Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 19 ~ Pandu dan Dara (1)
Berkali-kali CItra melihat jam di ponselnya dan sudah lebih dari lima belas menit dari pertemuan yang Harsa atur. Tempat serta waktu, pria itu yang menentukan. Bahkan pelayan sudah datang menanyakan pesanan dan Citra tidak mungkin memesan tanpa kejelasan Harsa akan datang atau tidak. Apalagi tempat pertemuannya adalah private room di salah satu restoran mewah, berapa rupiah yang harus dikeluarkan kalau Harsa malah tidak muncul.
“Lihat saja, kalau benar dia tidak muncul ….”
Gumaman Citra terhenti ketika pintu ruangan terbuka dan Harsa melangkah menuju kursi berhadapan dengannya.
“Aku pikir Mas Harsa ingkar, bahkan aku sudah mempersiapkan apa yang harus aku lakukan setelah ini kalau memang kamu tidak datang.”
“Aku sibuk, bekerja dan mencari uang. Meskipun Papa dan Opa ku punya segalanya bukan berarti aku hanya tenang-tenang saja, bahkan aku sedang berusaha untuk menggantikan posisi mereka.”
“Ck, terserah. Aku hanya minta tanggung jawab kamu.”
Harsa mendessah pelan, mengendurkan ikatan dasinya. Bukan sekali dua kali mulut CItra mengatakan hal yang sama, tanggung jawab. Obrolan mereka terhenti karena pelayan datang, Citra menyebutkan pesanannya, begitupun Harsa meski tanpa minat.
Baru saja Citra akan kembali bicara, ponsel Harsa berdering. Wanita itu mau tidak mau harus menunggu Harsa selesai dengan urusannya. Bahkan minuman dan makanan pembuka datang, pria itu masih bicara lewat telepon.
“Kamu sengaja ‘kan?”
“Aku sudah bilang kalau aku sibuk.”
“Waktu masih dengan Dara, kamu selalu ada waktu untuk kita bertemu,” sindir Citra.
“Aku dan Dara LDR, bahkan saat aku datang ke Jakarta kami masih saja sulit bertemu dan itulah alasan aku tergoda oleh kamu.”
Saat makanan datang, Harsa tidak bersuara karena fokus dengan menu di hadapannya. Tidak ingin membuang waktu hanya dengan berbasa-basi dan kembali ke kantor dengan perut kosong. Apalagi sejak tadi pagi emosinya terus bermain ketika menyaksikan Pandu menghadiri rapat direksi karena keberadaan pria itu di perusahaan dan hal itu sangat mengganggunya.
Orang baru dan belum tentu tahu masalah bisnis sudah mendapatkan kepercayaan di perusahaan. Dalam benaknya, Jaya sangatlah b0doh kalau mempercayakan perusahaan pada orang semacam itu.
“Mas, kamu dengar aku ‘kan?”
Harsa menyeka mulutnya dengan serbet lalu menatap perempuan di hadapannya yang semakin terlihat sangat menyebalkan.
“Seharusnya kamu tunggu sampai aku selesai makan.”
“Kamu semakin menyebalkan,” sindir Citra.
“Jadi, apa yang harus kita bicarakan?”
Citra mendengus kesal, padahal bukan sekali dua kali dia mengatakan keinginannya pada Harsa dan sekarang pria itu masih bertanya mau bicara apa.
“Tanggung jawab, aku minta kamu tanggung jawab.”
“Tanggung jawab apa? Affair kita di belakang Dara hanya untuk senang-senang, dari awal aku tidak pernah janjikan kamu apapun. Kalaupun kita bercint4, itu atas dasar suka sama suka bukan karena aku mengobral cinta.”
“Kamu kelewatan, Mas. Waktu itu kamu bilang ….”
“Bilang apa? Hubungan kita memang terlalu jauh, padahal saat itu kita kenal belum lama,” tutur Harsa lalu mencondongkan tubuhnya. “Aku ingatkan khawatir kamu lupa. Saat itu, kamu sudah tidak … perawan.”
Kedua tangan CItra mengepal menahan geram. Sebenarnya Harsa bukan menghina, tapi memang itu kenyataannya.
“Aku hamil dan kamu harus tanggung jawab.”
Harsa tergelak seakan mengejek.
“Ayolah Citra, kalau mau menjerat aku seharusnya kamu cari cara yang lebih bijak dan masuk akal. Aku selalu menggunakan pengaman. Kalau memang kamu hamil, jelas itu bukan anakku.”
