Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 30 ~
Duduk di bangku tempat biasa menunggu Lala di taman halaman playgroup, berkali-kali aku memeriksa ponsel berharap Arimbi menelfon atau kirim pesan untuk sekedar bertanya padaku apakah sudah di sekolah atau belum.
Namun sampai Lala keluar dari kelaspun, jangankan telfon atau chat, dia bahkan belum sampai di sini.
Malah Gesya yang menyusulku ke sekolah Lala.
Lalu bagaimana jika aku tak datang menjemput Lala?
Sedikit heran kenapa dia belum sampai, karena tak biasanya dia terlambat dan mengabaikan Lala begitu saja tanpa kabar apapun.
Menyentakkan napas sedikit kasar, emosiku seakan meningkat ketika ponselnya justru tak bisa ku hubungi.
Kemana dia? Apa terjadi sesuatu dengannya?
Kenapa nomornya tidak bisa ku hubungi?
Apa seperti ini perasaan Arimbi ketika sedang menerka-nerka?
Tanpa sadar aku mengepalkan tangan lalu ku pukulkan pada pahaku saat lagi-lagi suara operator yang ku dengar.
The number you are calling is not active, please try again letter.
Ah... Sial!!! Kemana kamu Bi? Apa kamu tidak ingat dengan putrimu?
Kali ini aku mencoba menghubungi Riska. Selagi menunggu panggilan terjawab, sepasang netraku memindai tubuh Lala yang tampak bahagia ketika melihatku ada di sini. Dia berlari dengan riangnya, aku sangat tahu dia pasti berharap bundanya juga ada di sini.
Aku melambaikan tangan seraya tersenyum merespon Lala.
Ku lihat Gesya langsung menghampiri Lala dengan tanpa malu. Dia seakan ingin sekali menggantikan posisi Arimbi.
Kalau bukan karena dia tantenya Lala, mana mungkin aku mengijinkannya menemui putriku.
Aku juga sangat tahu kalau dia menginginkanku, tapi aku tak sudi berhubungan dengan keluarga Hana.
Rasa sakit yang Hana torehkan di hatiku, seakan mampu menutup pintu maafku untuk mereka.
"Ayah" Seru Lala dengan tangan berada di gandengan tangan Gesya.
"Salam dulu, nak"
"Oh iya, Lala lupa" Lala tersenyum simpul. "Assalamu'alaikum, yah" anak gadisku mengulurkan tangan lalu mengecup punggung tanganku.
"Wa'alaikumsalam. Bentar ya, ayah lagi telfon"
"Iya" Lala tampak mengedarkan pandangan, aku yakin dia mencari keberadaan bundanya.
"Assalamu'alaikum" Seorang wanita mengucap salam dari balik telfon.
"Wa'alaikumsalam, mbak Riska. Saya Bima suami Arimbi"
"Iya, mas Bima"
"Begini mbak, Arimbi belum jemput Lala, kira-kira apa mbak Riska tahu, barangkali ada lembur di kantor"
"Maaf mas, saya sudah pulang sejak tadi siang, jadi saya tidak tahu. Sudah di hubungi nomor Arimbi?"
"Sudah, tapi tidak aktif" Aku agak sedikit khawatir sebenarnya.
"Coba nanti saya tanyakan pada pak Raska, siapa tahu dia dan Arimbi lembur di kantor"
"Baiklah, saya tunggu kabarnya secepatnya"
"Iya mas"
"Terimakasih mbak Riska.. Assalamu'alaikum"
"Waalaikumsalam"
"Bunda mana, yah? Katanya bunda sama ayah jemput Lala barengan? Kok bunda nggak ada?"
Baru saja aku menutup panggilan telfon, aku sudah di berondong dengan rentetan pertanyaan oleh Lala.
"Bunda masih ada urusan nak"
"Nggak jadi jemput Lala?" Tampak raut kecewa di wajahnya.
"Karena bunda masih sibuk, sayang. Lala ngertiin bunda ya, kan dari kemarin-kemarin bunda yang jemput, sekarang nggak apa-apa kalau ayah aja yang jemput Lala"
"Ya sudah" sahut Lala tak semangat.
"Gey, kamu pulang saja" Kini tatapanku beralih ke Gesya.
"Aku antar mas pulang, ya?"
"Nggak usah"
Pandanganku kembali beralih pada Lala, kemudian meraih pergelangan tangannya.
"Kita tunggu bunda sebentar, ya" Kataku yang langsung di anggukan kepala olehnya.
"Memangnya Arimbi kemana mas?"
"Masih di kantor"
"Yakin, mas?" Gesya menautkan alisnya seakan tak percaya "Nggak lagi sama dokter itu? Maksudku aku sering lihat mereka di jam pulang kantor seperti ini. Pas di restauran juga persis jam segini"
"Kamu pulang saja" Sungguh aku muak dengan ucapannya.
"Kalau mas nggak mau ku antar pulang, biarkan Lala pulang bersamaku"
"Pergi ku bilang!" Pelan tapi penuh penekanan. Aku harap Gesya mengerti kalau Amarah, kecewa dan cemas sedang menguasai diriku saat ini.
"Tapi La_"
"Dia putriku, ibu kandungnya saja tidak ku berikan hak atasnya apalagi kamu" potongku memenggal kalimatnya.
Dia tampak tergagap, mungkin tak menyangka dengan ucapanku barusan.
Tanpa mengatakan apapun, wanita tak tahu malu itu meninggalkanku dan Lala.
"Kita tunggu bunda di sini, yah?" tanya Lala.
"Kita tunggu taksi, La. Kayaknya bunda sudah pulang"
"Ayah nggak bawa mobil ya?"
"Enggak, ayah kan dari kantor langsung ke sekolah Lala"
"Jadi ayah belum pulang ke rumah?"
"Belum" Aku terpaksa menyunggingkan senyum, menyembunyikan raut khawatir dari wajahku.
Sebenarnya aku menunggu Arimbi, hanya saja aku tak berani berkata jujur pada putriku.
Mendengkus pelan, kegelisahanku kian memuncak saat aku membaca pesan dari rekan kerja Arimbi.
Riska : "Pak Raska bilang, Arimbi sudah pulang sejak pukul setengah empat, mas. Dia bilang akan jemput Lala ke sekolah"
Apa? Arimbi bilang mau jemput Lala?
Tapi kenapa belum sampai? Kemana dia?
Aku sengaja mengedarkan pandangan ke seluruh arah.
Tak ada Arimbi di sini.
Ku usap wajahku dengan gusar, mencoba menunggu beberapa menit lagi.
Mungkin saja Arimbi terjebak macet, atau mampir ke supermarket untuk membeli sesuatu.
Ya, benar sekali aku harus positive thingking, aku bukan bundanya Lala yang selalu berprasangka buruk pada orang lain.
Akan tetapi, setelah hampir pukul lima sore, Arimbi tak jua datang, ponselpun masih belum aktif.
Menarik napas frustasi, aku mengeluarkannya secara perlahan. Tak ada pilihan lain, aku harus membawa Lala pulang, dia pasti sudah lelah, kasihan kalau harus menunggu lebih lama lagi.
"Kapan taksinya datang, yah?"
"Sebentar lagi sayang"
"Kenapa Lama-lama? Lala pengin cepat-cepat sampai rumah, Lala udah kangen sama bunda, pengin main-main sama bunda"
Ya Rabb, bagaimana ini?
Bagaimana kalau Arimbi belum sampai di rumah?
Apa yang harus aku katakan pada Lala?
Bersambung.
Semangat berkarya