Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Hei!"
Ode menempelkan setitik es krim di pipi Raga. "Kenapa sih, dari tadi muka kamu murung begitu? Nggak senang ya aku di sini?"
Raga menggeleng, menyeka cairan lengket yang meleleh di wajahnya dengan sapu tangan.
Ode mengeluh. "Padahal sudah lama banget kita nggak bicara berdua kayak gini. Tapi sepertinya pikiran kamu ada di tempat lain, ya?"
"Maaf, aku nggak bisa fokus dengar curhatan kamu tadi."
"It's okay. Tapi, sebagai permintaan maaf, kamu harus jelaskan satu hal sama aku. Kamu kenapa? Apa ada masalah dengan pemotretan dan persiapan pameran kamu?"
Raga cepat menggeleng. "Aku cuma kepikiran soal Aline."
"Aline?" Ode memutar bola matanya lalu cepat-cepat menjilat es krimnya yang mencair. "Kemarin kamu sudah mengantar Aline sampai ke rumahnya dengan selamat, kan?"
Raga terdiam sejenak lalu mengangguk. "Tapi jujur saja, aku masih mencemaskan keadaannya."
"Cemas kenapa?"
"Kamu nggak punya simpati, ya? Kondisi Aline itu—"
"Aku tahu. Tapi, kan, pasti dia juga sudah ada yang mengurus. Orang tuanya juga—"
"Nggak. Dia tinggal sendirian di sana."
"Eh? Terus keluarganya ke mana?"
"Sudah meninggal,"
Ode langsung terdiam.
Raga memposisikan dirinya dan duduk di sofa besar berwarna coklat sambil menggosok-gosokkan sebelah tangannya di kening "Yang aku tahu, sepupu Aline saat ini sedang berada di luar negeri. Kabarnya Aline dititipkan di asrama itu untuk menjalani perawatan mental supaya dia bisa memulai kehidupan normalnya lagi. Tapi, enyah apa yang terjadi, dia malah mengalami kejadian buruk kemarin. Walau aku tidak tahu persis apa penyebabnya, kurasa Aline merasa tertekan sehingga dia tidak datang ke kampus hari ini."
Ode mengerjap, kebingungan. "Jadi, selama ini dia tinggal di asrama sendirian?"
"Begitulah."
Ode yang sejak tadi berdiri memandang ke luar jendela, kini duduk di samping Raga sambil menghela napas kasar. Mereka terdiam seolah sedang memikirkan sesuatu di benak masing-masing.
Raga memalingkan pandangannya pada es krim di tangannya yang sudah mencair sedari tadi. Ia merasa sudah tidak berselera makan lagi, apalagi saat itu Ode juga membelikannya es krim rasa vanila, yang sama sekali bukan rasa favoritnya.
"Ra!"
"Apa?"
Ode menatap Raga dengan serius. "Maaf kalau aku menanyakan sesuatu yang bersifat privasi. Tapi, kamu bersikap begini, bukan karena kamu punya perasaan lebih pada Aline, kan?" Ode tiba-tiba bertanya seperti itu, membuat Raga langsung membelalakkan matanya karena kaget.
"Kamu ini bicara apa? Bagaimana mungkin aku sampai seperti itu." Raga membantah dan menggeleng-gelengkan kepalanya, "itu jelas tidak mungkin!"
Ode menelengkan kepalanya. Ia segera membuang stik es krim ke dalam tong sampah plastik, lalu menaruh telapak tangannya di bawah dagu Raga sambil menatap bola mata coklat milik pemuda itu.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Bukan apa-apa," Ode menghentikan aksinya, "kurasa kamu memang berkata jujur. Baguslah. Pokoknya, kamu tidak boleh menyukai mahasiswa baru terutama Aline." Ode berkata sambil mengerucutkan bibirnya.
Raga memiringkan senyumnya sedikit, satu tangannya memegang bahu Ode, membiarkan kepala gadis itu bersandar di bahunya. "Aku tidak mungkin jatuh cinta pada Aline, kan?"
