Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Mengurai teka-teki.
Mala nampak gelagapan saat Bang Rama bertanya tentang keberadaan nya namun dirinya mencoba untuk tenang.
"Tadi Mala mau ke rumah Abang, tapi ternyata Abang jalan ke rumah sakit."
"Darimana kamu tau, saya ada di rumah sakit?" Tanya Bang Rama.
"Dari gang depan rumah Abang." Jawab Mala.
"Kamu sudah tau rumah saya? Tapi kenapa tidak ada yang lapor kalau ada tamu untuk saya?" Seringai Bang Rama dengan senyumnya.
Mala menunduk tersenyum malu-malu, ia merasa Bang Rama sudah menyambut hadirnya hingga beberapa saat kemudian ada panggilan telepon dari Bang Riffat. Bang Rama pun mengangkat panggilan telepon tersebut.
"Ada apa?"
"Ijin Bang. Tadi jalak melihat Hima keluar dari rumah Abang dengan panik, sesaat kemudian Abang membawa Dilan ke rumah sakit." Laporan Bang Riffat saat itu.
Bang Rama semakin terhenyak. Ia melihat lampu tindakan di samping UGD sudah di matikan. Pikirannya semakin berkelana, semrawut tak tentu arah. Kini di hatinya menebak, siapakah di antara kedua wanita yang berniat mencelakai istrinya. Pandangannya pun sejenak menatap Mala.
"Oke nanti saya hubungi lagi..!!" Bang Rama pun mematikan panggilan teleponnya.
Papa Hanggar menahan Bang Rama saat putra keduanya itu ingin menginterogasi Mala lebih lanjut.
Tak lama dokter keluar dari ruang tindakan. Bang Rama segera terfokus pada Dokter tersebut.
"Bagaimana keadaan istri saya, dok? Kandungannya bagaimana??" Tanya Bang Rama.
"Saat ini istri Pak Rama belum sadar tapi Alhamdulillah kandungannya masih bisa di selamatkan. Sebentar lagi istri bapak akan di pindahkan ke kamar rawat sesuai permintaan dari Bapak." Jawab dokter.
Bang Rama bisa melihat senyum Mala yang pudar dari pantulan pintu kaca namun dirinya melihat Mama Arlian mengusap wajahnya penuh syukur khas seorang ibu, begitu pula dengan Papa Hanggar yang baru melonggarkan cengkeraman tangan di pundaknya.
"Alhamdulillah." Masih terbersit rasa syukur dalam hati Bang Rama. Saat ini dirinya hanya mampu mengusap dadanya meskipun dirinya masih buta akan situasi.
Para anggota yang berlalu lalang disana memberikan hormatnya pada Papa Hanggar dan Bang Rama.
Beberapa saat kemudian Bang Rama mengambil ponselnya. Ia menghubungi seseorang di seberang sana.
"Decky, kamu ke rumah sakit sekarang juga..!! Saya butuh perisai untuk istri saya. Bawa beberapa orang temanmu. Tanpa perintah dari siapapun, tanpa kecuali.. tidak ada yang boleh masuk ke dalam kamar rawat istri saya..!!" Perintah Bang Rama.
Tak lama brankar Dilan keluar. Bang Rama mengecup keningnya lalu membiarkan brankar tersebut kembali berlalu. Segera Bang Rama meninggalkan tempat tanpa pamit pada Papa Hanggar dan Mama Arlian.
"Kamu pulang saja, Ma. Biar Papa yang jaga disini. Rama memberi pengawalan ketat pada Dilan. Kamu juga tidak akan bisa masuk." Kata Papa Hanggar.
"Biar Mama disini saja, Pa. Mama tidak tega dengan Dilan." Jawab Mama Arlian kemudian berjalan mengikuti brankar Dilan.
Ekor mata Papa Hanggar terfokus pada sosok Mala yang nampak santai saja untuk seseorang yang saudaranya sedang tertimpa musibah. Mala malah sibuk dengan gadgetnya dan bermain game s*ot. Tau istrinya sudah berjalan mendahului, Papa Hanggar pun menyusulnya.
...
Di kantor POM, sudah ada Bang Panggih. Beliau sudah berdebat cukup alot dengan petugas disana.
"Kamu jangan buat laporan macam-macam, Riffat..!! Kamu tau sendiri Hima ini adalah calon kakak iparmu." Kata Bang Panggih dalam kepanikannya.
"Tapi Dilan sudah jadi kakak ipar saya, Bang."
Bang Panggih beralih pada Hima yang terpaku tanpa ada suara sedikit pun.
"Kenapa kamu ada di rumah Rama, dek??? Kamu mau apa disana??? Sekarang kamu menjadi tertuduh, berita sudah sampai dimana-mana kalau kamu mencelakai istri Letnan Rama." Ujar Bang Panggih.
"Abang mencemaskan Hima, Dilan, atau bayi yang ada di dalam kandungan Dilan??" Tanya Hima kemudian menatap tajam wajah Bang Panggih.
