Demi masa depan, Tania Terpaksa menjadi wanita simpanan dari seorang pria yang sudah beristri. Pernikahan Reyhan yang di dasari atas perjodohan, membuat Reyhan mencari kesenangan diluar. Namun, dia malah menjatuhkan hatinya pada gadis yang menjadi simpanannya. Lantas, bagaimana hubungannya dengan Kinan, dan rumah tangganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nova Diana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah satu milyar.
Pagi hari setelah sarapan, Tania membantu Ibunya membuka warung. Pagi- pagi sekali mereka sudah sibuk di warung dan menata sayuran untuk dijual.
Tania sangat semangat sekali membantu Ibunya, satu per satu ibu- ibu sudah pada datang, memilih sayuran dan lauk untuk dimakan keluarga mereka hari ini.
“Wah, Tania rajin sekali, ya. Pagi- pagi sudah bantu ibunya.”
“Iya, Wak. Mumpung lagi pulang kampung.” Tania menjawab dengan Ramah.
“Iya, Tania sibuk, ya di kota. Istirahat sebentar di kampung, ya ‘kan Tan.” Seorang ibu lainnya menimpali.
“Hehe, iya, Buk. Kangen udara sini juga, di kota polusi doang adanya.” Tania meladeni perkataan ibu- ibu yang sedang belanja.
“Tania makin cantik, loh. Bagi dong raasianya.” Kini seorang ibu muda yang berkomentar.
“Ah, saya cuma pakai sunscreen kalau siang, kalau malam saya pakai.” Tania berpikir lama, mencari nama- nama produk murah.
Tidak mungkin Tania mengatakan produk yang ia pakai, bisa- bisa dicari tahu harganya dan panjang urusan.
“Saya, lupa. Nanti saya lihat, ya kak.” Ibu muda itu terlihat sedikit kecewa.
“Baiklah, bener, ya kasih tahu.”
“Iya, kak.”
“Tapi, Tania memang lebih cantik banget, ya sekarang. Dan halus banget kulitnya.”
Ibu tua lainnya memegang kulit tangan Tania dan memperhatikan kulit wajah Tania yang putih halus tanpa pori- pori.
“Ah, ibu bisa, ih. Tania ‘kan jadi seneng. Tania cuma cocok aja sama air disana, buk. Soalnya mau mandi aja harus bayar.”
Tania mencoba membalas pertanyaan demi pertanyaan dengan ramah dan diselingi tawa, membuat siapa pun senang terhadapnya. Tapi tentu saja, tidak semua orang, pasti ada saja orang yang tidak suka dengannya seperti ibu dewi.
Wanita setengah baya yang penampilannya mentereng, kalung emas bermata bunga besar, gelang emas memenuhi tangan kanan kiri juga cincin yang berjejer hampir memenuhi sepuluh jarinya.
“Ck, sudah dapat apa saja memangnya merantau di kota.”
Pertanyaan bu dewi membuat orang- orang yang asik bersenda gurau menjadi diam.
“Sudah bisa beli rumah belum? Anakku tu, kemarin baru beli mobil, honda Bria. Mahal lo itu.”
Ibu- ibu yang lain saling pandang, berbicara lewat mata mendengar bu dewi menyombongkan anaknya.
“Ah, saya belum, bu. Mungkin nanti, doakan saja. Lagi pula saya juga masih kuliah, bu. Sabar.” Tania menanggapi omongan bu dewi dengan santai.
Padahal dalam hatinya sedang menertawai Bu dewi, anaknya tinggal satu kota dengan Tania, ia tahu anaknya juga menjadi simpanan suami orang. Tapi anak bu dewi tahunya Tania di kota bekerja sebagai pramusaji.
“Oalah, masih kalah sama anak saya ternyata. Padahal anak saya juga kuliah.”
Bu dewi tidak mau kalah, Tania memilih mengalah, malas cari ribut dengan tetangga dan hanya menanggapi omongan bu dewi, memenuhi ego tinggi bu dewi.
“Iya, buk. Memang kak Rina terbaik.” Tania memberinya dua jempol.
Cih! Kuliah apanya, anakmu lho nggak kuliah. Mendaftar saja tidak pernah, apa lagi kuliah.
Bu Dewi terlihat senyum penuh kemenangan, karena hatinya senang, tidak ada orang yang bisa menyaingi keluarganya, bu Dewi membeli banyak lauk hari ini setelahnya ia langsung pulang tetap dengan senyum kemenangan.
“Tania, sabar ya. Bu dewi memang seperti itu.” Ibu menenangkan Tania, atas perkataan Bu dewi yang meremehkannya.
“Kenapa, bu? Aku nggak apa- apa kok. Aku sudah maklum dengan beliau.”
Tania tersenyum mendengar Tania.
Anakku sudah dewasa sekarang, batin Ibu tania.
Ya, jika perkataan Bu dewi terucap dua tahun lalu mungkin sekarang Tania sedang menjambaki rambut wanita setengah baya itu. Untung ia mengatakannya saat hidup Tania sudah lebih baik.
Siang hari, dua orang laki- laki datang untuk menawar rumah Orang tua Tania. Tania sudah tau siapa dua orang yang ada di hadapannya ini.