"Jatuh cinta?" Ode mendelik kemudian memeluk pinggang pria itu erat-erat. Ia pun berbisik. "Jika itu sampai terjadi, aku tidak akan membiarkanmu begitu saja. Tidak akan. Ingat, itu tidak boleh terjadi! Jika kamu sampai berbohong padaku, aku tidak akan menolongmu lagi." Ode mulai memberikan ultimatum dengan mengarahkan ibu jari dan jari telunjuknya di depan Raga, seolah ia sedang menodongkan sebuah pistol di kepala Raga.
Raga meraih tangan gadis itu. Memegangnya sebentar, lalu mengusap kepala Ode dengan lembut. "Kamu tidak perlu khawatir tentang hal-hal seperti itu. Bahkan tanpa kamu katakan pun, aku sudah tahu apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan. Bagaimanapun aku memang tidak boleh menyukai Aline melewati batasanku." Kata Raga, suaranya yang lembut dan terdengar dalam itu begitu meyakinkan.
"Baiklah, aku akan memercayai ucapanmu. Tapi aku juga akan tetap mengawasimu, lho! Kalau kamu sampai benar-benar menyukai Aline, aku akan langsung memberitahu ayahmu!"
"Apa? Jangan konyol. Itu tidak mungkin terjadi."
Ode tertawa melihat reaksi Raga yang tidak terduga. "Aku akan memegang janjimu itu."
"Ok, lakukan apa pun yang kamu mau. Sekarang, ayo pulang. Ini sudah hampir malam, ibumu akan marah jika kamu terlambat sampai di rumah."
Ode menatap jam tangannya. Itu sudah hampir tengah malam. Ia menatap layar ponselnya yang sejak tadi berada dalam mode diam. Benar, ada lima panggilan dari ibunya.
"Hah... Mengapa waktu begitu cepat berlalu, sih? Hujan di luar juga sudah reda sejak tadi." Ode mengeluhkan situasinya.
Raga menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu mengeluh seperti itu?"
"Jujur, aku tidak ingin pulang."
"Tapi kamu harus pulang, kan?"
Sesaat Ode terdiam dan menggigit ibu jarinya. "Aku tidak ingin sendirian di sana. Aku bosan mendengar semua omelan dari ibuku,"
Raga menyeringai seolah ia sudah mengetahui semua itu.
"Apa tidak bisa kamu mampir ke rumahku?"
"Tidak."
"Apa? Kenapa? Rumahku kan—"
"Aku bilang tidak!" Suara Raga begitu tegas. Sepasang matanya kini menatap gadis itu tanpa berkedip. Ode hanya bisa mengigit bibir bawahnya sambil mengetukkan jari-jarinya di pangkuannya sendiri.
Tampaknya dia masih keras kepala juga.
Raga menarik napas dalam-dalam. "Maaf. Tapi lain kali saja. Aku masih ada urusan lain malam ini."
Ode mengangkat kepalanya dan memandang Raga lekat-lekat. "Urusan apa lagi?"
Raga menghela napas berat. "Ada suatu hal yang sangat penting. Setelah mengantarmu ke rumah nanti, aku harus bergegas pergi ke bandara."
"Mau apa ke sana? Kamu nggak berniat kabur ke luar negeri, kan?"
"Nggak. Aku cuma dimintai tolong oleh sepupuku untuk menjemput seseorang di sana."
"Siapa? Perempuan?"
Raga menggeleng. "Laki-laki. Dia juga teman lamaku."
Wajah Ode yang tadi sempat kelihatan kecewa kini mulai berbinar cerah. "Baiklah kalau memang begitu. Nanti kabari aku kalau kamu sudah sampai di rumah saja."
Raga mengangguk-angguk. "Pasti."
"Berarti, malam ini kamu tidak bisa menginap di rumahku, ya?" Ode masih saja membahas hal itu.
Raga kembali mendesah pelan.
Ode tahu bahwa Raga tidak suka jika ia terus membicarakan hal yang sama berulang-ulang. Sesaat Ode menunduk memandangi lantai keramik yang terlihat berkilauan di ruangan itu.
"Maaf. Kesannya aku terus memaksamu untuk datang ke rumah. Hah... bagaimanapun aku selalu merasa kesepian berada di rumah besar itu. Aku juga butuh teman mengobrol dan aku juga... Yah, lupakan saja," mendadak suara Ode terdengar pelan dan bernada sedih. "Aku hanya ingin menitipkan sesuatu untuk ayahmu, jadi kalau kamu mengantarkanku sampai di rumah nanti, kuharap kamu mau mampir sebentar ke rumah itu. Aku berjanji tidak akan menahanmu di sana. Aku cuma mau kamu mengambil syal yang aku rajut sendiri sebagai hadiah untuk ayahmu. Itu saja, bisa, kan?"
