Bagaimana jika pengorbanan dan taruhan mengantarkan mereka bertemu?
Ya, begitulah takdir yang tertulis didalam cerita ini.
Pengorbanan hidup seorang gadis berusia 17 tahun, harus bertarung nyawa demi sang adik dan ibunya, agar bisa menyembuhkan penyakit mematikan sang ibu dan membawa pergi kedua wanita itu jauh dari sang ayah yang terbilang cukup mengesalkan.
Andrean memiliki penyakit menular serta mematikan akibat pergaulan bebas, berjudi, minuman beralkohol dan lainnya.
Penyakit itu ia limpahkan kepada anak dan istrinya sendiri. Seorang ayah, seorang orang tua, Andrean selalu menyalahkan dan bahkan memakan anaknya sendiri.
Dari situlah Bunga mati-matian mencari uang. Alhasil orang yang membelinya bukan berniat untuk melecehkannya. Namun, semua itu akibat sang teman yang kalah taruhan dan memberikan hadiah pada si pria.
Entah apa yang terjadi dibalik pertemuan mereka?
Apakah juga Bunga bisa mendapatkan jalannya?
Yuk baca dan temukan jawabannya di dalam bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cici Wulandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~ {Ketahuan}
Malam yang di tunggu-tunggu menjadi debaran sendiri bagi Bunga. Ia keluar kamar setelah Ali mengajaknya turun. Suara ramaian di lantai bawah dapat gadis itu dengar.
Pandangan satu persatu juga melirik ke mereka berdua. Kata cantik terdengar sekali di telinga Bunga. Sekilas saja wajah Bunga memerah.
"Ih gemesnya istrimu Akang.... Cantik, mana imut. Sini duduk sama kita, Teh." Nining begitu antusias terhadap kakak iparnya yang ternyata memang masih sangat muda.
Bunga dengan malu-malu mengikuti saja.
"Perkenalkan, aku ini adiknya Akang Ali, Nining. Kita nggak begitu beda jauh kok umurnya. Sama-sama masih muda." Nining mengajak berkenalan.
"Ak—"
"Ini mama. Panggil mama Rinjani." wanita paruh baya itu juga ikut antusias. Ia sebenarnya tak tahan untuk bercengkrama dengan menantunya satu ini.
"Bunga, Bunga, Buk, Kak. Nama saya." Bunga bingung sendiri mau jawab yang mana dulu dari perkataan kedua wanita beda usia di samping kiri dan kanannya.
Apalagi ia dikeliligi oleh orang-orang yang begitu terlihat wibawa dan penuh dengan martabat yang tinggi.
"Cantik wey istri Lo Li," puji Manto. Ia ikut hadir bersama istrinya Irma.
"Awas Li. Ingat, masih di bawah umur. Masih sekolah. Di tahan dulu Bro." Azhar ikut mengopori.
Bunga tidak mendengar celotehan dari beberapa pria dewasa itu. Ia sibuk dengan Rinjani, Nining, Irma dan tamu yang ikut hadir.
"Nggak apa-apa Li. Kalian juga sudah sah," ucap Ilham yang pemikirannya berbeda dari dua sahabatnya.
"Tapi masih sekolah Gus. Entar Ali kelepasan. Bahaya!" ucap Manto.
"Lo udah lepas tapi belum aja tuh bunting." sekak Ali pada Manto.
Manto secara tak langsung terkena mental. "Apa karena pengaruh kami pernah pakek KB kali ya?"
"Bisa jadi, bisa juga enggak! Periksa dulu," balas Ali santai.
"Rencananya sih gitu. Lo kapan ada jadwal kosong?"
"Kayak gue ada jadwal kosong aja. Kecuali cuti, iya. Lagian kapan aja gue siap kok. Asal Lo daftar dan ikuti antrian."
Manto mengangguk sesekali mengerti. Ia memang harus begitu. Tapikan ia ingin menjadi pasien spesial. "Rencananya habis kami mengadakan acara resepsi pernikahan aja. Kalian tau sendiri kalau kami nikahnya kayak habis ketahuan mesum di semak-semak. Padahal gue kesangkut di atas pohon. Eh... Malahan beneran kesangkut sama Irma."
"Gitu-gitu Lo senengkan?" tanya Azhar.
Manto memainkan kedua alisnya naik turun serta senyuman manis ia sematkan. "Enggak ada duanya. Lo cobain aja entar, makyus Li."
Ali berdecak kesal. "Enak banget kalo Lo ngomong."
"Emang enak! Makanya gue nyuruh Lo coba. Sekali coba bisa dua sampai tiga dalam semalam."
"Bisa juga empat. Tergantung sama stamina dia." sambung Azhar menunjuk Ali.
"Hus... Dari pada kita ngomong yang mampirnya terlalu jauh. Mari berdoa dulu." Ilham terus menjadi garda terdepan untuk mengingati ketingga insan yang sekali berbicara tak melihat lingkungan sekitar. Walau ada anak kecil sekalipun di dekat mereka.
"Gue setuju, lanjutkan Gus." Ali juga tak mau banyak berbicara dulu. Ia sedari tadi melirik-lirik Bunga.