Ini pasti utusan, Mas Reyhan.
Setelah berbasa basi, dan tanpa menanyakan harga jual rumah. Kedua orang itu langsung memberi harga satu milyar.
“Apa!” tania dan Ibu terkejut.
Tania tau jika kedua orang ini utusan, Reyhan. Tapi dia tidak menyangka jika akan membeli dengan harga sebesar itu. Mengingat luas tanah dan bangunan rumah, Tania, satu milyar, itu berlebihan.
“Maaf, pak. Saya menjual rumah saya hanya seratus lima puluh juta saja.” Ibu Tania mencoba memberi pengertian
Tapi kedua orang itu tetap memaksa, mengatakan jika mereka sangat tertarik dengan rumah Tania dan ingin membelinya dengan harga satu milyar.
“Bu, biarkan saja. Mungkin ini rezeki buat kita.” Tania berbisik pada Ibu yang juga tetap ngotot harga satu milyar itu sangat berlebihan.
“Tapi, Nia.”
“Bu, biarkan saja.” Tania ikut membujuk ibunya, Tania sangat tahu bagaimana Reyhan, jika sudah berkata A maka harus jadu A.
Tania juga memikirkan nasib dua orang ini jika gagal membeli rumah Tania dengan harga satu milyar.
Setelah meyakinkan Ibu untuk menerima saja tawaran itu, Ibu akhirnya luluh juga dan mengiyakan perkataan tidak masuk akal calon pembeli rumahnya.
Serah terima surat sudah selesai. Surat rumah juga sudah berpindah tangan, ternyata mereka membawa uang cash di tas yang mereka bawa.
Mereka berdua pamit pulang, meninggalkan uang yang di dalam tas dan membawa sertifikat Tanah rumah.
“Tania.” Tubuh ibu Tania, lemas lunglai bagai tak bertulang.
Seumur hidup baru kali ini melihat uang sebanyak itu dan itu milik mereka. Sedangkan Tania, sudah biasa melihat uang sebanyak itu, bahkan di rekeningnya dua puluh kali banyak dari ini.
Tania panik, menyadarkan ibunya yang terkulai lemas.
“Ibu, sadar, bu. Bu.” Tania menggoyangkan tubuh ibunya.
“Ibu sadar, nia. Ibu hanya syok.” Ibu masih bisa menjawab meski dengan tubuh yang masih pangku Tania.
Butuh waktu satu jam untuk Ibu benar- benar sehat kembali. Setelah itu, Ibu dan Tania mulai merencanakan untuk apa uang itu.
Dan ibunya menyerahkan keputusan pada Tania.
“Bu, kita beri Ayah seratus juta, dan lima puluh juta lagi untuk membebaskan Ayah.”
“Sisanya kita belikan Tanah kosong untuk membangun Rumah dan juga ruko, untuk ibu berjualan.”
Tania memberi Ide, Ibu hanya mengangguk setuju, membiarkan tania yang memutuskan dan merencanakan.
“Kita tidak mungkin membiarkan uang cash ini dirumah lama- lama. Besok kita ke bank memasukan ke rekening Ibu.”
“Iya, Tania, ibu pun tidak enak hati jika uang ini dirumah. Hati Ibu cemas.”
Perencanaan sudah matang, hanya tinggal mengeksekusi esok.
Hari semakin malam, Tania masih tidur dengan Ibunya, kali ini sang ibu yang meminta Tania tidur dengannya. Masih khawatir dengan uangnya, dan membawanya tidur bersama tania.
Dengan posisi, Tania di pinggir dinding, uang di tengah dan Ibu di pinggir yang lainnya.
Mata ibu sulit dipejamkan, sedangkan Tania sudah sedari tadi jatuh dalam mimpi. Entah berapa lama, Ibu akhirnya tertidur juga.
Epilog
Tania menghubungi Reyhan “Halo, Mas.”
“Iya, Nia, kenapa, kau rindu padaku?”
“Tidak.” Tania menjawab spontan.
“Tidak!” Reyhan meninggikan suaranya mendengar jawaban Tania.
“Bukan, begitu sayang. Maksudku, iya aku rindu, makanya aku menelpon.”
Ah, begini saja agar aku selamat, bisa- bisa aku di suruh kembali.
“Aku sangat merindukanmu, dan, Mas. Kenapa mahal sekali kamu membeli rumahku.” Kembali lagi ke point yang ingin dikatakan Tania.
“Itu tidak seberapa, Nia. Aku akan memberikan seisi dunia jika kau mau.”
“Ck, seisi dunia, nikahi aku secara hukum saja tidak bisa.” Tania bergumam kecil, ternyata suaranya masih terdengar di telinga Reyhan.
“Apa? Nia, Kau mau ku nikahi.”
Dia mendengarku, ah gawat.
“Haha, kamu salah dengar, Mas. Oh Ya terima kasih ya untuk hari ini, aku matikan, ya. Ibu sudah memanggil, Aku mencintaimu, Mas Reyhan. Bye.”
Tut tut.
Sambungan telepon mati, tanpa menunggu jawaban dari Reyhan.
“Aku juga mencintaimu, Tania.” Menjawab di sambungan yang sudah terputus.
Bersambung…