Raga menggelengkan kepala dan tersenyum miring. "Untuk apa sih, kamu repot-repot membawaku masuk ke rumah itu? Lagi pula kamu bisa memberikan hadiah langsung pada ayah tanpa perlu menitipkannya padaku, kan?"
Ode mendecakkan lidahnya. "Kenapa sih kamu tega banget sama aku? Apa salahnya kalau aku meminta tolong sama kamu?" Ketusnya.
Raga tersenyum tipis, mendekat, dan menepuk-nepuk kepala Ode dengan lembut. "Sudah, sudah, jangan cemberut lagi, jelek dilihatnya."
Ode mengembuskan napas kesal. Ia melemparkan pandangannya dan melihat lemari yang dijadikan sebagai koleksi pakaian Raga. Berbagai macam blazer dan kaos pria-wanita dipajang di sana. Ada pula koleksi jaket kulit dan sepasang gaun pengantin yang baru saja selesai dikerjakan Raga untuk acara Grand Show di Creative Student Fashion Show yang akan diadakan bulan depan di padepokan Trapunto.
Ode mengalihkan pandangannya, menatap bayangan Raga melalui kaca etalase. "Aku memang nggak bisa marah sama kamu. Tapi aku tetap merasa kecewa, karena setiap kali kamu mengantarkanku pulang, kamu pasti nggak pernah mau mampir."
Akhirnya, Ode bisa meluapkan keluh kesahnya di hadapan Raga.
Raga tertegun. "Baiklah, lain kali aku akan mampir sebentar ke rumah itu."
"Janji?"
Raga tersenyum melihat wajah Ode yang kembali ceria. Ia mengangguk yakin. "Tapi aku hanya akan datang saat ibumu tidak di rumah."
Ode terdiam sambil menggigit bibir bawahnya. "Mau sampai kapan kamu menghindari ibuku? Kamu masih marah, gara-gara kejadian lalu dan kemarin?"
Raga mengangkat bahu. "Entahlah. Lupakan saja, jangan bahas itu lagi. Aku juga tidak mungkin membenci ibumu, cuma... aku butuh waktu untuk menghadapi semuanya."
Ode melirik punggung Raga yang terlihat lebar. Ia menarik napas dalam-dalam. Selama ini, tubuh pria jangkung itu pasti sudah kelelahan menanggung semua beban yang terasa berat. Ode mengerti, tidak mudah bagi Raga untuk menjalani hidupnya seorang diri. Kalau saja ia bisa, ia juga ingin membantu mengatasi semua kesulitan yang dialami Raga. Namun, Ode tidak bisa berbuat semaunya. Sebab, semua tindakan Ode selama ini selalu diawasi oleh mata-mata ibunya yang tersebar di mana-mana.
Satu-satunya cara bagi Ode agar ibunya tidak marah adalah dengan menyembunyikan hubungan mereka secara diam-diam. Agar tidak ada yang mencurigai hubungan mereka—selama di kampus, Ode dan Raga sepakat untuk bersikap seolah-olah mereka tidak pernah akur.
Namun, ketika situasinya terlihat aman dan mereka sedang berduaan seperti ini, mereka akan saling bertukar informasi dan menceritakan kesedihannya masing-masing.
Itulah rahasia kedua yang dimiliki Ode. Rahasia yang sudah lama tidak diketahui oleh siapa pun. Rahasia yang tidak ingin ia bagikan kepada siapa pun, termasuk Aline.
Aline, entah bagaimana kabar gadis itu hari ini?
Mengingat tentang Aline Ode jadi kepikiran.
Apa yang terjadi pada gadis itu setelah kemarin sore?
Ode sama sekali tidak mengerti, apa maksud Aline dengan memberikan pengakuan panjang di hadapan Luna? Ode tidak pernah menyangka kalau Aline akan membongkar jati dirinya dan rahasia terbesarnya pada saat itu. Padahal Aline sudah menyuruhnya untuk tutup mulut. Mereka juga berbagi rahasia masing-masing. Tapi kenapa... Kenapa justru Aline sendiri yang menghancurkan semuanya?
