Sinopsis "Alien Dari Langit"
Zack adalah makhluk luar angkasa yang telah hidup selama ratusan tahun. Ia telah berkali-kali mengganti identitasnya untuk beradaptasi dengan dunia manusia. Kini, ia menjalani kehidupan sebagai seorang dokter muda berbakat berusia 28 tahun di sebuah rumah sakit ternama.
Namun, kehidupannya yang tenang berubah ketika ia bertemu dengan seorang pasien—seorang gadis kelas 3 SMA yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Gadis itu, yang awalnya hanya pasien biasa, mulai tertarik pada Zack. Dengan caranya sendiri, ia berusaha mendekati dokter misterius itu, tanpa mengetahui rahasia besar yang tersembunyi di balik sosok pria tampan tersebut.
Sementara itu, Zack mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—ketertarikan yang berbeda terhadap manusia. Di antara batas identitasnya sebagai makhluk luar angkasa dan kehidupan fana di bumi, Zack dihadapkan pada pilihan sulit: tetap menjalani perannya sebagai manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MZI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Rasa Hampa di Hati
Elly berdiri terpaku, matanya masih menatap langit tempat bintang-bintang kecil itu menghilang. Dadanya terasa sesak, seakan sesuatu yang sangat berharga baru saja direnggut darinya.
Angin pagi berembus lembut, membawa sisa-sisa kehangatan yang Zack tinggalkan. Tapi bagi Elly, dunia terasa dingin. Hatinya kosong.
"Zack…" suara Elly lirih, hampir seperti bisikan.
Tangannya yang gemetar masih terangkat, seolah berharap Zack akan kembali, bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang akan berakhir saat ia membuka matanya. Tapi kenyataannya tidak berubah. Zack benar-benar telah pergi.
Air mata mengalir tanpa henti di pipinya, membasahi bibirnya yang bergetar. Ia jatuh berlutut di tanah, tangannya mengepal erat dadanya, mencoba meredam rasa sakit yang semakin menyesakkan.
Ia akhirnya sadar…
Zack mengingatnya.
Zack tidak pernah melupakannya.
Selama ini, ia berpikir Zack tidak peduli, bahwa pria itu hanya melihatnya sebagai anak kecil yang mengganggu. Tapi kenyataannya… Zack telah menyayanginya sejak dulu.
Dan ketika akhirnya ia mengetahui perasaan Zack yang sebenarnya, takdir justru memisahkan mereka.
"Kenapa…?" isaknya. "Kenapa baru sekarang aku tahu? Kenapa aku tidak menyadarinya lebih cepat?"
Seandainya ia tahu sejak awal…
Seandainya ia bisa melakukan sesuatu…
Seandainya ia bisa menggantikan Zack…
Tapi semuanya sudah terlambat.
Elly memeluk dirinya sendiri, bahunya bergetar hebat saat tangisannya pecah. Ia menangis dalam kesepian, di tempat yang menjadi saksi perpisahan mereka.
Tak ada yang bisa menghiburnya. Tak ada yang bisa menggantikan Zack.
Bahkan sinar matahari yang mulai naik pun terasa kelabu di matanya.
Setelah sekian lama berusaha mengejar Zack, setelah sekian lama mencoba memahami perasaannya sendiri…
Kini yang tersisa hanya kehampaan.
---
Elly masih berlutut di tanah, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa begitu sesak. Tangisannya telah melemah, tetapi air matanya terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.
Udara pagi yang seharusnya menenangkan justru terasa menusuk. Kicauan burung yang biasanya terdengar merdu kini seperti suara yang jauh, seakan dunia dan dirinya telah terpisah oleh dinding tak kasat mata.
Zack telah pergi.
Tak akan kembali.
Tak akan bisa lagi ia sentuh atau lihat.
Dan yang paling menyakitkan—ia pergi setelah mengucapkan cinta yang selama ini tak pernah ia sadari.
Elly menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan yang masih tertahan di tenggorokannya.
