Apakah anda mengalami hal-hal tak wajar disekitar anda?
Seperti suara anak ayam di malam hari yang berubah menjadi suara wanita cekikikan? Bau singkong bakar meskipun tidak ada yang sedang membakar singkong? Buah kelapa yang tertawa sambil bergulir kesana-kemari? Atau kepala berserta organnya melayang-layang di rumah orang lahiran?
Apakah anda merasa terganggu atau terancam dengan hal-hal itu?
Jangan risau!
Segera hubungi nomor Agensi Detektif Hantu di bawah ini.
Kami senantiasa sigap membantu anda menghadapi hal-hal yang tak kasat mata. Demi menjaga persatuan, kesatuan, dan kenyaman.
Agensi Detektif Hantu selalu siap menemani dan membantu anda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eko Arifin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25 - Investigasi Mandiri I
Terlihat Rendy dan Ardian bersalaman dengan pak kades, pak ustadz beserta keluarga empat pemuda semprul yang kondisinya sudah mulai membaik. Sedangkan dokter Herlambang masih di tempat, demi menyelesaikan pengobatan medisnya.
Ardian dan Rendy pun pamit undur diri dari kediaman pak kades, merasa tidak ada tugas lain yang dapat di lakukan.
Dengan demikian, kasus di desa Lingkar Pinus telah selesai dengan baik, dan klien pun puas dengan kinerja Agensi Detektif Hantu.
"Puji Dewa! Sepuluh juta bro! Rejeki nomplok mah gak akan kemana kuy!" ujar Rendy bahagia saat menyetir motor.
"Woy! Gak kemahalan tuh elu matok harga!?" tanya Ardian membonceng Rendy.
"Gak bre, gue patok empat juta aja tapi pak kades tetep kekeh ngasih sepuluh juta. Daripada nolak rejeki terus kena karma Dewa, jadi ya..."
"Elu terima dengan senang hati, begitu maksudnya?"
"Yo'i coy, gila aja rejeki dadakan di tolak. Gak bakalan dapat duit banyak kalau kita jadi orang gak enakan..."
"Ren... Rendy..."
"Apa? Kagak senang?"
"Gue senang kok kalau dapat uang tambahan, biar Agensi kita juga bisa berkembang dengan baik..."
"Nah, begitu dong bossku!"
Mereka pun kembali ke kota tanpa ada hambatan ataupun gangguan makhluk ghaib.
**********
Beberapa minggu kemudian, di pagi yang cerah di kampus Dirtakarta Mulya, kampus dimana Ardian, Rendy dan Putriani menuntut ilmu, terlihat Ardian sedang sarapan pagi demi mengisi energi agar dapat belajar dengan baik.
Setelah ia selesai sarapan dan saat ingin merokok, suara perempuan memanggil namanya dari belakang.
"Loh, bukannya ini kak Ardian?"
Ardian lalu menengok ke arah suara tersebut setelah meletakan rokoknya dan melihat seorang perempuan yang tidak asing namun sedikit susah untuk mengingatnya.
"Siapa ya? Perasaan gue masih jomblo deh... kok ada cewek cantik sepagi ini manggil nama gue."
"Ya ampun kak, ini saya Imah. Anaknya pak Santosa yang pernah kakak bantu beberapa minggu lalu. Masak udah lupa?"
"Imah?"
"Iya..."
"Anaknya pak Santosa? Pak Santosa Wijaya maksudnya?!"
"Iya kak..." jawab Imah dengan senyum manisnya setelah Ardian mengingatnya.
"Ya ampun, ternyata kita satu kampus. Bukankah ini sebuah kebetulan yang membagongkan?"
"Hehehe... Iya kak, boleh ikut duduk di sini gak? Soalnya, masih nunggu ketupat sayurnya jadi."
"Oh boleh, silahkan Neng Imah."
"Jangan di panggil Neng, panggil Imah aja kak."
"Oke..."
Ardian pun lalu memasukan sebatang rokok yang dia pegang ke bungkusnya, dan mengembalikan bungkus itu ke dalam saku celana sebelum berbincang dengan Imah.