Melihat betapa senangnya raut wajah gadis di hadapnya menjadi kesenangannya sendiri. Wanita muda yang sedari pertama ia lihat terus tersenyum paksa. Kini bak mendapatkan angin segar. Wajah manis nan cantik menjadikan padangan Ali tak teralih ke arah lain.
Acara serta doa yang seperti mereka akan hidup bahagia. Adalah doa Ali supaya ia bisa mendapatkan jalannya di kemudian hari.
Selepas doa bersama, para pria yang telah makan, duduk di taman belakang sembari merokok. Mereka duduk di meja yang masing-masing telah di siapkan.
"Wajar Lo nggak dapat anak. Main hembas-hembus barang ini terus. Kurangi, kalau bisa berhenti." Ali mengambil barang di tangan Manto.
Dari keempat pria itu, Manto salah satu pengguna rokok elektrik yang mengeluarkan wangi rasa buah stoberi. Ketiga lainnya memang tak merokok.
"Nggak tau kenapa susah banget gue lepas dari itu benda." Manto diam saja saat rokoknya di matikan Ali.
"Susah enggaknya ada pada diri Lo sendiri. Jika Lo bener-bener berniat melepaskan benda itu dengan dalili hal yang lebih Lo utamakan contohnya anak aja. Lo pasti bisa Bro." Ali menasehati.
"Entarlah gue coba." Manto membasuh tenggorokannya dengan segelas kopi. "Jadi gimana niat Lo sekarang dengan posisi Bunga yang masih sekolah?"
"Gue masih tetep akan melanjutkan sekolah anak itu kayak biasanya. Lagian kita nggak taukan besok kayak gimananya. ~~~" Ali menceritakan semuanya pada ketiga sahabatnya itu.
Ia tak tahu jika Bunga tengah berdiri tak jauh dari mereka. Di situlah Bunga kembali menjatuhkan air matanya. Ternyata Andrean masih mengincarnya. Dengan cara menikah sirih ini, Bunga dan Kirana dalam perlindungan Ali yang tak akan bisa di ganggu gugat pria dewasa yang masih dalam masa pengobatan itu.
Bunga bukan sengaja untuk menguping. Ia memang di suruh mertuanya untuk memanggil Ali. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mereka harus segera pulang. Untuk memberikan sampaian ia malahan mendengar perkataan Ali.
"Teteh kok malahan berdiri di sini. Kenapa atuh, takut gangguin mereka ya?" Nining mendekati. Ia sangat kelelahan dan sedang memberikan asi ekslusif pada Maryam makanya meminta tolong Bunga.
Bunga dengan cepat menghapus air matanya. Sontak suara Nining menjadikan ke empat insan itu menoleh ke arah dua wanita yang berdiri di belakang mereka.
Detak jantung Ali seketika saja berdesir hebat. Bunga mendengar semuanya.
"I-iya Teh." Bunga tak bisa menanahan sesak di dadanya. Kekhawatirannya menjadi-jadi.
"Teteh kenapa? Teteh masih sakit? Teteh istirahat dulu gih sana."
Bunga mengangguk patuh. Ia segera berlalu. Melihat itu Ali segera bangkit mendekati Nining. "Bunga dari tadi di sini?" Ali jadi cemas terhadap pola pikir Bunga. Ia sudah ketahuan.
"Iya Kang. Dari tadi aku nyuruh dia buat minta tolong kasih tau Abi dan yang lain pulang. Udah malam."
"Tidur aja di sini. Kamarkan banyak."
"Ada kerjaan Kang—"
"Iya udah hati-hati. Aku mau menemui Bunga dulu." Ali langsung mengejar Bunga.
Nining bingung sendiri dengan tingkah Ali. Begitu tak sabarnya pria matang itu. Tapi mengingat raut wajah Bunga yang seperti sedang bersedih.
"Umi udah mau pulang?" tanya Ilham, menyadari lamunan Nining. Sedangkan Nining hanya mengangguk saja.
"Ya sudah kita pamitan dulu." Ilham merangkul Nining. Apa yang di perlihatkan di wajah istrinya menjadi kegelisahan juga bagi ketiga pria yang ikut geram dengan kisah Bunga.
Sedangkan di posisi Ali. Ia terus mengejar Bunga sampailah gadis itu sedikit berlarian naik ke lantai atas.
"Li... Tunggu sebentar!" panggil Rinjani.
Ali spotan berhenti melangkah. "Ada apa Ma?" ia sekilas melihat Bunga yang sepertinya sudah memasuki kamar.
"Ada yang mau mama dan papa omongin dulu sama Kamu sebentar."
Ali mengatur napasnya. Sepertinya kedua orang tuanya ada sesuatu yang lebih penting untuk di sampaikan kepadanya. Nanti saja ia menemui Bunga selepas urusannya selesai. Ali pun mengikuti Rinjani ke ruangan lainnya.
lanjut lagi dong makin 🔥🔥🔥💪💪💪
Kopi meluncur untuk hadiah ultah nya neng Bunga ❤️