"Maafkan aku… dan aku sangat mencintaimu."
Suara Zack masih terngiang di kepalanya, seolah pria itu masih berdiri di depannya, masih menatapnya dengan mata abu-abu lembut yang selalu terasa hangat. Tapi semakin ia mencoba menggenggam ingatan itu, semakin terasa menyakitkan.
Kenapa baru sekarang ia tahu?
Kenapa baru sekarang Zack mengingatnya, hanya untuk kemudian pergi?
"Apa… aku tidak cukup berharga untuk tetap ada di sisimu?" bisiknya, suaranya serak.
Tapi Zack telah memberikan jawabannya. Ia memilih mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Elly. Itu bukan karena ia tidak ingin bertahan, tapi karena bagi Zack, Elly lebih penting dari hidupnya sendiri.
Elly menarik napas gemetar dan menunduk, menatap bayangannya sendiri di permukaan tanah yang lembab oleh embun pagi.
Sesuatu di dalam dirinya terasa hancur.
Ia merasa kosong.
~*
Tak tahu berapa lama ia berada di sana, tetapi langkah kaki di belakangnya membuatnya tersadar.
"Elly!"
Suara ibunya terdengar panik, dan tak lama kemudian tubuhnya diselimuti kehangatan ketika ibunya menariknya ke dalam pelukan.
"Astaga… kau membuat kami sangat khawatir!" seru ibunya dengan suara bergetar. "Kenapa kau tiba-tiba berlari ke sini?! Kau baru saja sadar dari kecelakaan, dan—"
Elly tidak menjawab. Ia hanya membiarkan dirinya terdiam dalam pelukan ibunya, sementara air matanya kembali mengalir tanpa suara.
Ayahnya ikut mendekat, napasnya sedikit terengah setelah berlari menyusul mereka. "Elly… kau baik-baik saja?"
Elly ingin mengatakan tidak. Ingin berteriak bahwa ia merasa hancur. Bahwa dunianya terasa runtuh karena orang yang ia cintai telah pergi. Tapi yang keluar dari bibirnya hanyalah suara pelan dan nyaris tanpa tenaga,
"Zack… dia sudah pergi…"
Ibunya terdiam, sementara ayahnya menghela napas panjang. Mereka mungkin tidak tahu seberapa dalam perasaan Elly terhadap Zack, tetapi mereka bisa melihat kesedihan putri mereka begitu nyata.
Ibunya mengusap rambut Elly dengan lembut. "Sayang… aku tidak tahu apa yang telah terjadi, tapi—"
"Aku ingin sendiri…" Elly memotong, suaranya lemah. "Tolong… aku hanya ingin sendiri…"
Ibunya tampak ragu, tetapi kemudian menatap suaminya. Ayahnya hanya mengangguk, mengerti bahwa putri mereka butuh waktu untuk menerima semuanya.
"Kita pulang," ucap ayahnya akhirnya.
Elly tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan ibunya membantu dirinya berdiri, lalu berjalan dengan langkah gontai. Seluruh tenaganya terasa terkuras habis.
Saat ia melewati taman itu untuk terakhir kalinya, ia menoleh ke langit sekali lagi.
Tidak ada lagi cahaya kecil yang berpendar di udara. Tidak ada lagi sosok yang ia cari.
Yang tersisa hanyalah langit biru yang begitu luas dan kosong.
~*
Setelah kembali ke rumah, Elly langsung mengunci dirinya di kamar.
Ia duduk di tepi ranjangnya, matanya menatap kosong ke depan. Kamar itu terasa begitu sepi, begitu dingin.
Hanya ada dirinya.
Tanpa Zack.
Pandangannya jatuh ke meja di samping tempat tidurnya, di mana ada sebuah buku catatan kecil yang dulu ia gunakan untuk menulis jurnal saat masih sekolah. Tangannya bergerak tanpa sadar, mengambil buku itu dan membukanya secara acak.
Matanya membeku ketika melihat sebuah halaman lama, tulisannya yang masih kekanak-kanakan memenuhi kertas itu.
