(Revisi)
Merasa akhirnya bebas dari ikatan pernikahan dengan Elsa, wanita pilihan orangtuanya, Edward, berniat menata ulang hidupnya dan membangun rumah tangga bersama Lily, sang kekasih.
Namun tanpa disadari saat tangannya menggoreskan tandatangan di atas surat cerai, bukan sekedar perpisahan dengan Elsa yang harus dihadapi Edward tapi sederetan nasib sial yang tidak berhenti merudungnya.
Tidak hanya kehilangan pekerjaan sebagai dokter dan dicabut dari wasiat orangtuanya, Edward mendadak jadi pria impoten padahal hasil pemeriksaan dokter, dirinya baik-baik saja.
Ternyata hanya Elsa yang mampu mengembalikan Edward menjadi pria sejati tapi sayangnya wanita yang sudah terlanjur sakit hati dengan Edward, memutuskan untuk menikah kembali dengan Erwin, adik iparnya.
Apakah Edward akan memaksa Elsa kembali padanya atau memutuskan tetap menjadi pria mandul dan menikahi Lily ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Usaha Awal
“Cantik amat hari ini,” puji Kinan saat melihat Elsa turun dari tangga.
Wanita yang belum berusia 21 tahun itu tersenyum, melebarkan kedua sisi dress selutut dan berputar layaknya peragawati. Wajah Kinan ikut bahagia karena sudah lama Elsa tidak seceria sore ini.
“Sudah cocok jadi model ?”
“Model susu ibu hamil ?” Elsa sempat cemberut tapi kembali tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Nggak apa-apa yang penting dapat bayaran.” Elsa menaik turunkan alisnya.
“Masih kurang kaya yang dipikirin uang melulu,” cibir Kinan. Elsa tertawa, merangkul lengan Kinan dan mengajaknya keluar.
“Sudah pesan taksi onlinenya ?” Kinan tidak menjawab malah membuka pintu dan langsung tertangkap suara pria berbincang sambil tertawa.
“Siapa ?” tanya Elsa sambil menautkan alis.
Wajahnya langsung ditekuk begitu melihat pria yang membuatnya emosi tadi siang sedang duduk di teras bersama Bagas dan sudah berpakaian rapi.
“Kak Bagas nggak tugas di rumah sakit atau dating sama Mbak Kasih ?”
“Sudah jam berapa ini Elsa ? Masa aku disuruh kerja di rumah sakit 24 jam dan soal Kasih, hari ini aku sudah minta ijin khusus,” sahut Bagas sambil tertawa.
Elsa menghela nafas dan menatap ketus pria yang tengah menatapnya dengan intens seperti orang sedang terpesona.
“Dia ikutan juga, Ki ?” bisik Elsa dengan wajah ditekuk. Kinan mengangguk membuat Elsa kembali menghela nafas dan tidak bisa berkata apa-apa kecuali menerima rencana Kinan dan Bagas.
**
Malioboro selalu menarik untuk dijadikan tempat jalan-jalan tidak peduli saat pagi, siang atau menjelang malam.
Jantung kota Yogyakarta ini tidak pernah hilang pesonanya bahkan pasar Bringharjo yang terletak di salah satu sudutnya menjadi bagian yang menarik untuk didatangi saat pagi.
Entah Kinan sengaja atau Edward yang memintanya, pria itu sudah berjalan di samping Elsa yang sibuk menikmati suasana Malioboro di waktu senja.
“Ki, kenapa Malioboro tidak seperti dulu, ya ? Gue lebih suka suasana yang lama daripada sekarang.”
Edward tidak menjawab hanya tersenyum tipis karena Elsa belum sadar juga kalau lengan yang dirangkulnya lebih besar dan kekar dari milik Kinan.
“Ki, elo….” Mata Elsa langsung melotot begitu melihat Edward apalagi saat pria itu menahan tangannya agar tidak lepas tapi Elsa ngotot melepaskan rangkulannya.
“Kenapa jadi dokter ada di sebelah saya ?” Elsa terkejut saat Edward meraih kembali menggenggam jemarinya bahkan bibir pria itu menyunggingkan senyum.
Elsa menoleh ke belakang, mencari Bagas dan Kinan yang masih berjarak sekitar 20 meter dari tempatnya berdiri sedang berjalan ke arahnya.
“Ada aturan yang melarang aku jalan di sampingmu ? Kamu masih istriku dan sedang hamil anakku jadi sudah seharusnya aku menjagamu.”
Elsa menjauhkan wajahnya saat Edward membungkukkan badan hingga mereka saling berhadapan muka dengan muka.
“Mana yang dokter maksud ? Menjaga saya sebagai istri atau sekedar karena saya hamil ?”
“Dua-duanya,” sahut Edward sambil tertawa.
Kali ini tidak mudah melepaskan jemarinya dari genggaman Edward membuat Elsa jadi serba salah sedangkan pria itu malah banyak tersenyum.
Entah kenapa Edward merasa hatinya yang sedang kacau balau lebih tenang saat merasakan kehangatan jemari Elsa.
”Mau makan dimana ?” tanya Edward saat Bagas dan Kinan sudah bergabung dengan mereka.
“Terserah Elsa aja. Jadi mau makan seblak ? Tadi bilangnya lagi ngidam.”
“Makan gudeg aja, Ki biar semuanya bisa makan. Terserah mau yang dimana asal enak dan nggak mahal.”
