Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Jadian
"Aku, bukan kah aku sedang dekat denganmu" jawab Aghnia dengan mimik bercanda, namun dia serius dengan ucapannya.
"Malik ini susu dan roti untuk siapa?" Tanya Aghnia melihat kantong diantara mereka, mengalihkan pembicaraan sejenak.
"Eh. Itu untuk kita berdua. Ambilah" ucap Malik.
Aghnia tersenyum saat melihat susu strawberry kesukaannya. Gadis itu mengambil dan mulai meminumnya.
"Aghnia. Aku tau ini mungkin terlalu cepat, aku juga tau peraturan abahmu sangat ketat" Ucap Malik terbata. Pria itu menjeda ucapannya, melihat reaksi Aghnia yang nampak penasaran.
"Kamu, boleh kah aku mengenalmu lebih jauh?", Malik merasa canggung untuk mengutarakan isi hatinya kepada Aghnia.
"Mengenal? Maksudmu, kita bertukar CV ta'aruf begitu?", Aghnia paham apa yang dimaksud Malik. Ia juga tahu kepribadian Malik yang susah didekati. Tidak mudah baginya mengungkapkan isi hati.
"Bukan, bukan begitu. Em, maksudku, apa kamu punya pacar sekarang?", Malik nampak malu, tak berani menatap mata Aghnia kali ini.
Aghnia menghentikan kegiatan menyedot susunya. Jantungnya dibuat tak aman oleh perkataan Malik. Aghnia menunduk memainkan flatshoes putihnya. Gadis itu masih tak percaya dirinya bisa mendapatkan hati Malik. Bahkan Malik duluan yang berinisiatif menembak dirinya. Tentu sangat bahagia, sebagaimana semarak taman bunga yang mekar bersamaan menyambut sang surya.
"Aghnia" Malik mengusap pundak Aghnia pelan.
Aghnia berjingkat kaget, gadis itu menoleh memandang Malik. Senyuman Malik membuat Aghnia lupa sejenak cara bernafas. Ia baru tau jika senyuman Malik sangat mempesona, selama ini ia tak begitu memperhatikannya. Ia terlalu fokus menyusun strategi untuk mendapatkan hati lelaki itu.
"Aku tidak punya pacar sekarang. Kamu lah yang sedang dekat denganku, seperti ucapku sebelumnya", sahut Aghnia.
"Jadi?", Malik ingin menyimpulkan jawaban Aghnia yang masih ambigu baginya.
"Jadi apa? Jadian?", goda Aghnia, membuat Malik terdiam, lantas menatap mata Aghnia. Gadis itu pun menunggu ucapan Malik, mereka sama-sama memiliki ego yang tinggi.
"Aku, kamu, mau kah kamu jadi pacarku?", dengan susah payah Malik mengungkapkan perasaanya.
"Em, menurutmu, kenapa aku mau jalan denganmu?", Aghnia ingin melihat kepekaan Malik.
Malik tertegun dengan jawaban Aghnia. Pria itu pun menyisihkan kantong plastik yang membatasi mereka, lantas memeluk Aghnia dengan perasaan yang tak terlukiskan.
"Terimakasih, sayang" bisik Malik di telinga Aghnia. Gadis itu hanya tersenyum, membalas pelukan Malik sebagai tanda persetujuannya.
Di kontrakan Monica sempat melihat Malik menjemput Aghnia. Gadis itu sedikit iri, jangankan dijemput, mendapatkan nomor ponselnya saja susah. Monica menghela nafas lelah.
"Apa kamu akan mendidihkan air itu hingga habis?" Tanya Risti, memperhatikan Monica melamun menunggui air mendidih yang tinggal seperempat di atas kompor.
Monica terkejut, ia mematikan kompor. Menuangkan air yang tinggal sedikit ke cangkir kopi miliknya. Ia mengaduk lalu menambahkannya dengan air dingin.
"Relakan Dia Monic, masih banyak lelaki yang lebih baik darinya" ucap Risti, memperhatikan Monic yang susah fokus bahkan hingga salah meletakkan sendok kotor.
"Aku akan mencobanya Risti. Tenanglah aku tak akan menghancurkan persahabatan kita hanya karena lelaki" Monica menepuk pundak Risti, menenangkan sahabatnya itu.
"Daripada kamu galau terus, mending bantu aku mengumpulkan data untuk menyusun skripsi" tawar Risti.
Monica mendengus, meninggalkan Risti sendiri di dapur.
Beberapa menit setelahnya, Risti menghampiri Monica yang berada di ruang tengah, sibuk menscroll ponselnya. Ia menyodorkan satu piring mie goreng pada Risti.