"Apapun itu, kamu sudah menyentuh tanah rumah tangga saya..!!" Bang Rama seakan tidak peduli lagi. Tatap wajahnya tak lagi bisa mentoleransi kelakuan Hima.
"Bang Ge yang buat Hima jadi begini..!!! Kenapa Abang berkhianat??? Kenapa Abang bisa punya anak dari perempuan lain?????" Pekik Hima. "Hima tidak pernah punya pikiran untuk menduakan Abang."
"Abang yang salah, dek. Abang khilaf..!! Hari dimana kita 'break', Abang benar-benar kalut dan tidak sengaja bertemu kembali dengan Dilan di tempat itu. Abang mabuk berat. Sungguh Abang tidak pernah ada niat menduakanmu." Kata Bang Panggih.
"Tunggu Bang...!! Bukankah saat malam itu, saat bertemu denganku, Abang memperkenalkan Dilan sebagai pacar Abang????" Sambar Bang Riffat.
"Malam itu Abang membawa Dilan keluar dari lingkaran setan dan membawanya ke sebuah tempat yang jauh dari pantauan orang. Hingga saat ini, Dilan masih dalam pengejaran." Jawab Bang Panggih mengambang.
ggrrppp..
Bang Rama menarik kerah pakaian seragam Bang Panggih. "Lalu apa gunanya kau saat ini??? Kenapa kau hanya membantunya setengah jalan??? Dia bisa mati kapan saja jika kau membebaskan dia tanpa pengamanan."
"Abang tau, Abang salah. Seharusnya dari latar belakang Dilan, dia bisa melarikan diri ataupun melawan."
"Sekuat-kuatnya Dilan.. dia tetap wanita, Bang. Apalagi saat ini Dilan sedang hamil. Saya meminta Abang bertanggung jawab, itu atas kelalaian Abang yang melepaskan dia tanpa pengamanan. Soal kehamilannya, saya bisa mengurusnya." Jawab tegas Bang Rama.
Hima yang kalut semakin tak karuan. Hima mengamuk sampai Bang Panggil kewalahan menanganinya.
"Sayaang.. tolong dengarkan Abang..!!" Pinta Bang Panggih membujuk Hima, kekasihnya.
"Hima tidak mau tau. Hima sakit hati."
"Abang sungguh tidak sengaja. Abang tidak sadar menyentuhnya saat kita sedang putus. Jika saja bisa memilih, tentu Abang akan memilihmu yang jauh lebih baik.........."
Mendengar hal itu, emosi Bang Rama pun tersulut. Ia menarik lengan Bang Panggih dan menghajarnya tanpa ampun. Bang Rama tidak mempedulikan jerit ketakutan dari Hima.
"Apa kau bilang???? Jauh lebih baik???????? Hati-hati dengan cara bicaramu, Bang. Yang kau hina itu istri saya..!!! Jika saja keluarganya yang busuk itu tidak menjualnya.. dia pun enggan menjajakan tubuhnya." Bang Rama menarik badik keramat yang ada disela pinggangnya.
Bang Panggih pasrah di tangan adiknya. Ia tidak melawan karena hatinya sendiri sedang tak karuan.
Hima pun memeluk Bang Panggih yang sudah babak belur.
Bang Rama pun menarik diri. "Pekerjaan Dilan memang kotor, tapi saya tau hatinya tidak sekotor hati kalian. Karena anak saya baik-baik saja, saya akan mengampuni kalian. Tapi jika lain kali kalian berani menyentuh istri saya, kau.. kalian.. pasti mati..!!!!" Ancam Bang Rama. "Dan kau Hima..!!! Bang Ge tidak pernah ada hubungan apapun dengan Dilan. Semua murni karena penyelamatan meskipun tidak tuntas."
Hima menyentuh kaki Bang Rama dengan tangisnya. "Maafkan kesalahan Hima ya Bang. Hima salah, Hima khilaf karena cemburu karena Bang Ge menghamili wanita lain. Sekarang, apapun keadaannya..!! Hima akan menerima anak itu."
Bang Rama memejamkan matanya. Lelehan bening menetes di pipinya. Ia tau keadaan yang sesungguhnya namun dirinya tidak ingin melukai banyak hati dan ingin menutup segala kisah pahit.
"Kamu bisa percaya dengan saya. Anak itu adalah anak saya dan Dilan. Bang Ge hanya murni mabuk dan tidak melakukan apapun. Setelah ini jangan membahasnya lagi, menikahlah dengan Bang Ge..!! Lupakan cerita yang telah lalu..!!" Pesan Bang Rama sambil membantu Bang Panggih untuk bangkit.
"Ram...." Bang Panggih meraih tangan Bang Rama namun Bang Rama menepisnya. Entah bagaimana harus mengucapkan rasa terima kasih karena adik tirinya itu telah menyelamatkan hubungannya dengan Hima.
Bang Rama pun berlalu pergi meninggalkan ruangan.
Disana Bang Riffat menggeleng kesal melihat Bang Panggih bisa berlaku seceroboh itu.
.
.
.
.