Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Kelas 320
Beberapa bulan berlalu, dan akhirnya, hari yang ditakuti dan diantisipasi oleh seluruh siswa kelas 320 tiba. Hari ujian akhir.
Di dalam ruang kelas, suasana begitu tegang hingga udara seakan penuh dengan tekanan. Beberapa siswa terlihat memegangi kepala mereka seolah-olah otak mereka akan meledak kapan saja. Ini pertama kalinya mereka benar-benar belajar, dan lebih mengejutkan lagi, ini pertama kalinya mereka tahu otak mereka bisa digunakan untuk hal selain mengingat nama-nama pemain sepak bola atau strategi gim online. Semua ini berkat Luna dan modul belajar buatannya.
"Kenapa rasanya kita seperti mau pergi perang?" gumam Daniel, siswa yang dulu terkenal sebagai raja remedial. Dia kini memegang pena dengan tangan gemetar, tatapannya kosong seperti veteran yang mengingat trauma lama. "Luna benar-benar menyiksa kita selama ini."
Theresa yang duduk di sebelahnya mengangguk setuju. “Aku bahkan tidak tahu jika otakku bisa kupakai untuk mengerjakan soal ujian sebelum Luna muncul. Sekarang aku merasa otakku seperti terbakar, semua terasa panas!”
Di barisan depan, Luna duduk dengan santai, tampak seperti seorang jenderal yang yakin akan kemenangan pasukannya. Dia melirik seisi kelas dan tersenyum. "Tenang saja, kalian semua sudah belajar dari modulku. Kalau kalian tetap gagal, itu artinya kalian tidak belajar dengan benar."
Dominic, sang ketua kelas, langsung angkat tangan. “Luna, aku sudah membaca modul itu tiga kali. Tapi kenapa aku masih tidak bisa menjawab soal simulasi yang kau buat?”
“Itu karena soal simulasi itu setara dengan ujian masuk Universitas. Ini ujian akhir sekolah, Dominic, bukan seleksi mahasiswa baru. Fokus saja, kau pasti bisa,” jawab Luna santai, membuat seisi kelas mendesah lega sekaligus ketakutan.
Bu Evelyn masuk ke dalam kelas dengan senyuman semangat, membawa tumpukan kertas soal yang terlihat lebih tebal dari novel trilogi fantasi. "Baiklah, anak-anak. Ini saatnya kalian membuktikan hasil kerja keras kalian selama ini!"
Saat kertas soal dibagikan, suasana kelas mendadak hening. Bahkan suara napas pun nyaris tak terdengar. Theresa memelototi soal matematika seperti sedang membaca hieroglif kuno. Daniel mulai menggambar pola acak di kertas buramnya, berharap itu bisa memberikan inspirasi. Sementara itu, Luna sudah selesai menjawab lima soal pertama sebelum Daniel bahkan menyentuh soal nomor satu.
Di sudut kelas, Freya terlihat mencoret-coret sesuatu di kertas soal. Luna mendekat dan melihat bahwa Freya sebenarnya sedang menggambar cupcake. "Freya, fokus!" bisik Luna sambil mengetuk kepala sahabatnya dengan pensil.
Freya mendongak dengan wajah polos. "Aku lapar. Metode dietmu membuatku terus membayangkan makanan."
Luna memutar mata. “Kalau kau gagal hanya karena cupcake, aku akan membuatmu lari keliling lapangan sampai kau lupa rasa lapar. Lagipula apa kau mau membuang kerja kerasmu setelah kau sudah menurunkan berat badanmu cukup banyak"
Ujian berlangsung dengan penuh drama kecil. Ada yang terjatuh dari kursinya karena terlalu tegang. Ada juga yang tanpa sengaja menyebut soal fisika sebagai "teka-teki maut." Namun, satu hal yang pasti: semua orang mencoba sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa kelas 320 bukan lagi kelas pecundang.
Ketika bel tanda akhir ujian berbunyi, seisi kelas langsung bersorak—bukan karena mereka yakin berhasil, tapi karena mereka akhirnya bebas dari teror ujian. Luna berdiri di depan kelas, mengangkat tangannya layaknya seorang pahlawan yang baru saja memenangkan pertempuran.
"Teman-teman," kata Luna sambil menatap mereka dengan penuh rasa bangga, "kita sudah melalui ini bersama. Apa pun hasilnya nanti, aku yakin kita lebih baik daripada sebelumnya."
Theresa berdiri dan berseru, “Aku yakin aku setidaknya akan lulus tanpa remedial!”
"Dan aku yakin aku tidak akan dibunuh ibuku karena nilai buruk lagi!" timpal Daniel.
Kelas pun meledak dalam tawa dan sorakan, meskipun di dalam hati mereka masih berdoa agar hasil ujian tidak berubah menjadi bencana.
...****************...
Hari pengumuman hasil ujian tiba, dan suasana di kelas 320 dipenuhi ketegangan yang hampir bisa dipotong dengan pisau. Semua murid duduk gelisah di kursi mereka, jantung mereka berdegup kencang seperti drum konser rock. Bahkan Daniel, yang biasanya tidur di meja belakang, kali ini tampak duduk tegak dengan tatapan kosong ke arah papan tulis.
"Aku sudah siap menerima kenyataan pahit," gumam Theresa sambil memegang kertas coretannya erat. "Mungkin aku akan pindah ke desa dan jadi petani."
"Setidaknya petani tidak perlu menghitung fungsi trigonometri," balas Freya lesu, sambil menatap kotak makan siangnya yang sudah kosong.
