Semua itu karena rasa ego. Ego untuk mendapatkan orang yang dicintai, tanpa berfikir apakah orang yang dicintai memiliki perasaan yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"bi, saya mau jemput suster dari agen penyalur buat ngerawat Selia, tolong bibi jaga dia selama saya di luar," perintah mas Adam kepada Bi sumi. Saat ini aku dan bi Sumi berada di dapur, dan mas Adam datang menghampiri kami.
"Baik tuan" ujar Bi sumi yang tengah memasak makanan sore. Sedangkan aku tengah duduk di kursi meja makan, posisi membelakanginya mas Adam.
"Ya sudah kalau begitu saya pergi dulu, jangan lupa Selianya di liatin" ujar mas Adam.
"Baik tuan" ujar Bi Sumi sekali lagi, kemudian mas Adam pergi meninggalkan kami.
"Bibi mau ke mana?" tanyaku saat bi Sumi telah mematikan kompor, sedangkan masakan bi Sumi tampak tanggung.
"Mau ke atas nak Zara, ngecek non Selia" ujar Bi Sumi.
"Sudah bi, bibi lanjut masak saja, biar Zara yang naik ke atas buat ngecek keadaan Selia" ujarku seraya beranjak dari kursi.
"Baik nak Zara, terimakasih banyak" ucapnya, dan aku hanya tersenyum, dan meninggalkan bi Sumi.
Aku menuruni anak tangga satu persatu, begitu aku sampai di depan pintu kamar tempat Selia aku berhenti sejenak untuk menarik nafas dan menghembuskan ya perlahan.
'tak perlu cemburu Zara, ingat kamulah pemenangnya sebab Selia hanya mantan istrinya dan kamu adalah istri sahnya saat ini' batinku menenangkan diriku sendiri.
"Klek" aku menekan kanopi pintu, dan pintu pun terbuka.
"Eh ada Zara..." ujar Selia ramah saat dia melihatku membuka pintu.
"Iya mbak, bagaimana keadaan mbak saat ini, sudah mendingan?" tanyaku mendekati Selia, dan duduk di samping nya.
"Alhamdulillah, sudah agak mendingan Zara, sepupumu 'Adam' merawatku dengan baik" ucapnya, yang membuatku menelan ludah berat.
"Alhamdulillah mbak" ucapku.
"Oh ya mbak mau minum, atau butuh sesuatu, biar Zara ambilkan" ucapku, dan Selia menggelengkan kepala.
"Tidak Zara, saya enggak haus, dan enggak butuh apa apa, jangan repot report" ucapnya.
"Ah tidak merepotkan kok mbak, Zara malah seneng kalau bisa membantu mbak dalam masa pemulihan ini" ujarku seraya tersenyum. Biar bagaimanapun semua ini bukan kesalahan Selia, ia tak salah, ia tak tahu kalau Adam telah menikah dan aku adalah istrinya. Dan bukan Selia pula yang ngotot untuk dibawa kerumah ini, melainkan kak Adam. Dan aku pun bukannya tidak tahu jika hati kak Adam hanya untuk Selia, sebab sebelum menikah kak Adam sudah memberitahukan hal itu kepadaku.
"Oh ya Zara, mbak bisa tanya sesuatu?" ujar Selia yang membuatku merasa tak enakan, seperti dia akan menanyakan sesuatu yang aku sendiri tak bisa menjawabnya.
"Iya mbak, silahkan, mau tanya apa?" tanyaku kemudian.
"Zara ini kan sepupunya Adam, mbak mau tanya apakah Adam ada dekat dengan wanita lain? Maksud mbak, apakah Adam sudah punya kekasih atau semacam teman wanita akrab?" tanya mbak Selia, benar dugaanku mbak Selia akan menanyakan perihal Adam.
Aku pun menggelengkan kepala, "Zara tidak tahu menahu soal itu mbak, tetapi sepertinya belum ada" ucapku berbohong, padahal aku sendirilah wanita itu, akulah istri kak Adam.
Ku lihat Selia mengalihkan pandangannya dariku ke arah jendela kamar yang terbuka.
"Memangnya kenapa mbak?" tanyaku memperjelas.
"Tidak ada apa apa Zara, mbak cuman bertanya saja" ujarnya, dan aku mengangguk.
"Zara bisa bertanya sesuatu kepada mbak?" ucapku memberanikan diri.