"Bagaimana kabar bapak sama ibu? Maaf ya Imah, kalau saya belum bisa mampir ke rumah."
"Gak papa kok. Bapak sama ibu juga alhamdulillah baik kak, ya cuma masih beradaptasi dengan keadaan sekarang yang... kak Ardian tahu sendiri soal itu. Soal..."
"Oh, soal Kinanti?"
"Iya kak... saya juga tidak percaya hal seperti ini akan terjadi."
"Bikin onar gak tuh cewek? Kalau iya, tinggal bilang sama gue, biar tak cekek sampai minta ampun tuh cewek."
Imah hanya terkekeh mendengar saat Ardian menggunakan bahasa gaulnya, dan tidak berbicara dengan bahasa sopan.
"Lucu juga dengernya kalau kak Ardian gak pake bahasa formal." pikir Imah dalam hati yang tanpa sadar dia telah menginginkan Ardian untuk tidak menahan bahasanya jika berbicara dengan dirinya.
Mungkin, karena masih tergolong pertemuan awal jadi, Ardian sungkan jika harus berbicara ceplas-ceplos.
"Neng Kinanti sih, gak bikin rusuh kok. Cuman ya, kadang-kadang membantu membersihkan rumah, mencuci piring kotor, bikin makanan kalau Ibu lagi capek, jaga rumah kalau malam dan yang lainnya kak."
"Widih, tuh cewek ART apa gimana sih? Hebat juga pak Santosa, bisa dapet ART gratis yang sekaligus bisa jadi satpam."
Celetukan spotannya bisa membuat Imah kembali terkekeh dan tertawa kecil karena terdengar lucu jika melalui pandangan Ardian, namun jika untuk orang normal, hantu yang tak kasat mata membantu pekerjaan rumah sudah bisa membuat mereka merinding.
"Emang kakak gak takut ya sama Neng Kinanti?" tanya Imah setelah selesai tertawa.
"Hmm... menurut saya nih, senjata utama mereka itu memanfaatkan ketakutan pada diri kita sendiri demi menciptakan momen dimana logika dan pikiran rasional tidak berjalan dengan baik."
"Jadi?" tanya Imah lagi.
"Takut sih boleh, tapi harus kita lawan. Keberanian itu bukan berarti tanpa adanya ketakutan, keberanian adalah hasil dari kita menemukan jalan untuk melewatinya. Tapi ya ini opini pribadi, orang lain boleh berbeda pendapat."
Imah kagum dan berpikir setelah mendengar perkataan Ardian karena ada banyak pesan baik yang bisa di ambil darinya.
Tanpa sadar, Imah menatap lelaki di depannya dengan senyuman kecil.
"Ada apa nih neng? Seyum-seyum sendiri begitu? Lihat cowok ganteng ya?" tanya Ardian sedikit menggoda Imah yang tidak melepas tatapannya.
"E-eh? En-enggak. Enggak ada apa-apa kok kak. Hehehe... Iya, gak papa. Makanannya kok belum datang ya?" tanya Imah mencoba mengalihkan pembicaraan saat pipinya terlihat memerah.
Ardian terkekeh kecil karena mudah sekali membaca gerak-gerik Imah yang mencoba mengalihkan topik.
"Aduh... maaf ya Neng Imah agak lama makanannya. Ketupat Sayurnya baru matang tadi..." ucap bu kantin saat meletakan pasanan makanan ke atas meja.
"Gak apa-apa kok bu. Kelas saya juga masih agak lama." ucap Imah santun.
"Lah, tumben neng Imah sebangku sama cowok? Biasanya juga cuma sama teman-temannya. Pacarnya ya?"
"E-eh? Bu-bukan bu! Dia bukan pacar saya..." ujar Imah mencoba meluruskan.
"Bukan atau belum nih neng?" tanya bu kantin terkekeh dan menggoda sedikit dengan senyum kudanya.
Imah pun hanya bisa pasrah saat menutup muka merahnya dengan kedua tangan saat di goda oleh bu kantin yang memang dekat dengan dirinya karena selalu sarapan di kampus.
