Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Keteguhan Hati
Malam itu, Zahra duduk di sudut kamarnya dengan pena di tangan. Surat untuk Zidan sudah setengah jadi, tapi setiap kali ia hendak menyelesaikannya, tangannya berhenti. Bukan karena ia ragu akan perasaannya, tetapi karena ketakutan akan masa depan yang belum jelas.
“Jika aku membiarkan perasaan ini menguasai, apa aku sedang melawan takdir Allah?” Zahra bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menatap jendela, memperhatikan rintik hujan yang membentuk pola acak di kaca. Dalam setiap tetesan, ia mencoba mencari petunjuk, tetapi yang ia temukan hanyalah pantulan dirinya yang penuh kebingungan.
Namun, Zahra tahu bahwa ia tidak bisa terus-terusan lari dari kenyataan. Ia harus menyelesaikan surat itu, baik untuk Zidan maupun untuk dirinya sendiri. Dengan napas panjang, ia mulai menulis:
"Gus, maafkan aku jika selama ini aku membuatmu menunggu dalam ketidakpastian. Percayalah, ini bukan tentang aku tidak menerima perasaanmu. Justru sebaliknya, aku terlalu takut menghadapi segalanya, karena keadaan yang belum bisa kita kendalikan. Tapi satu hal yang ingin aku katakan, aku percaya bahwa apa pun yang Allah rencanakan untuk kita, itu adalah yang terbaik. Jika kita memang berjodoh, aku yakin Allah akan memberikan jalan, bahkan di tengah segala rintangan ini. Zahra.”
Ia melipat surat itu dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam amplop kecil, dan menyimpannya di bawah sajadah. Zahra berencana menitipkan surat itu pada Aisyah keesokan harinya.
Sementara itu, di pesantren asal, Zidan merasa lebih tenang setelah keberaniannya menemui Zahra. Meski Zahra belum memberikan jawaban pasti, Zidan merasa langkahnya tidak sia-sia. Ia percaya, Allah sedang menyusun jalan terbaik bagi mereka.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Kabar bahwa Zidan menemui Zahra sampai ke telinga beberapa pengurus pesantren, termasuk Kiai Mahfud. Meski Kiai Mahfud telah memberi restu secara pribadi, beliau tetap khawatir keputusan Zidan bisa menimbulkan kegaduhan di kalangan santri.
“Zidan, kamu harus lebih hati-hati,” ujar Kiai Idris dalam percakapan di ruangannya. “Abi tidak ingin ada yang salah paham tentang niatmu. Apalagi Zahra sekarang berada di lingkungan baru. Jika ada isu yang beredar, itu bisa menyulitkan dia.”
Zidan mengangguk. “Aku paham, Abi. Aku hanya tidak ingin dia merasa sendiri.”
“Dan Abi tidak menyalahkan itu,” jawab Kiai Idris dengan tenang. “Tapi ingat, menjaga nama baiknya sama pentingnya dengan memperjuangkan cintamu.”
Kata-kata itu menjadi pengingat bagi Zidan. Ia mulai lebih berhati-hati dalam tindakannya, memastikan bahwa perjuangannya tidak malah membebani Zahra.
Di hari berikutnya, Zahra memberikan surat itu kepada Aisyah saat mereka bertemu di acara pengajian gabungan. Aisyah, yang sudah lama melihat pergulatan hati Zahra, menerimanya dengan senyum penuh pengertian.
“Zahra,” kata Aisyah lembut, “aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi aku yakin, Allah tidak akan membiarkan kamu menghadapi ini sendirian.” Pertemuan mereka dilakukan di sebuah toko buku, Aisyah memang izin keluar dari pesantren sengaja untuk menemui Zahra.
Zahra mengangguk, meski hatinya masih penuh keraguan. “Tolong berikan ini pada Gus Zidan. Aku hanya ingin dia tahu apa yang ada di hatiku.”
Aisyah memeluk Zahra dengan erat. Ia tahu betapa berat keputusan ini bagi sahabatnya.
Surat itu sampai di tangan Zidan dua hari kemudian. Saat membacanya, Zidan merasakan campuran emosi, lega, bahagia, dan sedikit gelisah. Zahra tidak memberikan jawaban pasti, tetapi surat itu adalah tanda bahwa Zahra tidak benar-benar meninggalkannya.
