NovelToon NovelToon
Pangeran Tampan Itu Dari Dunia Lain

Pangeran Tampan Itu Dari Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Beda Dunia / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:958
Nilai: 5
Nama Author: Worldnamic

Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25: Jaringan Pengintai

Setelah melewati ujian yang menguras fisik dan mental, Ayla, Kael, dan Arlen melanjutkan perjalanan mereka. Mereka berjalan dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, meskipun sinar matahari masih menyinari lembah yang kini sudah jauh di belakang.

“Apa yang kita pelajari tadi tidak boleh kita lupakan,” kata Ayla tiba-tiba, memecah keheningan.

Kael mengangguk tanpa menoleh. “Kunci itu mungkin hanya langkah pertama. Kita harus bersiap untuk apa pun yang akan datang.”

Arlen, yang berjalan paling depan, menghentikan langkahnya. Ia memutar tubuhnya, menatap Kael dengan sorot mata tajam. “Berbicara tentang persiapan, kita harus berhenti mengabaikan ancaman nyata di sekitar kita. Noir tidak akan berhenti mengejar.”

“Kita tahu itu,” balas Kael, suaranya penuh ketegangan. “Tapi kita juga harus fokus pada misi kita—menemukan jalan menuju Gerbang Dunia.”

“Dan kita tidak akan berhasil jika kita terus dikejar,” ujar Arlen, menekan suaranya. “Kita perlu menghilangkan jaringan pengintai Noir sebelum mereka melaporkan keberadaan kita.”

Ayla menatap keduanya, perasaan khawatir mulai menjalari dirinya. Ia melangkah maju, berdiri di antara mereka. “Sudah cukup. Kita tidak punya waktu untuk saling bertengkar. Jika Arlen benar, maka kita harus menemukan pengintai itu dan menghentikannya. Tapi kita juga tidak bisa melupakan tujuan utama kita.”

Kael dan Arlen saling pandang. Akhirnya, Arlen menghela napas panjang dan mengangguk. “Baik. Aku akan mencari jejak mereka. Kalian bersiaplah untuk bertahan jika sesuatu terjadi.”

Tanpa menunggu jawaban, Arlen bergerak cepat, menyusuri jejak di tanah dengan keahlian seorang pemburu.

Setelah beberapa jam berjalan, Arlen kembali dengan ekspresi serius. “Aku menemukan mereka,” katanya. “Dua makhluk bayangan sedang bersembunyi di hutan, tidak jauh dari sini. Mereka terlihat seperti pengintai Noir.”

Kael mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, kita harus menghentikan mereka sekarang.”

Ayla merasa gugup, tetapi ia tahu mereka tidak punya pilihan lain. Jika pengintai itu melaporkan posisi mereka, Noir akan datang dengan pasukan besar.

Di tepi hutan, mereka bergerak dengan hati-hati. Arlen memimpin, diikuti oleh Kael yang menggenggam pedangnya erat-erat. Ayla berjalan di belakang, memperhatikan setiap gerakan di sekitarnya.

Ketika mereka semakin dekat, suara pelan seperti desisan terdengar di udara. Dua makhluk bayangan yang menyerupai manusia dengan tubuh transparan tampak berbicara dalam bahasa yang tidak mereka mengerti.

“Siapkan dirimu,” bisik Arlen, mengangkat busurnya dan memasang anak panah.

Kael mengangguk, dan tanpa peringatan, Arlen melepaskan anak panahnya. Anak panah itu meluncur dengan cepat, menembus salah satu makhluk bayangan, membuatnya terhuyung mundur.

Makhluk itu melolong, suaranya seperti gabungan dari angin dan jeritan manusia. Bayangan kedua segera menyadari kehadiran mereka dan menyerang dengan kecepatan yang luar biasa.

Kael maju, melindungi Ayla dengan pedangnya. Tebasannya mengenai makhluk itu, tetapi tubuhnya seperti kabut, membuat serangan Kael hanya memperlambatnya.

“Mereka seperti bayangan di reruntuhan,” seru Kael. “Serangan fisik tidak cukup!”

Ayla mengingat bola cahaya yang baru saja menyatu dengan tubuhnya. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan energi itu. Dan kemudian, sebuah ide muncul di kepalanya.

“Beri aku waktu!” serunya.

