Dokter Obgyn Ini Suamiku
“Ini Bun, tinggal kau minum,” perintah seorang wanita cantik yang mengenakan gaun silk berwarna merah hati. Ia menunjuk nampan berisi sebuah pil dan segelas air putih untuk diminum oleh gadis muda nan cantik di hadapannya.
Wanita muda itu tanpa berpikir panjang langsung meneguk pil tersebut. Keputusannya sudah sangat bulat untuk melakukan semua ini sesuai dengan rencananya.
Matanya yang cantik dengan bulu mata lentik hampir saja berkaca-kaca ketika melihat penampilannya yang terlalu terbuka. Ya, gadis itu tak pernah sekalipun berpenampilan terbuka sebelumnya. Ia adalah seorang wanita yang selalu menjaga auratnya dan kesuciannya.
Namun, malam ini ia tampak sukarela menjual dirinya demi kesembuhan sang ibunda tercinta.
Perasaan takut bercampur dengan pengorbanan memenuhi dadanya. Bunga, gadis delapan belas tahun, melangkahkan kakinya dengan terpaksa, menelusuri lorong menuju kamar yang telah disediakan.
Malam ini Bunga menjual keperawanannya. Ibunya terjangkit penyakit yang kini marak terjadi di kalangan masyarakat akibat pergaulan bebas.
Sang ibu mengidap HIV, penyakit yang ditularkan oleh ayahnya yang ternyata di luar sana sering bermain dengan wanita, berjudi, dan minum alkohol.
Hidup Bunga begitu sulit. Setiap hari ia harus bekerja siang dan malam, banting tulang sepulang sekolah. Namun, uang yang didapatkannya tak pernah cukup untuk membiayai pengobatan kedua orang tuanya.
Kondisi keluarga mereka begitu menyedihkan. Ayahnya yang sakit-sakitan masih saja hidup semaunya, memuaskan nafsunya tanpa peduli dengan keluarganya. Lebih parahnya lagi, sang ayah bahkan berhutang kepada rentenir untuk memenuhi gaya hidup buruknya.
Bunga menjadi korban kekerasan di rumah. Tak sedikit lebam yang terlihat jelas melukis tubuhnya. Namun, rasa sakit itu sudah tak lagi ia hiraukan. Baginya, rasa sakit kehilangan ibunya jauh lebih menyiksa.
Ia tak ingin ibunya meninggal karena keterbatasan biaya pengobatan. Maka ia mengambil keputusan yang sangat berat, mencari uang dengan menjual dirinya demi menyelamatkan nyawa ibunya.
Awalnya Bunga sempat ragu, apakah pria yang akan menjadi kliennya benar-benar sehat. Namun, persyaratan yang dijelaskan oleh wanita itu meyakinkannya bahwa pria hidung belang yang akan membelinya berada dalam keadaan bersih dan sehat.
Bunga pun juga sudah menjalani tes kesehatan sebelumnya untuk memastikan dirinya layak. Dengan penuh persiapan, ia mencoba membuat dirinya terlihat lebih menarik.
Dalam pikirannya, ia hanya memiliki satu tujuan, melayani pria itu dengan baik agar mendapatkan uang yang cukup untuk ibunya.
......................
“Gue kalah taruhan!” seru Gon sambil meletakkan kartu kamar di depan temannya, Ali.
Ali duduk santai di sofa sambil memijat pelipisnya. Garis bibir pria matang itu sedikit terangkat, membentuk senyuman penuh arti. “Jadi apa yang lo kasih, apartment or car?” tanyanya, kedua matanya melirik kartu yang tampaknya adalah kunci kamar hotel.
Taruhan mereka kali ini memang tidak biasa, bahkan cukup menggelitik telinga siapapun yang mendengarnya. Mereka berdua bertaruh dengan menghitung langkah semut menuju lubang yang telah mereka tentukan.
Namun, taruhan itu menjadi lebih absurd ketika mereka melakukannya sambil menutup mata dengan kain hitam. Ali yang lebih cerdik kali ini berhasil menang, sementara Gon harus menerima kekalahan dengan lapang dada.
Gon mendesah pelan, tampak kesal, namun berusaha tetap tenang. “Ini lebih dari yang lo harapkan. Seumur hidup menjadi investasi lo,” jawabnya sambil mencoba meyakinkan temannya.
Ali memegang kartu itu, membolak-baliknya dengan penasaran. “Kalau nggak seumur hidup, gue minta dua kali lipat,” ucapnya dengan nada santai, meskipun jelas ia penasaran dengan hadiah di balik taruhan ini.
Ali menebak-nebak apa yang menantinya di kamar itu. Barangkali sebuah investasi, atau mungkin sesuatu yang lain. Ia membayangkan Gon memberikan surat saham seperti yang biasa mereka lakukan dalam taruhan-taruhan sebelumnya.
Gon, di sisi lain, tampak tak sabar untuk menyelesaikan percakapan ini. “Whatever you ask me to do,” ucapnya sambil tersenyum kecil. “Silahkan lo kesana. Kebetulan gue lagi ada pasien. If you need any questions, please feel free to contact me,” lanjutnya, membentuk gerakan tangan seperti telepon ke telinganya sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Ali sendirian.
Ali menghela napas ringan sambil tersenyum tipis. Ia pun beranjak menuju kamar hotel yang dimaksud. Setelah melewati seharian penuh dengan jadwal operasi sesar yang melelahkan, tempat itu terdengar seperti pilihan sempurna untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.