"Aku ingin menjadi dokter, seperti Kak Zack!"
"Dia sangat keren dan baik, aku ingin membantu orang lain seperti dia!"
"Aku ingin selalu ada di sisinya!"
Jari-jari Elly mencengkeram buku itu erat. Napasnya tercekat saat rasa sakit kembali menyerangnya.
"Aku tidak bisa…" bisiknya pelan, air mata kembali jatuh. "Aku tidak bisa tanpamu, Zack…"
Ia menutup buku itu dengan tangan gemetar, lalu menarik lututnya ke dada, membenamkan wajahnya dalam kegelapan.
Hari itu, Elly tidak keluar dari kamarnya.
Dan keesokan harinya pun begitu.
Sampai akhirnya, hari-hari berlalu menjadi minggu…
Dan minggu menjadi bulan…
Elly tetap mengurung diri. Tidak berbicara banyak. Tidak menyentuh jas dokter yang dulu selalu ia banggakan.
Karena tanpa Zack, semuanya terasa hampa.
---
Di dalam kamarnya yang redup, Elly masih duduk di sudut tempat tidurnya. Punggungnya bersandar pada dinding dingin, sementara tubuhnya terbungkus selimut yang kusut. Pandangannya kosong menatap ke arah jendela, di mana cahaya matahari samar masuk melewati tirai yang setengah tertutup.
Sudah berapa lama ia seperti ini?
Ia sendiri tidak tahu.
Yang ia tahu, ada kehampaan besar dalam dirinya.
Bayangan Zack terus menghantuinya—suaranya, tatapannya, kehangatan yang dulu selalu ada di sisinya. Setiap kali ia memejamkan mata, ia bisa melihat pria itu berdiri di depannya, tersenyum seperti biasa. Tapi saat ia mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, bayangan itu menghilang seperti asap.
“Elly, sayang…”
Suara ibunya terdengar dari balik pintu. Ini bukan pertama kalinya. Setiap hari ibunya mengetuk, membujuknya keluar, mengajaknya makan, mencoba berbicara dengannya. Tapi Elly selalu memberi jawaban yang sama:
“Aku tidak lapar.”
Dan hari ini pun sama.
Hening.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki perlahan menjauh, dan Elly tahu ibunya menyerah lagi.
Ia menarik napas panjang, lalu memeluk lututnya lebih erat.
Seluruh dunianya terasa berhenti sejak Zack pergi.
Dulu, ia selalu bersemangat setiap pagi, memikirkan cara untuk bisa bertemu dengan Zack, meski pria itu selalu menghindarinya. Ia menikmati setiap percakapan singkat mereka, meskipun Zack sering bersikap dingin dan tidak peduli. Tapi kini… bahkan ketika ia ingin bertemu Zack, tidak ada lagi cara untuk melakukannya.
Tangannya gemetar saat ia menyentuh liontin kecil yang tergantung di lehernya. Itu adalah hadiah ulang tahunnya dari Zack bertahun-tahun lalu—hadiah sederhana yang saat itu ia pikir tidak terlalu berarti.
Sekarang, liontin ini adalah satu-satunya yang tersisa darinya.
Jari-jarinya mengusap permukaannya dengan lembut, seolah berharap bisa merasakan keberadaan Zack di sana.
Air matanya jatuh lagi.
“Elly… kau mencintaiku?”
Suara Zack terngiang di kepalanya, suara yang dulu ia abaikan, suara yang kini menghantuinya tanpa henti.
Ia mengangguk pelan, meskipun tak ada siapa pun yang bisa melihatnya.
“Ya… aku mencintaimu,” bisiknya, suaranya gemetar. “Dan aku akan selalu mencintaimu…”
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Elly membiarkan dirinya menangis hingga lelah.
Hingga akhirnya, ia tertidur dengan tangan masih mencengkeram liontin itu, seolah takut kehilangan jejak terakhir Zack dalam hidupnya.
Bersambung...