Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Tangan Andi semakin erat menggenggam tanganku saat aku menunjukkan pesan itu. Wajahnya berubah tegang, seakan berusaha menahan amarah yang siap meledak kapan saja.
“Kirana, ini tidak bisa terus begini,” suaranya tegas, nyaris mendesis. “Kalau dia sampai mengancammu seperti ini, kita harus ambil tindakan hukum.”
Aku menghela napas, mencoba meredakan kekalutan yang membanjiri pikiranku. “Andi, aku lelah. Selama ini, aku terus bertahan, berpikir bahwa waktu akan menyembuhkan semuanya, tapi kenyataannya… Dion tak pernah berhenti mengusikku. Setiap langkah yang kuambil selalu saja dia punya cara untuk menyeretku kembali.”
Andi menggenggam tanganku lebih erat, matanya menatapku dalam-dalam. “Kirana, dengar. Aku tahu kamu kuat. Tapi tidak ada salahnya meminta bantuan. Kamu sudah lama menghadapi ini sendirian, tapi kamu tidak harus melakukannya lagi.”
Aku menatap Andi, hatiku terasa berat. Memikirkan kemungkinan untuk mengadukan Dion ke pihak berwenang membuatku takut. Aku tahu Dion, betapa licinnya dia, betapa pandainya dia memutarbalikkan fakta.
“Andi… aku takut,” ucapku akhirnya, suaraku terdengar lebih pelan dari yang kumaksudkan.
Dia mengusap punggung tanganku dengan lembut, mencoba menenangkan. “Kirana, kamu tidak sendiri. Ada aku di sini, ada keluargamu. Kami semua akan mendukungmu.”
Saat aku hendak menjawab, teleponku kembali bergetar. Nomor tak dikenal lagi. Kali ini, aku hampir tidak ingin mengangkatnya, tetapi Andi mengangguk pelan, mendorongku untuk menghadapi rasa takut itu.
“Halo?” sapaku dengan suara gemetar.
Di ujung sana, suara Dion terdengar dingin dan tajam. “Kirana, kamu pikir dengan melibatkan orang lain, masalah kita selesai?”
Aku merasa darahku mendidih. “Dion, apa yang kamu inginkan dariku? Bukankah kita sudah selesai?”
“Tidak ada yang selesai sampai aku bilang selesai, Kirana,” katanya pelan tapi penuh ancaman. “Aku hanya memperingatkanmu, jangan bertindak bodoh dengan berpikir bisa hidup bebas dariku.”
“Dion, ini sudah berakhir! Aku sudah lelah, aku hanya ingin melanjutkan hidup tanpa dirimu!” Suaraku nyaris bergetar, tapi aku tetap mencoba mempertahankan ketegasan.
Dia tertawa kecil, membuat bulu kudukku merinding. “Itu yang selalu kau pikirkan. Tapi jangan lupa, Kirana, aku punya cara untuk membuatmu kembali. Dan jika kamu berani melawan…” Dia menggantung kata-katanya, meninggalkan ancaman yang tak terucapkan tapi jelas tersirat.
Aku merasa tubuhku lunglai saat telepon ditutup. Andi yang menyadari perubahan ekspresiku segera memelukku erat. “Kirana, ini sudah kelewat batas. Kita harus lapor polisi.”
Namun, pikiran melaporkan Dion justru membuat hatiku semakin kacau. Aku tahu betul siapa Dion—dengan koneksi dan pengaruhnya, dia bisa saja berbalik menyeretku ke dalam masalah yang lebih besar.
“Tapi, Andi… bagaimana kalau dia malah semakin ganas? Dia bukan orang yang mudah menerima kekalahan,” kataku, suara nyaris berbisik.
Andi menarik napas dalam-dalam, matanya menatapku penuh keyakinan. “Kalau kita terus membiarkannya, dia akan berpikir bahwa dia selalu bisa mengendalikanmu. Kalau kita tidak melawan sekarang, kapan lagi?”
Kata-kata Andi membuat pikiranku kalut. Aku memikirkan kembali semua momen bersama Dion—pertemuan pertama kami, saat-saat bahagia yang terasa begitu singkat, dan kehancuran yang perlahan-lahan membayangi hidupku. Mungkin Andi benar, mungkin inilah saatnya aku berhenti menghindar.
Aku mengangguk pelan, meski hatiku masih diliputi keraguan. “Baiklah, Andi. Kita akan laporkan dia.”
Dia tersenyum, terlihat lega. “Kamu sudah mengambil langkah yang tepat, Kirana. Aku akan menemanimu ke kantor polisi.”
Namun, langkah kami menuju mobil terhenti ketika aku melihat sebuah benda di bawah wiper kaca depan mobilku. Sebuah amplop cokelat besar, dengan tulisan tanganku di sudutnya. Tulisan yang sudah tak asing lagi—itu tulisan Dion.
Aku menelan ludah, menahan rasa takut yang tiba-tiba muncul. “Apa ini? Bagaimana bisa ada di sini?”
