Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Sesampainya Sabda dan Nuri dirumah, mereka langsung mendapat tatapan tajam dari Yulia dan Fasya. Yulia, wanita itu bahkan sampai mengepalkan telapak tangannya saking geramnya. Hampir jam 11 malam, Nuri dan Sabda baru sampai dirumah.
"Apa poli kandungan masih buka hingga jam segini?" sindir Fasya sambil tersenyum getir.
Sabda yang merasa bersalah, langsung mendekati Fasya dan menggenggam tangannya. "Maaf, tadi kami mampir sebentar untuk makan."
Fasya langsung menatap Nuri tajam. Hatinya sakit mendengar keduanya baru saja makan malam bersama. Ingin sekali dia memaki Nuri, tapi didepan Sabda, dia harus bisa menjaga sikap.
"Kamu sudah keterlaluan kali ini Sabda," ujar Yulia. "Kau tahu, berjam jam Fasya menunggumu. Tapi bisa bisanya kamu malah mampir makan dengannya," lanjutnya sambil menunjuk dagu kearag Nuri.
"Kata dokter, Nuri kekurangan gizi Bu. Makanya Sabda mengajaknya untuk makan. Selain itu, jalanan juga macet, menunggu sampai tiba dirumah terlalu lama. Tak mau membuatnya dan janin dalam kandungannya kelaparan, jadi aku mengajaknya mampir makan," terang Sabda.
"Tak mau membuatnya kelaparan, tapi kamu membuat Fasya kelaparan. Dia belum makan malam hingga sekarang."
Sabda kaget mendengarnya. Rasa bersalahnya jadi berlipat ganda. "Maafkan aku sayang. Ayo aku temani makan."
"Tak perlu." Fasya Dia menarik tangannya dari genggaman Sabda lalu pergi begitu saja menuju kamar. Tak menggubris sama sekali meski Sabda berulang kali memanggilnya.
"Kau kembalilah ke kamar. Segera tidur, jangan begadang." Setelah mengatakan itu pada Nuri, Sabda langsung mengejar Fasya kekamar.
Sesuai perintah Sabda, Nuri langsung menuju kamarnya. Tapi saat hendak membuka pintu, tanganya ditarik oleh Yulia.
"Puas kamu sudah berhasil membuat kekacauan dirumah ini? Kalau sampai Sabda dan Fasya bertengkar, itu semua karenamu." Yulia menatap Nuri nyalang.
"Permisi Bu, aku mau tidur," Nuri kembali membuka pintu. Tapi lagi-lagi, tangannya ditahan oleh Yulia.
"Aku belum selesai bicara," bentak Yulia.
Nuri menghela nafas berat. Saat ini, badannya terasa sangat lelah, rasanya sudah tak ada tenaga untuk berdebat.
"Selama aku masih ada, jangan harap kamu bisa mendekati Sabda. Sampai kapanpun, aku tak_"
"Permisi." Nuri menarik gagang pintu saat Yulia masih fokus menceramahinya. Sebelum Yulia berhasil menahan pintu, segera dia tutup dan kunci dari dalam.
"Heh, dasar wanita kurang ajar. Berani beraninya kamu mengabaikanku saat aku masih bicara." Yulia berteriak sambil menggedor pintu kamar Nuri.
Didalam kamar, Nuri menutup telinganya dengan kedua telapak tangan. Dia tak mau stres gara-gara omongan Yulia yang nyelekit. Menghindari wanita itu, adalah pilihan yang tepat untuk menjaga kewarasan.
"Kurang ajar sekali dia. Sekarang bahkan sudah berani melawanku. Awas saja, aku akan segera membuatmu keluar dari rumah ini," guman Yulia pelan.
.
.
Sementara dikamarnya, Fasya menangis sambil duduk ditepi ranjang. Sabda yang baru masuk, duduk disebelahnya lalu memeluknya. Fasya yang masih marah berusaha berontak. Tapi Sabda tak mau melepaskannya, dia malah makin mempererat pelukan. Hingga akhirnya Fasya pasrah dalam pelukannya.
"Maaf, maafkan aku." Sabda mengecup puncak kepala Fasya berkali kali. "Maafkan aku karena telah membuatmu menunggu lama hingga melewatkan waktu makan malam. Sebenarnya aku juga tak mau pergi berdua dengannya. Tadi aku ingin mengajakmu ikut, tapi ponsel kamu malah tak bisa dihubungi."