“Mas, aku akan katakan pada Opa kalau kamu ….”
“Katakan saja, tapi aku akan pastikan Papa akan mendepak Bunda kamu dari rumah termasuk kamu juga Dara. Berhenti bersandiwara.”
“Oke, kalau itu maumu. Kita berakhir dan jangan menyesal karena aku akan mendapatkan pria yang lebih baik.” Citra berkata dengan sikap pongah seolah memang sangat mudah mendapatkan pengganti Harsa dan sudah pasti lebih baik.
“Tidak akan, aku tidak akan menyesal,” balas Harsa lalu terkekeh.
“Karena aku akan dekati Mas Pandu,” ujar Citra lalu tersenyum bangga.
Harsa terdiam, bukan karena cemburu atau menyesal. Dia menganggap hal itu menjadi peluang untuk menyingkirkan Pandu. Jaya tidak akan suka kalau Pandu berhubungan dengan wanita sembarangan seperti Citra.
“Lanjutkan. Dengan begitu aku bisa kembali pada Dara.”
***
“Lo masih betah kerja begini?” tanya Vio.
“Asyik aja, selama masih bercuan,” sahut Dara. Sudah hampir jam sebelas malam dan mereka berdua masih duduk di depan loker, sedangkan rekan satu shift baru saja bubar.
“Gue sih pengennya cepat nikah dengan pria kaya, nggak masalah duda juga. Capek kerja gini-gini mulu, gaji habis Cuma buat bayar kontrakan dan makan sehari-hari.” Dara hanya berdehem sambil menikmati coklat bar dan sebotol soda.
Brak.
Vio menatap pintu yang dibuka, ada Pandu berdiri di tengah pintu. Segera ia menyenggol Dara yang menunduk menekuni snacknya.
“Woy, itu lihat,” ujar Vio lirih.
“Apaan sih?”
“Itu.”
Dara menoleh ke depan dan terkejut melihat Pandu berdiri di sana. “Eh, ada Om Pandu.”
“Apa ponselmu rusak?” tanya Pandu dan Dara menggelengkan kepalanya. “Kenapa teleponku tidak dijawab?”
Merasa tidak seharusnya berada diantara percakapan Pandu dan Dara, Vio pun pamit undur diri dan menganggukan kepala saat Pandu bergeser agar ia bisa lewat.
“Jawab!”
“Ponselku di tas, mana tahu ada telpon. Aturannya memang tidak boleh gunakan ponsel saat bekerja. Makanya kembalikan jabatanku, Om,” rengek Dara.
“Kamu bukan bocah, kenapa makanan itu kamu … apa tidak ada makanan lain?”
Dari pada menjawab pertanyaan Pandu, Dara memilih beranjak dan berjalan keluar dari ruangan itu dan berdecak saat melewati Pandu.
“Please deh, Bunda aja nggak pernah peduli aku makan apa. Om kenapa peduli?” tanya Dara saat mereka berjalan bersisian menuju pintu keluar khusus pegawai.
“Karena aku tidak ingin pegawai di hotel ini terlihat gendut.” Dara menghentikan langkahnya lalu menoleh dengan tatapan sinis.
“Dilihat dari manapun, aku tidak … gendut.”
Pandu hanya mengedikkan bahu, lalu menunjuk mobilnya.
“Om Pandu, parkir di sini? Bukan di ….”
“Biar cepat kesana,” tunjuknya pada pintu keluar. “Masuk, ini sudah malam.”
“Tunggu, ini maksudnya aku pulang bareng Om Pandu?”
Pandu bergeming, tampak berpikir. Tidak mungkin dia mengatakan, tentu saja pulang denganku bahkan aku sudah menunggu sejak dua jam lalu.
“Sekalian saja, kebetulan aku ada urusan di sini. Jangan berpikir aku sengaja menjemput kamu,” jelas Pandu berkelit. “Bukankah kamu bilang kalau kita keluarga.”
“Ah betul itu. Kita keluarga, jadi hukumannya anggap selesai saja. Ya, om, ya. Please!”
Melihat wajah Dara merengek dengan bibir yang dikerucutkan terlihat menggemaskan dimata Pandu.
“Aish, cepat masuk atau aku berubah pikiran!”
Hah, Pandu Aji menyebalkan, batin Dara.
Apa dia sengaja menggodaku? batin Pandu.
Atun mo dikemanain, mas?
Gak salah????