Andi segera menarik amplop itu, matanya memperhatikan sekitar, mencari-cari tanda kehadiran Dion atau seseorang yang dia kenal. “Mari kita lihat isinya di tempat yang lebih aman,” katanya, mengajakku kembali ke mobil.
Di dalam mobil, dengan tangan bergetar, aku membuka amplop itu. Di dalamnya terdapat sejumlah foto—foto-foto yang menunjukkan diriku dan Andi saat bersama, beberapa di antaranya diambil di tempat yang tak pernah kusangka.
Aku terdiam, tak percaya pada apa yang kulihat. “Dia… dia menguntitku, Andi…”
Andi menggenggam bahuku, menatapku penuh kekhawatiran. “Ini lebih buruk dari yang aku duga. Kirana, ini ancaman serius. Kita harus segera bertindak.”
Namun, di antara foto-foto itu, aku menemukan sebuah catatan kecil yang hanya berisi satu kalimat: “Apakah kamu yakin dia tahu semua tentangmu?”
Pesan itu membuatku tercekat. Apakah maksudnya? Aku menatap Andi, tapi dia juga terlihat bingung dan waspada.
“Apa maksudnya, Kirana?” Andi bertanya, suaranya penuh tanda tanya.
“Aku… aku tidak tahu,” jawabku, suaraku hampir tak terdengar. Tapi ada sesuatu dalam pesan itu yang membuatku merasa tak nyaman, seolah Dion tahu sesuatu yang belum aku ungkapkan, bahkan pada Andi.
Dalam keheningan yang tegang, Andi meraih tanganku dan berkata dengan suara pelan namun tegas, “Kirana, tidak ada yang perlu disembunyikan dariku. Jika ada sesuatu yang belum kau ceritakan… aku akan tetap mendukungmu.”
Aku menggelengkan kepala, masih mencoba mencerna pesan Dion. Tapi bagaimana aku bisa tenang saat diingatkan bahwa Dion akan terus memantau setiap langkahku, dan mungkin ada lebih banyak rahasia yang belum kuketahui tentangnya?
Namun sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, ponselku kembali berdering. Kali ini, nomor telepon rumah orangtuaku.
“Bu?” panggilku saat mengangkat telepon, namun suara di seberang bukanlah suara ibuku.
“Halo, ini Pak RT,” suara itu terdengar serius dan panik. “Maaf, Bu Kirana, saya hanya ingin memberi tahu bahwa ada beberapa orang mencurigakan yang tadi datang ke rumah ibu Anda. Mereka bilang mencari Anda.”
Aku membelalakkan mata, tubuhku terasa membeku mendengar kabar itu. “Apa yang mereka lakukan?”
“Tidak ada yang mereka lakukan, Bu. Tapi mereka terlihat agresif, sampai kami akhirnya memutuskan memanggil polisi,” jawabnya.
Aku terdiam, keringat dingin mengalir di pelipisku. Dion tak hanya mengikutiku; dia kini mulai melibatkan keluargaku. Rasanya seperti jeratan yang semakin kuat, memaksaku ke dalam jebakan tanpa jalan keluar.
Andi menatapku penuh kekhawatiran, seolah mengerti bahwa ada ancaman yang semakin mendekat. “Kirana, kita harus segera lapor dan melindungi keluargamu. Jangan biarkan dia mengontrolmu lagi.”
Dengan napas tertahan, aku menatap Andi. “Aku… aku tak tahu harus berbuat apa lagi, Andi. Jika dia sampai mengancam keluargaku, aku… aku takut.”
Andi memegang kedua bahuku, matanya penuh keyakinan. “Kirana, kau tak perlu menghadapi ini sendirian. Mari kita selesaikan ini bersama. Kita akan temui pihak berwajib dan pastikan dia tidak bisa menyentuhmu lagi, ataupun keluargamu.”
Aku mengangguk, meski ketakutan masih menguasai. Bersama Andi, aku tahu bahwa aku punya kekuatan untuk melawan, meski bayangan Dion terasa semakin menekan.
Namun sebelum kami sempat bergerak, ponselku kembali berdering. Kali ini, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Aku membuka pesan itu dengan tangan bergetar, dan pesannya hanya berisi satu kalimat:
“Jika kau ingin keluargamu tetap aman, datanglah sendirian ke tempat yang kau tahu.”
Kepanikan langsung menyelimuti, membuatku sadar bahwa Dion menungguku untuk membuat langkah yang salah.
Aku menatap Andi, mencoba meredakan gemuruh di dada. “Dia… dia ingin aku datang sendirian, Andi. Jika tidak…”
Andi menggenggam tanganku, tatapannya penuh tekad. “Kita akan lakukan ini bersama, Kirana. Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian.”
Aku menatapnya dengan tatapan ragu, tahu bahwa jika aku melibatkan Andi, risikonya bisa jauh lebih besar. Namun, di dalam hatiku, aku tahu tak mungkin aku hadapi semua ini sendirian lagi.
Dan dalam hati kecilku, aku tahu pertemuan ini adalah jebakan.