Kael dan Arlen melindunginya, menahan serangan makhluk-makhluk itu sebisa mungkin. Sementara itu, Ayla merasakan kehangatan yang sama seperti saat bola cahaya masuk ke dalam tubuhnya. Ia merentangkan tangannya, memusatkan pikirannya pada satu tujuan: menghentikan makhluk-makhluk itu.

Sebuah lingkaran bercahaya muncul di tanah di bawah kakinya, memancarkan cahaya lembut. Makhluk-makhluk bayangan itu tampak terhenti sejenak, seperti merasakan sesuatu yang mengancam mereka.

“Apa yang kau lakukan?” teriak Kael, menghindari serangan bayangan yang melesat ke arahnya.

“Percayalah padaku!” jawab Ayla.

Lingkaran cahaya itu semakin terang, hingga akhirnya membentuk dinding energi yang melingkupi mereka bertiga. Makhluk-makhluk itu melolong lagi, tetapi kali ini suara mereka penuh rasa takut. Perlahan, tubuh mereka menghilang, seperti kabut yang tertiup angin.

Saat semuanya kembali tenang, Ayla terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah. Kael segera mendekatinya, memegang bahunya dengan cemas. “Kau tidak apa-apa?”

Ayla mengangguk lemah. “Aku hanya... butuh istirahat.”

Arlen mendekat, memandang lingkaran cahaya yang perlahan memudar. “Kau baru saja menyelamatkan kita, Ayla,” katanya pelan. “Itu luar biasa.”

Kael mengangguk setuju, meskipun ia terlihat khawatir. “Tapi kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Jika mereka pengintai, kemungkinan Noir sudah tahu posisi kita.”

Ayla berdiri perlahan, dengan bantuan Kael. “Kita harus terus bergerak,” katanya, suaranya penuh tekad meskipun tubuhnya terasa lelah.

Dan dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan mereka, kini lebih sadar bahwa bahaya bisa datang dari mana saja. Noir semakin dekat, tetapi begitu pula dengan tujuan mereka.

Perjalanan mereka memang penuh ancaman, tetapi di tengah semua itu, Ayla merasa bahwa mereka mulai menemukan sesuatu yang lebih kuat dari sihir mana pun: kepercayaan di antara mereka.

Setelah beberapa saat berjalan, suasana di antara mereka menjadi semakin sunyi. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga ketegangan emosional yang perlahan mengendap. Ayla merasa ada sesuatu yang belum selesai di antara Kael dan Arlen, meskipun keduanya tidak lagi berbicara langsung.

"Aku akan memeriksa sekitar," kata Arlen tiba-tiba, memecah keheningan. Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah ke sisi jalan setapak, menghilang di balik pepohonan.

Kael menghela napas panjang. "Dia selalu melakukan itu, bertindak seperti dia satu-satunya yang bisa melindungi kita."

Ayla memandangnya, mencoba memahami apa yang sebenarnya mengganggu Kael. "Dia hanya berusaha memastikan kita aman. Bukankah itu hal yang baik?"

Kael berhenti melangkah dan menatap Ayla. Matanya, yang biasanya penuh percaya diri, kini menunjukkan sedikit keraguan. "Ayla, aku tahu dia penting bagi kita sekarang. Tapi kau juga harus tahu—aku tidak sepenuhnya percaya padanya. Motivasinya terlalu kabur."

Ayla mengangkat alis, terkejut mendengar pernyataan itu. "Arlen sudah banyak membantu kita. Dia bahkan mempertaruhkan nyawanya lebih dari sekali."

Kael tersenyum masam, meskipun senyum itu tidak sampai ke matanya. "Mungkin aku salah. Tapi aku tidak akan lengah."

Sebelum Ayla sempat menjawab, Arlen kembali dari hutan. "Kita aman untuk saat ini," katanya singkat. Namun, sorot matanya berhenti pada Kael, seolah ia tahu apa yang baru saja dibicarakan.

Saat malam tiba, mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik tebing. Angin malam mulai bertiup kencang, membuat mereka semua mencari kehangatan dari api kecil yang Kael nyalakan.

Mereka duduk melingkar, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Ayla memandang kedua pria itu secara bergantian. Meskipun mereka tidak saling menatap, ketegangan di antara mereka begitu terasa, seperti benang yang hampir putus.