Ardian terkekeh kecil saat melihat mereka bersendau gurau sebelum berkata, "Bu, udah. Kasihan tuh Imah sampai menutup wajahnya. Ibu ini kadang-kandang usilnya kebablasan."
"Hehehe, ya maaf nak. Soalnya tuh, saya tidak pernah lihat neng Imah duduk sebangku sama cowok saat di kantin. Jadi kepo deh..."
"Ibu ini ada-ada saja." ujar Ardian dengan senyum kecilnya.
"Ya sudah, Ibu tinggal dulu ya, mau balik masak. Gak enak juga gangguin orang pacaran, hehehe..."
"Bu Munatih!" teriak Imah dengan muka merahnya, entah dia malu atau marah, atau mungkin justru keduanya.
"Lari kuy!" teriak bu kantin yang bernama Munatih itu dengan canda tawanya, membuat pipi Imah semakin merah dan Ardian yang menahan tawa.
"Udah biarin aja tuh bu Munatih mau ngomong apa. Namanya juga Ibu-Ibu, kepoan kalau lihat yang bisa jadi gosip."
"Tapi kak..."
"Aduhai Neng... Jangan pake nada manis nan manja begitu bisa gak? Gak baik buat jantung gue. Tuh kan, berdetak kencang tiada aturan." ucap Ardian dalam hati.
"Ya udah, daripada mikirin yang lain mending Imah sarapan aja dulu. Aku mau ke kelas soalnya..."
"Eh? Udah mau pergi kak?"
"Lah, emang gak boleh pergi? Minta di temenin maksudnya?"
Imah baru tersadar, dia justru dengan gamblang memberitahukan bahwa masih ingin di temani oleh Ardian, membuatnya membuang muka kesamping, tidak ingin wajahnya yang merah terlihat.
Ardian juga tahu bahwa Imah sengaja menyembunyikan muka merahnya.
"Kalau nanti ketemu lagi. Kita masih bisa ngobrol kok, tenang aja. Lagipula, nih kampus juga gak besar-besar amat."
"Iya kak..." jawab Imah tanpa memalingkan wajahnya.
"Ya udah, gue duluan ya." ujar Ardian pendek yang di jawab Imah dengan anggukan kepala sebelum melangkah keluar dari kantin dan menuju ke kelasnya.
Tanpa Imah ketahui, Bu Munatih sudah mengintai mereka di baik kaca tempat lauk pauk berada.
Dengan tangan mengepal semangat dia berkata.
"Gas ken neng Imah! Jangan kasih kendor tuh nak Ardian! Jangan mau kalah sama neng Putriani..."
**********
Di tengah perjalanan menuju kelas, bulu kuduk Ardian tiba-tiba meremang, di sertai hawa dingin dia rasakan saat berada di tengah koridor yang menuju ke arah anak tangga, membuatnya menengok kekiri dan...
Dan...
Dan...
Satu sosok manusia berbadan hitam yang cungkring dengan mata merah menyala, lidah panjang menjuntai ke bawah, rambut berantakan dan bau busuk menyengat, telah berdiri tegap tetap di depan mukanya.
Muka Ardian dan muka sosok itu hanya berjarak sepuluh centimeter, membuat baunya yang sangat menyengat dapat membuat orang normal memuntahkan isi perutnya.
Namun, Ardian bukanlah orang normal.
Dengan suara serak dan berat sosok itu berkata...
"Jauhi gadis itu atau mati! Jauhi gadis itu atau mati! JAUHI GADIS ITU ATAU MATI DI TANGANKU!"
Dengan muka polos dan datar, Ardian pun menjawab peringatan sosok manusia hitam di depannya.
"Anjir, rokok gue udah mau habis."
Ardian kemudian berjalan kedepan dan tubuhnya menembus makhluk ghaib di depannya, karena mini market tepat berada di belakang sosok manusia hitam itu.
Dengan wajah kebingungan, sosok manusia hitam itu perlahan menghilang seperti debu hitam yang tertiup angin.