“Hai Li,” sapa seorang wanita cantik yang hampir melintasi pria di sampingnya. Suaranya lembut, namun penuh keakraban. “Ngapain lo di sini?” tanyanya sambil memegang segelas minuman dingin di tangannya.
Ali menoleh dan tersenyum tipis. “Kebetulan gue lagi ada kerjaan aja. Lo ngapain di sini?” jawabnya santai, namun tetap menjaga nada ramah.
“Sama, ada kerjaan juga. Besok lo libur kan? Temenin gue dong belanja. Kebetulan—”
Namun, sebelum wanita itu sempat menyelesaikan kalimatnya, seorang pria muncul mendekat. Wajahnya terlihat lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang cukup mencolok. Tanpa ragu, ia langsung merangkul pinggang wanita tersebut.
“Sayang, ngapain sih kamu di sini?” tanyanya dengan nada suaranya terdengar lembut namun sedikit menuntut perhatian.
Wanita itu tersenyum kecil, “Aku lagi ngomong sama temen aku Sayang. Oh ya Li, sorry ya gue ada kerjaan. Besok gue hubungin lo lagi kalau jadi,” ucapnya sambil melirik Ali sejenak.
Ali mengangguk mantap. Matanya tak lepas dari pria yang kini merangkul teman sekolahnya waktu SMA. Ia tidak mengenali wajah pria itu.
Seperti biasa, Ali hanya menganggap pertemuan ini sebagai salah satu momen kecil dalam kesehariannya. Sebagai pria tampan yang masih berstatus single meski usianya sudah tak muda lagi, ia sering kali menjadi tameng bagi teman-teman wanitanya.
Walau begitu, Ali tidak pernah memanfaatkan situasi ini untuk sesuatu yang lebih. Ia tahu betul banyak di antara teman-temannya yang diam-diam meliriknya sebagai calon suami. Namun, Ali memiliki standar sendiri.
Baginya, bertemu dengan wanita yang pandai menutup aurat dan menjaga diri adalah prioritas utama. Hal itu menjadi hal terpenting yang ia cari, tak peduli berapa usia wanita tersebut. Suatu hari, ia yakin akan menemukan calon istri yang tepat, tanpa tergesa-gesa.
Ali melanjutkan langkahnya menuju kamar sesuai nomor yang tertera pada kunci yang ia pegang. Sesampainya di depan pintu, ia menarik napas panjang.
Apa pun hadiah yang diberikan Gon, temannya yang berprofesi sebagai dokter spesialis kulit dan kelamin, akan ia terima dengan lapang dada, meskipun ia tahu Gon sering melakukan hal-hal yang kelewat iseng.
Namun, begitu ia membuka pintu, suara lirih seorang wanita langsung menyambutnya. “Om, tolongin aku, Om,” ucap wanita itu dengan suara terputus-putus.
Ali terkejut mendapati seorang wanita muda terduduk di pinggir tempat tidur, wajahnya terlihat pucat, dan napasnya memburu sembari memegang dadanya. Ia tampak dalam kondisi tak berdaya, dan jelas berada di bawah pengaruh obat-obatan.
Sontak, Ali mengucap istighfar dengan nada pelan. Matanya memeriksa tubuh wanita muda itu yang berkeringat deras dan terlihat sangat lemah. “Apa kau merasakan sesuatu?” tanyanya cepat, mendekati wanita itu.
“Panas Om. Panas banget. Aku nggak tahan Om,” jawab wanita itu, suaranya bergetar. Tanpa diduga, ia mulai membuka pakaiannya perlahan.
Ali segera menyadari sesuatu yang salah dengan hadiah dari Gon kali ini. “Kelewatan banget dia,” batinnya, sambil menggerutu dalam hati. Tanpa membuang waktu, ia langsung menggendong wanita itu menuju kamar mandi.
Setelah meletakkannya di dalam bathtub, Ali memutar keran air dingin agar tubuh wanita itu terendam sebagian. Meski wanita itu terus menggeliat, membuka sisa pakaiannya secara tak sadar, Ali tetap fokus.
Sebagai seorang dokter kandungan, ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Baginya, wanita muda di hadapannya hanyalah seorang pasien yang membutuhkan pertolongan medis.
“Om tolong. Aku nggak kuat,” keluh wanita itu dengan suara yang semakin lemah, sementara tubuhnya terus bergerak tanpa kendali.
Ali yang berusaha tetap tenang, mengalihkan pandangannya sejenak untuk mengontrol emosi. “Apa yang kau lakukan di sini? Kau itu masih muda! Seharusnya kau nggak boleh kayak begini,” ucapnya dengan nada tegas, meski ia tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memberikan nasihat.
Wanita itu tak merespons, hanya mendesah kuat, membuat Ali semakin khawatir. Ia menyadari bahwa pertanyaannya tidak akan menghasilkan jawaban dalam kondisi wanita itu saat ini.
Ali melihat jam tangannya sambil memeriksa denyut nadi wanita itu, yang berdetak sangat cepat. “Tahanlah sebentar! Obat itu akan hilang dengan sendirinya,” ucapnya sambil tetap memantau kondisinya.
Di dalam kamar mandi, Ali terus memeriksa tanda-tanda vital wanita tersebut, memastikan ia bisa melewati dampak buruk dari obat yang dikonsumsinya. Ia tahu situasi ini adalah ujian besar, bukan hanya sebagai dokter, tetapi juga sebagai seorang pria.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Yus Warkop
lanjut
2024-10-25
0
Ekha, S
Ini investasi yang di katakan Gon bagus juga beda dari yang lain wkwkwk
2024-08-08
0
kaylla salsabella
semoga bunga jodoh kang ali
2024-08-07
0