Apa kemarin telah terjadi sesuatu ketika aku melakukan sesi tanya jawab dengannya? Kalau tidak salah, Aline sempat menatapku lama sekali. Apa waktu itu dia ingin menyuruhku berhenti bertanya padanya?
Ya ampun... kalau benar begitu, apakah itu artinya penyakit Aline kambuh gara-gara aku?
Apa aku harus mengakui kesalahanku pada Raga?
Ode tenggelam dalam pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan.
Raga menatapnya heran.
"Apa kamu masih mau di sini?" Raga melambaikan tangannya di depan wajah Ode.
Ode mengerjap. "Ya? Apa? Maaf, aku melamun."
"Hah, apa sih yang sedang kamu pikirkan?"
"Tidak apa-apa. Ayo pulang!"
Raga menggelengkan kepala, tangan kirinya meraih jaket tebal berwarna krem dari gantungan baju, "Pakai ini, udara di luar pasti dingin."
"Loh? Tapi ini kan untuk acara pameranmu nanti?"
"Siapa bilang? Aku sengaja membuat jaket itu untukmu, kok. Kamu suka jaket, kan?"
"Ya, aku memang suka. Tapi Levi bilang ini untuk penampilanmu bulan depan?"
"Haha... ya, sebenarnya aku memang sengaja bilang begitu agar Levi tidak keceplosan saat kamu bertanya padanya."
"Huh, dasar rese. Kalian berdua itu benar-benar, deh. Nggak heran kalau dari dulu kalian itu terkenal dua belas tiga lima tiga."
Raga mengerutkan kening. "Kode apaan itu?"
"Artinya menyebalkan!" jawab Ode, bibirnya mengerucut.
Raga menggelengkan kepala. "Dasar bodoh. Anak-anak zaman sekarang memang bisa membuat orang pusing."
"Ck. Yang seperti itu kan, di klub Pramuka juga banyak. Kamu sih bolos terus kerjaannya. Padahal, sejak SD sudah sering diajarkan."
Raga tertawa. "Ya, kita kan nggak sama. Kamu senang membanggakan diri karena berhasil mengikuti bermacam-macam klub di sekolah. Sedangkan aku, sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sering bolos di kampus ini, aku bisa bangga dengan hasil kerjaku." Alis dan bibir Raga bergerak menunjuk dua lemari besar di pojok. Ia bermaksud membanggakan prestasinya yang sudah diakui semua orang.
Ode melirik ke arah yang ditunjuk Raga. "Hohoho... jadi, kamu bermaksud membanggakan RagamOde?"
Raga menyibakkan rambut shaggy-nya ke belakang. "Bagaimana? Aku juga keren, kan? Yah, meskipun aku mungkin sering dicap sebagai mahasiswa yang suka membolos di kelas, presiden kampus yang nggak becus kerjanya. Tapi kalau urusan ini, aku berani mengadu kejeniusanku denganmu."
Ode tertawa dan mencibirnya. "Tetap saja, kan? Pekerjaanmu itu tidak akan pernah selesai kalau kamu tidur terus." Gadis itu menjulurkan lidahnya.
"Apa maksudmu?"
"Lupa?" Ode menghampiri lemari kecil—tempat Raga menyimpan koleksi pakaian terlarisnya, di pojok auditorium.
"Lihat, semua koleksi-koleksi ini tidak akan pernah menjadi pajangan favorit kalau seandainya aku tidak turun tangan merawatnya."
"Tapi aku nggak pernah minta tolong sama kamu, kan?"
"Ya, memang. Aku tidak melakukan ini karena kamu. Tapi karena kita."
Raga tercengang. Sebesar itukah bentuk kepedulian Ode terhadapnya? Ode tetap merawat semua barangnya meskipun Raga mungkin tidak akan pernah menyukai gadis itu menyentuh benda-benda di lemarinya.
"Hei, melamun terus. Ayo, kamu bilang kamu bersedia mengantarku pulang!" Ode mendahului Raga keluar dari ruangan itu.
Raga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, mengikuti langkah Ode ke parkiran kampus yang semakin penuh.
Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi gerbang kampus masih terbuka karena malam itu kelas karyawan baru saja akan dimulai.