"Ya, tanyakan saja Zara?" Selia menatapku dengan tatapan sayunya.
"Mbak Selia kan mantan istrinya mas Adam, dan mas Adam pernah bercerita kalau mbak dan mas Adam bercerai itu bukan karena sudah tak cinta melainkan karena sesuatu hal..."
"HIV" Selia memotong pembicaraanku seraya tersenyum.
"Yah, itu maksudku. Jadi yang mau Zara tanyakan, apakah mbak sudah tak ada perasaan lagi kepada mas Adam?" tanyaku sedikit ragu ragu, tetapi aku sangat ingin tahu hal ini.
"Hahhaha" Selia tertawa pelan.
"Entahlah Zara, kadang jika dibahas tentang cinta aku pun tak tahu, sebab sedari awal akupun sebenarnya tak ada rasa dengan sepupumu itu" ujarnya seraya menatapku dengan serius.
Apa tak ada rasa, lalu kenapa bisa sampai menikah?
"Tak ada rasa mbak? Maksudnya?" tanyaku memperjelas, takutnya aku yang terlalu berekspektasi agar selia menolak tawaran mas Adam untuk rujuk, sampai sampai aku jadi salah dengar.
"Sudahlah Zara, itu kan hanya masa lalu jadi biarlah berlalu, masa yang kita jalani adalah masa sekarang jadi fokus lah pada yang sekarang" ujarnya, dan aku pun hanya terdiam.
"Oh ya Zara, tolong ambilkan mbak minum, mbak haus" pintanya.
"Baik mbak" ucapku dengan segera, dan mengambilkannya air putih dari dispenser yang ada di dalam kamar ini.
"Ini mbak" ucapku seraya membantu mbak Selia untuk minum.
"Terimakasih Zara" ucapnya, dan aku meletakkan gelas berisi air minum itu ke atas malas di samping tempat tidur.
"Tidak perlu berterima kasih mbak, itu sudah menjadi tanggung jawab Selia untuk membantu mbak dalam masa pemulihan, sebab Kamilah penyebab mbak jadi begini" ujarku.
"Tidak juga Zara, itu juga kesalahan mbak sebab menyebrang tak lihat kiri kanan dulu" ujarnya seraya tersenyum.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam" sahutku dan mbak Selia bersamaan. Di depan pintu telah ada mas Adam dan seorang wanita berhijab yang seumuran denganku.
"Masuk mas" ujar mbak Selia, sedangkan aku mengalihkan pandanganku dari mas Adam, ke arah yang lain.
Ku dengar derap langkah mas Adam dan wanita yang kutebak adalah suster yang akan merawat mbak Selia mendekat, tetapi aku tak beranjak dari tempatku.
Mas Adam duduk di tepi ranjang di sebelah kanan Selia, sedangkan aku duduk di tepi ranjang di sebelah kiri Selia.
"Kenalkan ini mbak Tami, dia adalah suster yang akan merawat kamu Selia selama masa pemulihan ini" ujar kak Adam dengan nada suara dan sorot mata yang begitu tulus kepada Selia, aku bisa mendengar dan melihat perbedaan saat mas Adam berbicara dengan Selia dan saat mas Adam menatap dan berbicara kepadaku atau bi Sumi atau kepada yang lainnya. Sangat jauh berbeda. Jika kepada Selia ia sangat berlemah lembut dan tatapan mata yang lembut, sedangkan kepadaku nada suaranya begitu datar dan sesekali meninggi dengan tatapan mata tajam seperti ia sangat membenciku.
"Haiii mba tami, saya Selia" ujar Selia tersenyum kepada mbak Tami, dan dibalas dengan senyuman oleh mbak Tami.
"Iya non, saya Tami yang akan bertugas menjaga non Selia" ujar mbak Tami, dan Selia mengangguk.
"Maaf ya mas, Selia jdi merepotkan mas" ujar Selia setengah bermanja.
"Tidak merepotkan, malah mas seneng kalau ada Selia di rumah ini" ucap mas Adam. Mereka seperti suami istri. Aku mulai salah tingkah berada di antara mereka.
"Mas Adam, mbak Selia, Zara pamit pergi dulu" ujarku seraya beranjak dari tempat tidur.
"Buru buru amat Zara" ujar mbak Selia.