"Obat anti galau" seru Risti, duduk di samping Monica.
"Wah makasih banyak Ris" ucap Monica. Mereka berdua menikmati lezatnya mie goreng.
"Menurutmu kenapa Tuhan tidak mentakdirkan kamu bersama dengan Malik?" Celetuk Risti disela mereka makan.
Monica mengernyit, gadis itu menatap Risti lalu menggeleng.
"Tuhan sangat baik padamu, Beliau tak ingin kamu mengejar sesuatu hal yang masih semu dan belum pasti" jelas Risti.
Monica memakan mienya tanpa bicara, mencerna perkataan yang keluar dari mulut Risti.
"Lebih baik kamu mulai menyusun skripsi", tawar Risti yang sudah proses pengumpulan data, karena dosen pembimbingnya meyakini bahwa data dan hipotesis lebih didahulukan agar judul bisa dipertanggungjawabkan.
Monica mengangguk setuju, dirinya harus disibukkan dengan sesuatu agar tidak teringat dengan hal hal yang tak pasti dan membuat sakit hati.
"Besok aku akan ke ruang kepala prodi untuk konsultasi", ucap monica yakin.
Risti tersenyum menepuk pundak Monica. Mereka berdua melanjutkan acara makan mie dan mengobrol hal hal random.
Di taman Valeri, layaknya remaja yang sedang kasmaran, Aghnia dan Malik menghabiskan waktu bersama dengan berkeliling taman hingga sore hari.
"Ini sudah hampir maghrib Nia. Apa kamu nanti nggak dicariin Risti?", Malik tiba-tiba saja teringat abahnya Aghnia yang mempercayai Risti untuk mengawasi putrinya.
"Dicariin sih. Ini dia udah miscall lima kali", sahut Aghnia, ia baru memeriksa ponselnya yang sengaja menggunakan mode senyap.
"Yuk, pulang. Nanti kita dilaporkan ke abahmu lagi", tentu ngga lucu kalau baru saja jadian sudah bubaran.
Mereka pun bergegas pulang. Baru saja melaju, langit tiba-tiba mendung dan menitikkan hujan rintik dan semakin lebat.
"Kita berteduh dulu ya, Nia", ajak Malik lantas menepikan motornya ke depan minimarket tanpa menunggu respon Aghnia.
"Kamu mau teh atau kopi?", tawar Malik.
"Espresso kalau ada", ucap Aghnia. Malik pun memesan ke kasir dan segera kembali, menunggu pesanan mereka.
"Dingin ya?", ucap Malik, lantas melepas sweater dan menutupkan ke punggung Aghnia yang semula hanya mengenakan kemeja dan dalaman kaos yang kini basah, memperlihatkan lekuk dadanya yang lumayan besar.
Malik menelan air liurnya, sweaternya tak bisa menutupi hingga ke dada Aghnia, ia tak sengaja melihat gundukan besar di dada Aghnia. Pria itu segera mengancingkan dua kancing kemeja atas Aghnia. Gadis itu tertegun memperhatikan Malik.
Mengurangi rasa grogi, Malik kembali ke kasir dan mengambil minuman pesanan mereka. Pria itu kembali dengan membawa dua espresso, menyerahkan satu cup kepada Aghnia. Mereka menikmati minuman hangat itu dalam diam.
"Sudah nggak selebat tadi, lebih baik kita pulang sekarang" ajak Aghnia, mengambil sweater yang berada di punggungnya, menyerahkannya pada malik.
Malik menangguk, memakai sweater nya. Menyatukan cup kosong miliknya dan Nia lalu membuangnya ke tempat sampah. Pria itu berjalan ke parkiran diikuti Aghnia.
Hingga larut malam Aghnia belum pulang ke kontrakan membuat Risti khawatir, takut jika sahabatnya itu mengingkari janji dan membuat masalah lagi.
Risti kembali menghubungi Aghnia, namun dari tadi hanya suara Veronika yang menjawab. Beberapa menit setelahnya ia mendengar suara motor berhenti di depan. Risti segera keluar dan menghela nafas lega, Aghnia pulang dengan selamat.
Tidak ada percakapan antara Malik dan Aghnia, mereka berdua saling lempar senyum, kemudian Malik pamit pulang dan mengangguk menyapa Risti yang berada di depan pintu.
"Risti kenapa di depan?" Tanya Nia dengan wajah imut.
Risti tak menjawab, ia memicing memandang Aghnia. Menunjuk pergelangan tangannya mengisyaratkan jam berapa temannya itu pulang.