Ketika pintu kelas terbuka, semua kepala langsung menoleh. Bu Evelyn masuk dengan langkah perlahan, wajahnya seperti penuh rahasia. Dia menatap mereka satu per satu, membuat jantung murid-murid semakin bergemuruh. Wajahnya begitu serius, hingga Theresa hampir pingsan di tempat.
"Anak-anak," ucap Bu Evelyn dengan nada berat, suaranya hampir seperti protagonis drama tragedi. "Hasil peringkat kelas sudah keluar, dan kelas kita..."
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Daniel langsung memotong. "Sudah kuduga, kelas kita tetap jadi kelas terburuk!"
Dominic, sang ketua kelas, berdiri dengan dramatis. "Ibu, katakan saja. Kami sudah kebal dengan hasil buruk. Tak perlu berbelit-belit."
Para murid mulai bergumam seperti lebah di sarang yang terganggu. Beberapa bahkan sudah memasang wajah pasrah, seolah-olah siap menerima surat pengusiran dari sekolah. Freya memeluk kotak makan siangnya erat-erat, mungkin berharap makanan bisa menghiburnya.
Tiba-tiba, Bu Evelyn tersenyum tipis. Dan tanpa peringatan, dia melompat seperti cheerleader di pertandingan final. "Kelas 320 mendapat peringkat ke-8!!!"
Hening. Seluruh kelas terdiam. Bahkan suara napas pun nyaris tak terdengar. Semua menatap Bu Evelyn dengan ekspresi bingung, seperti baru saja mendengar bahasa alien.
"Hah?" Daniel akhirnya angkat suara. "Apa yang barusan ibu bilang?"
Bu Evelyn mengangguk antusias. "Benar! Kelas kita, kelas 320, peringkat ke-8 di seluruh sekolah!"
Jeritan melengking Theresa memenuhi ruangan, disusul oleh sorakan liar dari seluruh kelas. Kursi dan meja bergoyang saat murid-murid berlonjak-lonjak kegirangan. Freya sampai menjatuhkan kotak makan siangnya, tapi kali ini dia tidak peduli. Sementara Dominic berlari ke depan kelas dan berdiri di atas meja dengan pose heroik.
"Ini... ini mimpi, kan?" bisik Daniel, wajahnya penuh air mata haru. "Aku bahkan tidak pernah lulus tanpa remedial sebelumnya!"
"Tunggu, itu belum semuanya!" seru Bu Evelyn dengan semangat yang kini tak terbendung. "Dan sekali lagi, Luna Harrelson menjadi juara pertama sekolah kita! Kalian semua lulus dengan rata-rata skor 580 dari poin sempurna 750 untuk semua mata pelajaran!"
Seketika seluruh kelas meledak dalam sorakan. "Luna! Luna! Luna!" Semua murid mulai mengelilingi Luna, mengelu-elukan namanya seperti pahlawan yang baru saja memenangkan perang.
Luna hanya berdiri di tengah kerumunan dengan senyum tipis, menahan godaan untuk berguling di lantai akibat sikap dramatis teman-temannya. "Ahhh, hentikan kalian benar-benar berisik!!!!" katanya, meskipun jelas-jelas menikmati perhatian.
Theresa menangis sambil memeluk Luna. "Kau penyelamatku! Berkatmu, aku tidak perlu menjadi petani!"
"Dan aku tidak akan dikejar ibu dengan sapu karena nilai jelek!" tambah Daniel dengan mata berbinar.
Bu Evelyn menyeka air matanya dengan sapu tangan. "Aku bangga pada kalian, anak-anak. Kalian telah membuktikan bahwa kelas 320 bukan lagi kelas yang bisa diremehkan."
Saat kegembiraan terus berlangsung, Dominic berdiri lagi di atas meja dan berteriak, "Hari ini harus dirayakan, kita akan pergi ke depot tuan Sam untuk makan burger sepulang sekolah nanti, aku yang traktir!!!"
Sorakan membahana memenuhi kelas, membuat suasana semakin riuh. Bahkan Luna, yang biasanya dingin, akhirnya tak tahan untuk tertawa bersama teman-temannya. Hari itu, kelas 320 membuktikan bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia, dan untuk pertama kalinya, mereka merasa bangga dengan diri mereka sendiri.
Suasana di kelas 320 masih riuh dengan sorakan kegembiraan, namun di tengah kehebohan itu, Bu Evelyn akhirnya berhasil menenangkan murid-muridnya yang terus bertepuk tangan. "Tenang, anak-anak, tenang!" teriak Bu Evelyn, meski suaranya sudah tertelan oleh hiruk-pikuk. "Kalian sudah menunjukkan hasil luar biasa, tapi jangan lupa, ujian masuk universitas juga sudah dekat. Jadi, siap-siap untuk mulai belajar lagi."
Semua murid langsung terdiam mendengar kata 'ujian masuk universitas'. Tatapan mereka seketika berubah dari wajah penuh semangat menjadi wajah penuh penyesalan. Freya, yang selama ini dikenal sebagai si penggemar hiburan, langsung menatap Luna dengan ekspresi penasaran.
Kau akan masuk universitas mana, Luna?" tanya Freya, agak ragu, seolah-olah ingin tahu apakah teman sekelasnya yang jenius itu punya rahasia tersembunyi.
Luna, yang sudah siap dengan jawabannya, menyandarkan punggungnya pada meja dan berkata dengan mantap, "Aku akan masuk ke Imperial University, dan mengambil jurusan kedokteran." kata Luna mantap.
...****************...