Bianca, adalah wanita berusia dua puluh empat tahun yang terpaksa menerima calon adik iparnya sebagai mempelai pria di pernikahannya demi menyelamatkan harga diri dan bayi dalam kandungannya.
Meski berasal dari keluarga kaya dan terpandang, rupanya tidak membuat Bianca beruntung dalam hal percintaan. Ia dihianati oleh kekasih dan sahabatnya.
Menikah dengan bocah laki-laki yang masih berusia sembilan belas tahun adalah hal yang cukup membuat hati Bianca ketar-ketir. Akankah pernikahan mereka berjalan dengan mulus? Atau Bianca memilih untuk melepas suami bocahnya demi masa depan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Banyak Hati Tersakiti
"Maaf? Untuk apa?"
"Karena kau bukan orang pertama yang menyentuhku. Maafkan aku." Bianca menunduk. Matanya berkaca-kaca.
"Hei, hei. Tidak apa-apa, itu sama sekali bukan masalah."
"Aku takut kau kecewa padaku. Karena itu aku menahan hakmu selama ini," jelas Bianca. Rupanya ia menahan diri selama ini karena mengkhawatirkan tanggapan Daniel.
"Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak kecewa. Singkirkan pikiran buruk itu. Aku sangat menyayangimu, aku tidak peduli apapun yang terjadi di masa lalu. Kau milikku saat ini. Masa lalu itu akan menjadi milikmu, tapi masa depan adalah milik kita bersama." Daniel memeluk Bianca.
Meskipun hanya satu kali melakukannya bersama Darren, Bianca tetap merasa begitu marah pada dirinya sendiri.
Bukan karena Bianca terus teringat masa lalu atau momennya bersama sang mantan, namun ia hanya merasa bersalah dan kesal pada dirinya sendiri. Ia pun merasa malu pada Daniel meski nyatanya bocah laki-laki itu sama sekali tidak mempermasalahkan apa yang sudah terlanjur terjadi.
Daniel memeluk Bianca cukup lama untuk menenangkan wanita itu. Saat Bianca mulai tenang, suara sering ponsel Daniel berbunyi nyaring.
"Ya, Pa. Ada apa?" tanya Daniel setelah menekan tombol hijau di layar ponselnya.
["Mamamu di rumah sakit, Dan."] Jawaban Bramantyo dari sebrang telepon membuat Daniel kaget.
"Kirimkan alamatnya, Pa. Aku akan segera ke sana," ucap Daniel.
Setiap kali ada panggilan telepon masuk ke ponselnya, Daniel selalu menyalakan speaker agar Bianca bisa mendengarnya. Tidak ada satu hal pun yang ia tutupi dari istrinya. Daniel selalu percaya, bahwa jika dirinya menginginkan kejujuran dan keterbukaan Bianca, maka ia harus melakukannya lebih dulu.
"Aku akan segera mandi," ucap Bianca cepat, bahkan sebelum Daniel mengatakan sepatah katapun.
Padahal, hari ini adalah hari pertama mereka berencana untuk berlibur bersama. Mereka sepakat untuk mengunjungi salah satu pantai yang terletak di pulau sebrang sambil menginap satu malam. Namun, rupanya rencana itu tidak akan berhasil.
Kurang dari sepuluh menit, Bianca sudah bersiap pergi. Daniel pun memilih untuk mandi di kamar lain untuk mempersingkat waktu.
Meski keduanya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Sintia, namun perasaan khawatir sebagai anak tetaplah ada.
***
Daniel dan Bianca sampai di rumah sakit tepat pukul delapan. Mereka langsung datang menemui Bramantyo yang sedang duduk di ruang tunggu sendirian.
"Ada apa, Pa? Apa Mama baik-baik saja?" tanya Daniel khawatir.
"Tiba-tiba saja Mamamu pingsan di kamar mandi, dokter sedang memeriksanya," jelas Bramantyo.
Sintia adalah wanita sehat, meski usianya sudah kepala lima, namun wanita itu tidak mudah sakit karena sangat baik dalam mnjaga pola makan dan hidupnya.
Selang beberapa menit, seorang perawat keluar dari ruangan. Ia meminta pihak keluarga Sintia untuk datang ke ruangan dokter agar bisa mendengarkan penjelasan secara rinci perihal Sintia.
"Nyonya Sintia mengalami struk ringan. Selain tekanan darahnya tinggi, kadar gula serta kolestrol pun cukup membahayakan kesehatannya. Terlebih, fungsi ginjalnya terganggu," jelas dokter.
"Tapi Mama saya tidak pernah sakit, Dok!" seru Daniel.
Sementara Bramantyo, sepertinya sudah tahu apa yang terjadi pada istrinya.
Dokter menjelaskan kondisi kesehatan Sintia secara detail. Bramantyo, Daniel dan Bianca mendengarkan semua dengan seksama.
"Apa Papa sudah tahu sejak awal? Ada apa dengan Mama, Pa?" tanya Daniel setelah mereka keluar dari ruangan dokter.
"Maafkan Papa, Daniel." Bramantyo hanya bisa tertunduk lesu.
"Pa, tolong jelaskan pada kami. Apa Papa merahasiakan sesuatu dari kami?" sela Bianca.
"Kondisi kesehatan Mama kalian semakin menurun sejak kejadian beberapa bulan lalu. Maaf karena Papa tidak pernah memberitahu kalian, karena Papa tidak ingin kalian khawatir, Papa ingin kalian bahagia," ujar Bramantyo.
Sejak Daniel menikahi Bianca, bocah laki-laki itu memang fokus merawat Bianca sepenuhnya demi membantu wanita itu pulih dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh Darren. Namun di sisi lain, Sintia pun sedang tidak baik-baik saja.
Orang tua mana yang bisa bernapas dengan lega saat mengetahui anak sulung mereka bertindak sebodoh Darren. Menghianati dan mempermalukan keluarga serta wanita yang mencintainya.
Sebagai seorang ibu, luka batin Sintia tentu tidaklah sedikit. Ia merawat, mengasuh, dan mendidik Darren dengan penuh cinta dan kasih sayang, namun saat ia tumbuh dewasa, Darren begitu mengecewakan.
Bagaimanapun cara seorang ibu melupakan dan mengikhlaskan, ia tidak mungkin bisa berpisah dari anaknya. Namun sebagai anak, Darren sangat tidak mengerti, bahwa ia telah menyakiti banyak hati.
***