"Bukan buru buru mbak, tapi Selia masih ada kerjaan di bawah" ujarku berbohong, sebenarnya aku tak ada kesibukan apapun hari ini. Tetapi dari pada melihat mereka bercengkrama seperti ini, membuatku merasa cemburu saja.
"Ohh ya sudah, terimakasih banyak Zara sudah menemani mbak tadi" ujar mbak Selia, dan aku hanya mengangguk, kemudian pergi keluar kamar.
*****
"Tadi saat aku pergi, kalian berdua mengobrol tentang apa saja?" tanya Adam, saat ini kami berdua tengah duduk di taman rumah. Lebih tepatnya awalnya aku duduk sendiri di kursi taman rumah ini, kemudian kak Adam datang menghampiri ku.
"Kami hanya mengobrol ringan seputar keadaan mbak Selia" jawabku seraya melihat bunga bunga di taman ini, indah sekali.
"Tidak ada pembahasan yang lain?" tanyanya penasaran dan aku hanya menggeleng tanpa bersuara.
"Aku harap kamu harus benar benar pegang rahasia tentang pernikahan kita" pintanya lebih tepatnya dia memaksaku.
"Mas Adam tenang saja, aku akan menuruti semua perintah mas Adam, salah satunya untuk merahasiakan pernikahan kita" ujarku seraya tersenyum. Dan mas Adam pun langsung bangkit dari kursi, dan pergi meninggalkanku. Aku hanya tersenyum konyol, aku benar benar merasa menjadi istri yang tak berdaya saat ini. Istri mana yang ikhlas jika suaminya sendiri meminta agar merahasiakan pernikahan mereka.
"Tin tin..." Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Dan seorang wanita berpakaian serba putih turun dari mobil, tampaknya di adalah seorang petugas kesehatan.
Sebab pintu rumah tertutup, aku pun menghampiri wanita tersebut, barangkali dia adalah dokter yang akan mengecek keadaan Selia.
"Cari siapa yang Bu?" tanyaku menghampiri ibu tersebut.
"Ohh saya dokter yang bertugas untuk memeriksa pasien bernama Selia, apa benar ini rumahnya?" tanyanya dan aku langsung mengiyakan.
"Iya betul dok, mari saya antar masuk" ujarku mengajak dokter untuk masuk menemui Selia.
"Assalamu'alaikum" ujarku seraya membuka pintu.
"Wa'alaikumussalam" orang yg ada di dalam ruangan menyahut.
"Dokter Parida kan? Hampir saja saya lupa kalau hari ini ada jadwal pengecekan untuk Selia" ujar mas Adam langsung beranjak dai tempat tidur dan menyambut kedatangan dokter yang baru kutahu bernama Parida.
"Tidak apa apa pak, barangkali bapak repot" ucap dokter Parida.
"Bagaimana keadaannya Bu Selia? Sudah mendingan?" tanya dokter Parida.
"Ya begitulah dok, kaki saya masih belum bisa digerakkan, tapi kalau tangan alhamdulilah sudah bisa dok" ujarnya.
"Iya tidak apa apa, nanti kalau terus di obati kakinya akan sembuh" ujar dokter seraya meraih tangan mbak Selia untuk diukur tensinya.
"Oh ya Bu Selia sama pak Adam ini suami istri?" tanya Bu Parida. Adam dan Selia saling pandang. Kemudian Selia menggelengkan kepala.
"Tidak dok, kebetulan dia adalah teman lama saya" ujarnya
"Wahhh baik sekali ya pak Adam, sama teman lama saja seperhatian ini" ujar Bu Parida. Adam dan Selia hanya tersenyum.
Setelah Selia selesai diperiksa, dokter Parida memberikan resep obat yang akan diminum oleh mbak selia secara teratur. Dan dokter parida juga sudah selesai mengganti perban di kaki selia.
"Kalau begitu saya pamit dulu jangan lupa obatnya diminum secara teratur, itu untuk membantu penyembuhan kaki Bu Selia dari dalam" ujar Bu Parida.
"Baik dok" sahut kak Adam cepat.
"Mari pak, Bu" ujar Bi Parida, kemudian pergi dari kamar, tak lupa aku mengantarkannya sampai pintu.
"Hati hati di jalan Bu" ucapku saat Bu parida hendak masuk ke dalam mobilnya.
"Iya, makasih Bu Zara" ujarnya, kemudian membunyikan klaksonnya sebagai tanda pamit.