Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di paksa untuk berpisah
Freya duduk di meja kerjanya, matanya menatap layar laptop tanpa benar-benar melihat. Sudah satu minggu sejak terakhir kali dia bertemu Tama, dan rasa rindu itu semakin mengganggu konsentrasinya. Dia tahu Tama sedang sibuk merawat ayahnya yang sakit, tapi hatinya tak bisa berhenti memikirkan pria itu.
Setiap kali notifikasi masuk, Freya berharap itu dari Tama, meski tahu dia tidak mungkin menghubunginya. Dia melamun, membayangkan momen-momen kecil mereka, senyuman, tawa, bahkan obrolan santai di kafe. Semua itu membuat hatinya terasa berat.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan Leyla masuk dengan senyum lebar. "Hei, apa kabar? Kenapa kamu kelihatan melamun gitu?" tanyanya sambil duduk di kursi sebelah.
"Cuma ... kangen Tama," jawab Freya, menghela napas panjang. "Aku nggak bisa fokus kerja."
Leyla menatapnya dengan pengertian. "Aku ngerti. Tapi kamu juga harus ingat, Tama sedang menjalani masa sulit. Dia pasti butuh waktu."
"Ya, aku tahu. Tapi rasanya ... sulit sekali," Freya mengeluh.
Leyla tersenyum dan menggenggam tangan Freya. "Bagaimana kalau kita pergi ke kafe? Sedikit refreshing bisa membantumu fokus."
Freya tersenyum kecil. "Kedengarannya bagus. Tapi ..."
"Tidak ada tapi. Kita butuh waktu untuk bersenang-senang," potong Leyla. "Ayo!"
Setelah beberapa menit, mereka pun pergi ke kafe favorit mereka. Freya merasakan suasana hati yang lebih baik saat melihat Leyla berusaha membuatnya tertawa. Mereka berbagi cerita, minum kopi, dan menikmati waktu bersama. Meski rindu kepada Tama masih ada, kehadiran Leyla membuat beban di hati Freya sedikit lebih ringan.
Saat malam tiba, Freya pulang dengan perasaan yang lebih tenang. Dia tahu Tama akan kembali, dan sementara itu, dia bersyukur memiliki sahabat seperti Leyla yang selalu ada di sampingnya.
***
"Tama, Nak, lebih baik jika kamu tinggal lagi bersama kami, bagaimana?" tanya Arman penuh harapan.
Setelah mengantar pulang Arman dan Rini, Tama berdiri di depan pintu rumah orang tuanya, merasakan ketegangan di dalam hati. Dia ingin menolak permintaan ayahnya untuk tinggal kembali, tetapi bayangan wajah cemas dokter yang memperingatkan tentang kesehatan Arman membuatnya ragu.
"Aku khawatir dengan kesehatan Ayah," pikirnya. "Jika aku pergi, bagaimana kalau dia stres lagi?"
Dengan menarik napas dalam-dalam, Tama mengangguk setuju. "Baiklah, Ayah. Aku akan tinggal di sini lagi," ucapnya pelan.
Arman tersenyum lega, sementara Rini menatap Tama dengan mata penuh harapan. Dalam hati, Tama merasa terjebak. Dia mencintai kebebasannya dan merindukan kehidupannya yang lebih mandiri. Namun, melihat kondisi ayahnya, dia tahu keputusan ini bukan hanya tentang dirinya.
Malam itu, saat duduk di ruang tamu, Tama merasa ada yang hilang dalam hidupnya. Dia merindukan kebersamaan dengan Freya, sahabatnya yang selalu membuatnya merasa hidup. Namun, di tengah perasaannya yang campur aduk, dia berusaha untuk tetap positif. Mungkin tinggal di rumah orang tua bisa memberinya kesempatan untuk mengerti dan mendukung mereka, sambil mencari cara untuk mengatasi kerinduan dan kebutuhannya sendiri.
Dengan tekad baru, Tama bersiap untuk menghadapi tantangan ini, berharap bahwa semuanya akan berjalan lebih baik seiring waktu.
***
Rini berdiri di depan apartemen Freya, merasakan berat di dadanya. Ia tahu, kedatangannya hari itu untuk membicarakan sesuatu yang sulit. Setelah mengatur napas, ia mengetuk pintu dan menunggu.
Freya membuka pintu dengan senyum, tetapi senyumnya pudar saat melihat Rini. "Ibu ... ada yang bisa Freya bantu?" tanyanya, menyadari ketegangan di udara.