Fasya seketika gelisah, seharian tadi, dia bersama Ringgo karena tak tahu jika Sabda pulang hari ini. Dia berharap Sabda tak menanyakan kemana dia seharian ini.
"Aku janji tak akan melakukannya lagi. Aku tak akan pergi berduaan dengannya. Aku akan selalu mengajakmu ikut serta." Sabda melepaskan pelukannya. Menyeka air mata yang membasahi pipi Nuri. "Oh iya, kamana kamu seharian ini, kenapa aku telepon berkali kali tapi tak diangkat?"
Fasya langsung gugup mendapat pertanyaan seperti itu.
"Ada apa?" Sabda bisa membaca kegugupan diwajah Fasya.
"A, aku....aku kerumah tente Jihan."
"Tente Jihan?" Sabda mengerutkan kening. "Tumben?" Seingat dia, hubungan Fasya dan tantenya itu kurang baik, rasanya aneh jika Fasya tiba-tiba mengunjunginya.
"Hanya ingin mengabarkan padanya jika...rumah mama kerampokan."
Sabda kaget mendengarnya. "Bagaimana bisa. Bukankah dirumahmu ada penjaganya? Selain itu, juga ada banyak cctv. Aku rasa tak akan mudah merampok rumahmu."
"Orang kepercayaan papa sendiri yang melakukannya. Dia sangat cerdik hingga bisa mengelabuhi semua orang dan menggondol uang papa dibrankas."
"Jadi papamu tahu siapa pelakunya?" Fasya mengangguk.
"Kalau seperti itu, makin mudah lagi menangkapnya. Apalagi papamu dekat dengan pejabat dan orang penting disana. Aku rasa tak ada yang perlu dikhawatirkan, dia akan segera tertangkap."
"Tapi...papaku butuh uang saat ini. Orang itu juga mengambil uang perusahaan. Dan bulan ini, papa bingung mencari uang untuk menggaji karyawan."
Sabda menggenggam tangan Fasya untuk membuatnya berhenti khawatir. "Kita ke Singapura besok, kita temui papa dan menyakan langsung kronologinya."
Fasya menelan ludah susah payah. Sabda terlalu pintar untuk dia kelabuhi. Ke Singapura bertemu papanya, mana mungkin bisa, papanya ada dipenjara saat ini. Dan untuk papanya yang dekat dengan pejabat disana, itu hanya kebohongan yang dibuat oleh Fasya dan keluarganya.
"Aku tak keberatan membantu papa. Karena papamu papaku juga. Kita ke Singapura besok."
Fasya menggeleng cepat. "Pa, papa sedang ada di US sekarang. Dia ada urusan disana."
"Disaat ada masalah besar seperti ini, kenapa dia malah kesana?"
"Emmm...di, dia sedang menemui temannya untuk minta bantuan."
"Kenapa tak minta bantuanku saja?"
Fasya menghela nafas. Kenapa urusannya jadi panjang seperti ini. Dia jadi pusing untuk memikirkan kebohongan-kebohongan selanjutnya.
"Papa sungkan padamu."
"Astaga, kenapa harus sungkan. Aku akan menelepon papa besok, aku akan bicarakan semua dengannya."
"Tidak perlu," sahut Fasya cepat. "Lebih baik aku tanyakan dulu padanya apa dia masih butuh bantuan atau tidak. Aku rasa dia sudah dapat bantuan dari temannya, jadi kamu tak perlu repot.'
"Ta_"
"Sudahlah," Fasya meletakkan telunjuknya didepan bibir Sabda. Dia tak mau membahas ini lagi. Bisa bisa, dia malah ketahuan. "Aku merindukanmu Mas." Fasya merapa raba dada Sabda dan menciumi lehernya untuk membangkitkan gairah suaminya. Membuatnya lupa tentang bahasan tadi.
"Aku juga sangat merindukanmu." Tiga hari tak bertemu, Sabda juga sangat merindukan Fasya. Tak mau menunggu lama, dia langsung mencium bibir Fasya dengan ganas. Hanya memberinya jeda sesaat untuk mengambil nafas lalu kembali memagut bibirnya.
.
.
Nuri, wanita itu berbaring diatas ranjang sambil menatap langit langit kamar. Dia menyentuh bibirnya sambil tersenyum, teringat kembali ciuman Sabda tadi.
Tidak, tidak, kamu tak boleh baper Nuri. Dia melakukan itu hanya karena terbawa suasana. Lagi pula, dia milik Kak Fasya, ingat itu.