gigi Dilmar ompong ...😁
𝗅𝖺𝗇𝗃𝗎𝗍 𝗒𝖺 𝗄𝖺