Namun, Zidan tahu bahwa hanya cinta saja tidak cukup. Ia harus menunjukkan kepada Zahra bahwa ia siap menghadapi apa pun untuk mereka berdua.
Di malam yang sama, Zidan berbicara dengan ayahnya sekali lagi.
“Abi, aku ingin bertemu Zahra lagi. Tapi kali ini, aku ingin melibatkan keluarganya juga. Aku ingin mereka tahu bahwa aku serius.”
Kiai Idris terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Jika itu niatmu, Abi akan mendukung. Tapi pastikan kamu melakukannya dengan cara yang benar.”
Rencana pertemuan itu pun mulai dirancang. Zidan menghubungi Aisyah untuk meminta bantuan mengatur pertemuan dengan Zahra dan keluarganya. Aisyah, meski awalnya terkejut, setuju untuk membantu.
Namun, ketika Zahra mendengar rencana itu, hatinya kembali bimbang. Ia tidak tahu apakah ia siap menghadapi keluarganya, terutama karena mereka selama ini sangat melindunginya.
“Zahra, ini adalah kesempatan untuk melihat kesungguhan Gus Zidan,” ujar Aisyah, mencoba menenangkan Zahra. “Dan ini juga kesempatan bagimu untuk berdiri di antara perasaan dan keluargamu.”
Zahra akhirnya setuju, meski dengan hati yang masih penuh keraguan.
Hari pertemuan itu tiba. Zidan, ditemani oleh Kiai Idris dan ibunya, datang ke rumah Zahra dengan membawa niat tulus. Di ruang tamu sederhana itu, suasana terasa tegang. Ayah Zahra, seorang pria yang dikenal tegas tetapi lembut, menatap Zidan dengan penuh perhatian.
“Gus Zidan,” kata Ayah Zahra akhirnya, memecah keheningan, “saya sudah mendengar tentang niatmu. Tapi sebelum saya memberikan restu, saya ingin tahu sejauh mana kamu memahami tanggung jawab ini.”
Zidan menatap Ayah Zahra dengan penuh keyakinan. “Pak, saya tidak akan berdiri di sini jika saya tidak yakin dengan niat saya. Saya tahu Zahra adalah sosok yang kuat, tetapi saya ingin menjadi pelindungnya, seperti yang dia pantas dapatkan.”
Ayah Zahra terdiam, merenungkan kata-kata Zidan. Sementara itu, Zahra yang duduk di sudut ruangan merasa jantungnya berdegup kencang.
“Bagus,” ujar Ayah Zahra akhirnya. “Tapi ingat, cinta saja tidak cukup untuk membangun kehidupan. Kamu harus siap menghadapi segala rintangan, baik dari dalam maupun dari luar.”
“Saya siap, Pak,” jawab Zidan dengan tegas.
Suasana di ruangan itu perlahan mencair. Zahra merasa lega melihat bagaimana Zidan menghadapi keluarganya dengan penuh penghormatan. Namun, ia tahu bahwa ini baru permulaan.
Setelah pertemuan itu, Zahra merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Meski masih banyak yang harus mereka hadapi, ia merasa lebih yakin bahwa Zidan adalah sosok yang tepat untuknya.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada bayangan lain yang mulai muncul. Beberapa orang di pesantren baru Zahra mulai memperhatikan hubungan mereka, dan tidak semua pandangan itu positif.
“Zahra, kamu yakin ini pilihan yang benar?” tanya salah seorang temannya suatu hari.
“Kenapa kamu bertanya begitu?” Zahra balik bertanya.
“Karena cinta itu indah, tapi juga bisa menjadi ujian yang berat,” jawab temannya pelan.
Zahra tidak menjawab. Ia tahu bahwa apa pun yang ia pilih, akan ada konsekuensi yang harus ia hadapi.
Zidan dan Zahra kini berada di persimpangan yang lebih besar. Meski mereka semakin dekat, dunia di sekitar mereka mulai memberikan tekanan yang tidak kecil. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi segalanya? Ataukah perjalanan ini justru akan membawa mereka pada takdir yang berbeda?
Hanya waktu yang bisa menjawab.
To be continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??