“Kelakuan masih kayak waktu SMA aja. Uang tabunganmu nggak akan mendadak habis hanya karena makan di Malioboro lagian ada Mas suami yang siap membelikan apapun ngidamnya istri,” ledek Bagas yang tahu kalau saldo tabungan Elsa tidak sudah tidak lagi mengandalkan gaji pegawai kafe sebagai sampingan seperti waktu masih di SMA.
Elsa tersenyum miring melirik Edward yang mengangguk-anggukan kepala, setuju dengan ucapan Bagas. Kinan pun mendahului disusul Bagas lalu Elsa dan Edward yang masih bergandengan tangan menyeberang jalan.
“Biar aku belikan seblaknya, ada dimana ?” tanya Edward dengan wajah serius, bukan sekedar basa basi.
“Nggak usah, aku pingin…”
“Ayo !” Edward keburu menarik tangan Elsa membuat Bagas tersenyum sementara Kinan menghela nafas dengan tatapan tidak yakin pada sikap Edward.
“Mas Bagas yakin nggak ada udang di balik batu ? Benar-benar tidak bisa dipercaya, 2 hari yang lalu dia masih marah-marah dan menghina Elsa, pagi ini mendadak muncul di kontrakan terus berlagak jadi suami siaga.”
“Aku juga nggak tahu, Ki, kita lihat aja perkembangannya tapi kamu jangan khawatir, aku dan Kasih berada di pihak Elsa. Kalau sampai Edward berani macam-macam, aku yang akan menghajarnya langsung.”
“Apa mungkin dia mendadak baik karena ingin memiliki anak yang sedang dikandung Elsa ?”
“Jangan nethink dulu, aku pasti akan mencari tahu alasan Edward. Tolong percayalah padaku ! Aku dan Kasih sudah menganggap Elsa sebagai adik kami, sama seperti kamu.”
Kinan menghela nafas sambil menganggukkan kepalanya.
Sementara itu, Edward dan Elsa yang hampir sampai di ujung jalan sisi Stasiun Tugu berhenti sejenak.
“Dimana tukang seblak yang kamu mau ?”
“Belok ke kanan sedikit tapi saya tidak tahu apa masih ada atau nggak.”
“Ayo kita lihat ke sana. Kamu capek nggak ?” Elsa menggelengkan kepala.
Lagi-lagi hati Elsa dibuat curiga, bingung dan tidak percaya saat Edward kembali tersenyum dan melanjutkan langkah tanpa melepaskan genggamannya.
“Masih ada, mau pesan berapa ?”
“Biar saya yang pesan langsung, dokter tunggu di sini saja.”
Edward menuruti permintaan Elsa dan sambil menunggu, Edward mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya.
Ingatan pria itu kembali pada masa-masa penuh perjuangan saat menjalani kuliah pendidikan dokter di kota ini, menyelesaikan masa koas dan internship sampai akhirnya Edward resmi menjadi dokter yang memiliki ijin praktek.
Di tengah-tengah kesibukan menyelesaikan tugas-tugas kuliah, menjalani latihan atau magang di rumah sakit, Edward dan Bagas selalu meluangkan waktu untuk menghabiskan waktu senggang bersama teman-teman mereka entah di Malioboro atau kafe-kafe dekat kampus yang sepadan dengan kantong mahasiswa.
Selama menjalani hidup di sini, Edward tidak pernah menempatkan diri lebih daripada teman-temannya sampai akhirnya ia bertemu dengan Lily, adik kelas yang lebih muda 3 tahun.
Hidup Edward mulai berubah karena hampir setiap waktu luangnya dihabiskan bersama Lily, kadang-kadang dengan Bagas tapi hampir tidak pernah dengan teman-teman dokter muda lainnya.
Sedikit penyesalan karena Edward kehilangan kontak bahkan dengan Bagas yang memilih tetap bekerja di Yogya meski Edward pernah menawarkan untuk bergabung di rumah sakit milik keluarganya.
Elsa yang sudah menenteng seblak menghela nafas melihat Edward tengah melamun sambil senyum-senyum sendiri. Ia yakin kalau pria itu sedang teringat pada masa-masa indahnya bersama Lily apalagi mereka sudah punya rencana segera menikah.
Teringat dengan nama itu, Elsa buru-buru jalan lewat belakang pria itu untuk kembali pada Kinan dan Bagas.
Mendadak hatinya melow hingga air mata keluar tanpa bisa ditahan. Elsa mengusap kedua pipinya yang mulai basah dengan punggung tangan kanannya karena tidak ingin Bagas dan Kinan melihatnya habis menangis.
“Elsa !”
Edward yang sempat mencari Elsa karena merasa terlalu lama menunggu terkejut melihat istrinya sudah melangkah jauh dari posisinya berdiri.
“Elsa, kok kamu ninggalin aku ?”
Langkah Elsa tertahan oleh tangan Edward namun ia tidak berani menoleh bahkan membuang muka ke samping.
“Elsa kenapa….” Suara Edward tercekat begitu matanya menangkap punggung tangan Elsa yang basah.
“Mas Bagas dan Kinan sudah menunggu.”
Elsa menghentakkan tangannya hingga terlepas dan kembali melangkah dengan sedikit tergesa, meninggalkan Edward yang masih berdiri dan menatapnya sambil menghela nafas.
dasar sundel bolong