Lestari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Naya dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
"Ngomong-ngomong, terima kasih ya, Nindi. Aku janji deh, suatu saat kalau aku udah dapet gaji, aku bakal ganti uang 100 ribu ini," ujar Tari dengan sungguh-sungguh, merasa tak enak hati. Nindi begitu mudahnya membelikan kuota seharga itu, sementara ia sendiri merasa seperti tak pantas menerima bantuan.
"Gak usah dipikirin, uangku masih banyak kok, Tari. Bukan sombong ya, tapi kalau kamu masih bersikeras, nanti kamu traktir aku pempek di alun-alun aja," jawab Nindi dengan tulus. "Dulu cuma kamu satu-satunya temanku."
"Hemm, ternyata Markonah sekarang jadi baik sekali, kayak ibu peri. Aku senang deh, akhirnya ada bestie deket aku," kata Tari, sambil memeluk Nindi dengan penuh haru.
Markonah adalah julukan Nindi waktu masih remaja, karena rambutnya yang kriting dan mengembang mirip dengan Markonah. Berbeda dengan sekarang yang rambutnya lurus lempeng seperti jalan tol, gara-gara di-laminating.
"CK, udah cantik begini masih dipanggil Markonah, si Tar!" dengus Nindi dengan geli.
"Iya deh, ibu peri. Terima kasih ya. Kapan-kapan kita jumpa lagi," sahut Tari, masih tersenyum.
"Oke!" jawab Nindi dengan semangat.
Setelah berpamitan dan saling bertukar nomor WA, keduanya pun pulang ke rumah masing-masing.
Pluk!
"Alamaak, karena keasikan belajar cari duit kayak Nindi, aku jadi lupa beli bedak. Huf, udah sampai depan rumah lagi!" gerutu Tari, sambil menepuk jidatnya sendiri.
"Besok aja deh, ke pasar lagi," putus Tari, mencoba menenangkan dirinya.
Baru saja Tari membuka pintu, sebuah piring terbang meluncur ke arahnya.
Grompyang!
"Bagus, habis ngelayap dari mana kamu?! Jam segini baru pulang!" semprot Bu Ayu dengan nada kesal.
Huuft!
Dikiranya Tari takut?
"Kenapa? Ada masalah?" selorohnya sambil mengurut dada. Jujur saja, Tari cukup terkejut dengan aksi piring terbang barusan.
Mata Bu Ayu semakin melotot dibuatnya.
"Oh, jelas masalah! Kamu ini tinggal di rumah saja, gak bisa seenaknya pergi begitu saja! Sadar diri sedikit!" sarkas Bu Ayu dengan nada tinggi.
Tari berjalan santai, lalu duduk di ruang tamu dan mulai menuangkan air dari teko ke gelas yang memang selalu tersedia di atas meja tamu.
Tari memilih untuk mengabaikan mertuanya dan lebih fokus pada minumannya, berusaha menghilangkan rasa terkejutnya.
"Kamu budek ya? Dibilangin orang tua, bukannya jawab malah minum air sampai habis!" semprot Bu Ayu lagi, semakin kesal.
"Ck, apa sih, Bu! Tari tuh haus! Kalau soal Tari yang numpang di rumah ini, ya wajar dong. Tari kan istrinya anak ibu, menantunya ibu," jawab Tari dengan nada kesal. "Lagi pula, Tari gak kurang sadar diri gimana lagi? Semua pekerjaan rumah Tari yang kerjain, bahkan nyuci sempak ibu juga Tari yang cuci. Kurang tak tahu diri gimana lagi yang ibu maksud?"
Tari tak terima. Sudah jelas ia tak mau terus-terusan ditindas atau dibuli. Selama ia merasa benar, ia tak akan ragu untuk membalas dengan suara keras.
"Eh, kamu! Ngebantah terus kalau ada orang tua ngomong! Harusnya kamu tuh diem dan nurut aja sama ibu! Jangan terus-terusan ngebantah, nanti kamu baru tahu rasa!" cerocos Bu Ayu dengan mata mendelik, jelas marah.
"Lah, ibu ini gimana sih!" ujar Tari dengan geram. "Tadi Tari diam, ibu marah. Sekarang Tari jawab, ibu juga marah. Maunya ibu tuh gimana sih? Bikin pusing kepala aja!" Tari sengaja melontarkan kata-kata itu, berharap bisa membuat tensi darah sang ibu mertua semakin naik. Kalau bisa, sampai ibu mertua terkena stroke atau, siapa tahu, mati sekalian. Kalau begitu kan rumah ini akan menjadi lebih tenang, tanpa ada lagi omelan nenek lampir yang setiap hari menyiksa telinga.
Namun, tiba-tiba Tari terkejut dengan pikirannya sendiri. Astaghfirullah! Gak boleh mendoakan orang cepat mati, Tari! Takut kalau doa itu dikabulkan oleh Tuhan. Tari buru-buru menyadari kesalahannya, meskipun ia merasa sangat tertekan.
Semangat thor