"Apa kalian tidak lelah saling curiga?" Ayla akhirnya bertanya, suaranya lembut tapi tegas.

Kael mendongak, terlihat terkejut dengan pertanyaan itu. "Aku tidak mencurigainya," katanya dengan nada defensif.

Arlen mendengus pelan, memandang Kael dengan tajam. "Kau bisa saja tidak mengatakannya, tapi aku bisa merasakannya. Kau tidak pernah percaya padaku sejak awal."

"Dan kau tidak pernah memberi alasan untuk percaya sepenuhnya," balas Kael cepat.

Ayla memejamkan mata, merasa percakapan ini akan berakhir buruk jika ia tidak segera menghentikannya. "Cukup," katanya, suaranya lebih keras dari yang ia maksudkan.

Keduanya terdiam, menatap Ayla.

"Kita tidak punya waktu untuk saling menyerang," lanjut Ayla, kali ini lebih tenang. "Jika kita ingin selamat, kita harus bekerja sama. Semua orang di sini memiliki niat yang sama, bukan? Menghentikan Noir dan menyelamatkan dunia ini."

Kael menghela napas, menunduk. "Kau benar. Aku hanya... aku tidak ingin kehilanganmu, Ayla. Tidak ada dari kita yang bisa melakukannya sendirian."

Arlen mengangguk perlahan, ekspresinya melembut. "Aku tidak berniat menjadi musuhmu, Kael. Kita berada di sisi yang sama."

Ayla tersenyum kecil, lega melihat mereka mulai mereda. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ketegangan ini tidak akan hilang begitu saja.

Malam itu, Ayla terbangun oleh suara samar dari luar gua. Ia segera duduk, merasakan hawa dingin yang tidak biasa. Arlen dan Kael masih tertidur, meskipun Kael memegang pedangnya erat-erat bahkan dalam tidur.

Ayla berdiri perlahan, melangkah keluar gua. Hutan di sekitarnya tampak tenang, tetapi ada sesuatu yang terasa salah. Angin yang tadi hanya berhembus lembut kini menjadi desiran aneh yang menusuk telinga.

Kemudian ia melihatnya—seberkas cahaya biru yang berpendar di kejauhan, melayang di antara pepohonan. Ia merasakan dorongan kuat untuk mendekat, meskipun hatinya berdebar cemas.

“Jangan pergi sendiri,” suara Arlen tiba-tiba terdengar di belakangnya. Ayla terlonjak, memutar tubuhnya.

Arlen berdiri di sana dengan ekspresi tegas. “Cahaya itu bisa jadi jebakan.”

“Tapi... itu juga bisa menjadi petunjuk,” Ayla membalas, suaranya penuh keyakinan.

Kael muncul beberapa saat kemudian, terlihat mengantuk tapi langsung waspada begitu melihat cahaya itu. "Apa yang terjadi?"

Ayla menunjuk ke arah cahaya biru itu. “Aku merasa kita harus ke sana. Sesuatu... memanggilku.”

Kael dan Arlen saling pandang, lalu mengangguk. “Kalau begitu kita pergi bersama,” kata Kael.

Mereka bertiga melangkah perlahan ke arah cahaya, rasa penasaran bercampur waspada mengiringi langkah mereka. Cahaya itu seperti menuntun mereka, semakin terang saat mereka mendekat.

Namun, ketika mereka tiba di tempat di mana cahaya itu berpendar paling terang, mereka menemukan sesuatu yang tidak mereka duga.

Di tengah lingkaran pepohonan, berdiri sebuah patung besar yang menyerupai sosok Noir. Matanya bersinar biru, dan dari mulutnya, suara bergema yang dalam terdengar:

"Selamat datang, para pengkhianat dunia. Aku sudah menunggumu."

Suasana langsung berubah dingin. Ayla, Kael, dan Arlen berdiri membeku, merasakan hawa ancaman yang kuat dari patung itu.

Malam itu, tak ada seorang pun yang bisa tidur lagi. Pertemuan ini jelas menjadi pertanda bahwa Noir semakin dekat, dan waktu mereka semakin menipis.

1
Faaabb
Update dong thor, jangan bikin kita mati gaya.
Worldnamic: di tunggu ya, mikirin idenya lama
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!