Setelah bertahun-tahun berpisah, hidup Alice yang dulu penuh harapan kini terjebak dalam rutinitas tanpa warna. Kenangan akan cinta pertamanya, Alvaro, selalu menghantui, meski dia sudah mencoba melupakannya. Namun, takdir punya rencana lain.
Dalam sebuah pertemuan tak terduga di sebuah kota asing, Alice dan Alvaro kembali dipertemukan. Bukan kebetulan semata, pertemuan itu menguak rahasia yang dulu memisahkan mereka. Di tengah semua keraguan dan penyesalan, mereka dihadapkan pada pilihan: melangkah maju bersama atau kembali berpisah, kali ini untuk selamanya.
Apakah takdir yang mempertemukan mereka akan memberi kesempatan kedua? Atau masa lalu yang menyakitkan akan menghancurkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alika zulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat Dunia Berhenti di Tangan Mu
"apaansih, narsis banget lo, Ro!" sahut Alice cepat.
Tiba-tiba, Alvaro menghentikan mobilnya secara mendadak, membuat Alice tersentak. Dengan gerakan tenang namun memikat, Alvaro mendekatkan wajahnya ke arah Alice. Desiran napasnya terdengar jelas, mengirimkan getaran halus ke setiap inci tubuh Alice.
"Tunggu di sini sebentar," suaranya terdengar serak dan dalam, seperti sedang menahan sesuatu.
"Emm..." Alice mencoba menjawab sambil menetralkan detak jantungnya yang makin tak terkendali.
Dengan tubuh tegap, dada bidang yang kokoh terbungkus kemeja hitam yang lengannya tergulung rapi, Alvaro keluar dari mobil. Langkahnya mantap, memutari mobil dengan anggun, lalu dengan sopan membuka pintu untuk Ayla.
Setiap gerakannya penuh keyakinan, seolah dunia berputar di sekelilingnya. Alice tak bisa menahan tatapannya, matanya mengikuti Alvaro yang tampak begitu sempurna dalam kesederhanaannya, membuat jantungnya kembali berdebar lebih kencang.
“Kita makan di sini?” tanya Alice dengan ragu, matanya menatap bangunan yang menjulang tinggi, megah dan mewah. Tempat itu hanya dikunjungi oleh kalangan atas.
“Kenapa? Nggak suka?” Alvaro menoleh, memperhatikan ekspresi Alice.
“Bukan nggak suka, tapi... ini mewah banget, Ro. Mana gue cuma pakai baju begini,” sahut Alice, menatap dirinya yang hanya memakai celana cream dan kemeja pink salur. Penampilannya sederhana, tapi tetap tak mengurangi pesona wajah cantiknya.
“Lo pakai daster juga nggak ada yang peduli,” celetuk Alvaro, memancing protes dari Alice yang kini merengut kesal.
“Udah, sini,” cicit Alvaro sambil meraih tangan Alice. Genggamannya erat, seakan takut kehilangan.
Alice membelalak, jantungnya berdegup kencang saat merasakan genggaman hangat itu. Tubuhnya mendadak terasa panas dingin.
Saat mereka memasuki restoran, Alice semakin merasa canggung. Langkahnya melambat, sembari bersembunyi di balik tubuh Alvaro yang tegap, seolah tak ingin terlihat. Sosok Alvaro yang tinggi dan berwibawa menjadi tamengnya, membuat Alice sejenak merasa aman, meski perutnya bergejolak dengan rasa malu dan cemas.
Setelah melewati pintu restoran yang mewah, Alvaro mendekati petugas yang berdiri di meja resepsionis. Alice mengikuti di belakangnya,. Suasana di dalam restoran ramai dengan suara obrolan lembut dan musik latar yang elegan.
“Selamat datang! Untuk berapa orang?” tanya petugas dengan senyuman ramah, menatap Alvaro dengan penuh perhatian.
“Dua orang,” jawab Alvaro, suaranya mantap.
Sambil menunggu, Alvaro menoleh ke belakang, memperkenalkan Alice dengan tatapan hangat. “Ini teman saya,” katanya, gesturnya menandakan bahwa Alice harus melangkah ke sampingnya.
Petugas tersebut terkejut sejenak saat melihat Alice berdiri di balik Alvaro. "Oh, halo! Silakan masuk," katanya, sedikit terpesona. “Apakah Anda berdua ingin memilih meja di dalam atau di luar?”
Alice merasakan wajahnya memanas saat perhatian petugas beralih padanya. Dia berusaha tersenyum meskipun rasa malu menghangatkan pipinya. Alvaro menambahkan, “Kita pilih meja di dalam saja, ya?”
“Baik, silakan ikuti saya,” ujar petugas, menunjukkan jalan dengan gestur sopan.
Alice berjalan di samping Alvaro, merasa sedikit canggung. Namun, saat menatap wajahnya, dia melihat senyum percaya diri Alvaro yang seakan meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Genggaman tangan mereka yang masih terjalin semakin membuatnya merasa nyaman, seakan ada kekuatan di balik momen canggung ini.
Setelah petugas memandu mereka masuk ke dalam restoran, suasana di dalam terasa lebih intim dan elegan. Lampu-lampu gantung berkilauan menambah keindahan ruangan yang dihiasi dengan lukisan-lukisan artistik di dinding. Alice menatap sekeliling, terpesona oleh suasana yang begitu megah, namun tetap merasa sedikit canggung.
g pa" belajar dari yg udah berpengalaman biar bisa lebih baik lg, sayang lho kalo ceritanya udah bagus tp ada pengganggu nya di setiap part nya jd g konsen bacanya karna yg di perhatiin readers nya typo nya tanda petik koma titik tanda tanya selain alur cerita nya
bu, aku minjem ini, ya," dan masih bnyk kalimat yg tanda titik baca komanya g sesuai thor