Rini melangkah masuk, menatap Freya dengan lembut. "Freya, ada hal penting yang ingin Ibu bicarakan denganmu. Ini tentang Tama."
Freya menahan napas, merasakan firasat buruk. "Apa ada yang salah?"
Rini menggelengkan kepala. "Tidak, tapi Ibu ingin kamu mempertimbangkan hubungan ini. Ibu tahu kamu mencintai Tama, dan dia juga sangat menyayangimu. Namun, hubungan kalian tidak memiliki jalan yang jelas."
"Maaf, Ibu. Tapi saya tidak bisa meninggalkan Tama. Kami saling mencintai," Freya menjawab, suaranya mulai bergetar.
Rini menunduk, merasakan beratnya permintaan ini. "Freya, Ibu tahu ini sulit. Tapi jika kamu terus bersama Tama, kamu mungkin akan terluka lebih dalam. Ibu tidak ingin melihatmu menderita. Mungkin lebih baik jika kamu melepaskannya."
Freya bergetar, air mata mulai menggenang. "Tapi saya mencintainya, Ibu. Kami punya impian bersama. Saya tidak bisa hanya melepaskannya begitu saja."
Rini meraih tangan Freya, memohon dengan mata penuh pengertian. "Ibu mengerti, dan Ibu tidak ingin memaksamu. Tapi, tolong pikirkan masa depanmu. Cinta tidak selalu cukup untuk membuat hubungan bertahan."
Freya menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosinya. "Saya akan mencoba, tetapi tidak ada jaminan. Jika mencintai Tama adalah kesalahan, saya akan siap menanggungnya."
Rini mengangguk, merasakan betapa dalamnya perasaan Freya. "Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Apapun yang kamu pilih, Ibu akan mendukungmu."
Setelah perbincangan itu, Rini keluar dari apartemen, meninggalkan Freya dengan hati yang hancur. Freya tahu bahwa keputusan ini tidak akan mudah, tetapi cinta mereka terlalu kuat untuk diabaikan.
Freya menatap kepergian Rini dengan perasaan campur aduk. Setelah pintu tertutup, ia merasakan kesepian menyelimuti hatinya. Tanpa ragu, ia mengenakan jaketnya dan melangkah keluar, menuju gereja kecil yang tak jauh dari apartemennya.
Sesampainya di gereja, suasana tenang dan hening menyambutnya. Freya mengambil tempat duduk di bangku kayu, mengamati cahaya lilin yang berkelap-kelip. Ia menutup mata, berusaha menenangkan pikiran yang kacau.
"Tuhan," ia mulai berdoa, suaranya bergetar. "Aku datang ke hadapan-Mu dengan hati yang penuh keraguan. Aku tahu hubungan ini tidak mudah, dan banyak orang yang tidak setuju. Tapi, aku sangat mencintai Tama."
Air mata mengalir di pipinya. "Aku tahu dia bukan umat-Mu, dan mungkin itu membuat segalanya lebih rumit. Tapi, Tuhan, aku merasa dia adalah orang yang tepat untukku. Dia membuatku bahagia dan mengerti diriku."
Freya menundukkan kepala, berharap menemukan jawaban. "Tunjukkan aku jalan-Mu, dan beri aku kekuatan untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Apakah aku harus melepaskannya atau berjuang untuk cinta kami?"
Di dalam heningnya gereja, Freya merasakan kehadiran yang hangat. Ia berdoa dengan tulus, berharap agar Tuhan memberinya petunjuk. Di dalam hatinya, Freya tahu cinta sejatinya tidak akan mudah, tetapi ia siap menghadapi segala kemungkinan demi Tama.
Dengan keyakinan yang baru, Freya beranjak dari tempat duduknya. Dia tahu apa pun yang terjadi, dia harus mengikuti kata hatinya. Cinta mereka mungkin tidak sempurna, tetapi bagi Freya, itu adalah cinta yang layak untuk diperjuangkan.
Dari kejauhan, seorang pria duduk di bangku taman yang berdekatan dengan gereja. Dia memperhatikan Freya dengan penuh rasa ingin tahu. Kecantikan Freya yang sederhana namun anggun menarik perhatiannya, terutama saat cahaya lilin menerangi wajahnya yang penuh emosi.
"Dia begitu cantik," pria itu berbisik pada diri sendiri, terpesona oleh kehadiran Freya. "Ada sesuatu yang sangat mendalam di matanya."
❤like❤comment❤subscribe❤vote❤