Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergian Sean
Pagi itu, suasana di rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Sean duduk di meja makan dengan ekspresi murung, lebih banyak diam daripada berbicara. Marsha memperhatikannya dari seberang meja, tetapi ia tidak berani bertanya.
Biasanya, Sean akan sibuk membaca koran atau melihat layar ponselnya dengan raut serius. Namun, pagi ini, ia hanya duduk sambil menyesap kopinya perlahan, seolah-olah ada sesuatu yang membebani pikirannya.
Marsha mencoba mengabaikan rasa penasarannya dan memilih untuk melanjutkan sarapannya dengan tenang. Namun, saat ia hendak berdiri untuk berangkat ke kampus, Sean akhirnya berbicara.
“Aku akan pergi ke luar negeri.”
Langkah Marsha terhenti. Ia menoleh, menatap Sean dengan dahi berkerut.
“Berapa lama?” tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.
Sean meletakkan cangkir kopinya. “Paling sebentar sebulan.”
Marsha mengernyit. “Sebulan?” Itu adalah waktu yang menurutnya cukup lama.
Namun, yang membuatnya semakin bingung adalah kata-kata Sean tadi—paling sebentar. Jika sebulan saja sudah paling sebentar, lalu bagaimana jika lebih lama? Berbulan-bulan? Bertahun-tahun?
Sean mengamati ekspresi Marsha sejenak, tetapi tidak mengatakan apa pun lagi.
Marsha menghela napas pelan. Ia ingin protes, ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu kenapa Sean harus pergi selama itu. Namun, entah kenapa, mulutnya justru berkata lain.
“Oke.”
Ia bahkan tidak menyadari betapa datarnya suaranya saat mengucapkan itu. Seharusnya ia senang. Seharusnya ia merasa lebih bebas tanpa kehadiran Sean, bukan? Tetapi, mengapa yang ia rasakan justru kebalikannya?
“Selama aku pergi, kamu bakal ditemani oleh sopir dan pengawal,” lanjut Sean.
Marsha mengangguk lagi tanpa berkata-kata. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan masalah besar. Sean hanyalah pria yang menikahinya karena alasan yang belum sepenuhnya ia mengerti. Kepergiannya tidak seharusnya memengaruhi perasaannya.
Namun, ketika Sean berdiri dan mendekatinya, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Untuk pertama kalinya, pria itu mengecup puncak kepalanya sebelum beranjak pergi.
Marsha membeku di tempatnya. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Hatinya terasa aneh—seperti ada sesuatu yang bergetar di dalam sana.
Ketika pintu utama tertutup dan suara mobil Sean menghilang di kejauhan, Marsha masih belum bergerak dari tempatnya berdiri. Tangannya secara refleks menyentuh puncak kepalanya, di mana bibir Sean tadi menyentuhnya. Ia menghela napas panjang.
“Kenapa aku jadi begini?” gumamnya pada diri sendiri.
Hari-hari setelah kepergian Sean terasa begitu sepi. Marsha mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Ia pergi ke kampus, mengerjakan tugas, dan sesekali menghabiskan waktu di taman belakang rumah. Namun, ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang ia enggan akui.
Vano, yang masih setia mendekatinya, sering menemani Marsha di kampus.
“Kamu kelihatan nggak semangat belakangan ini,” ujar Vano suatu siang ketika mereka duduk di bawah pohon dekat perpustakaan. “Ada masalah?”
Marsha menggeleng pelan, mencoba menutup rapat perasaannya. "Nggak ada apa-apa." Tapi nada suaranya tidak meyakinkan.
Vano, yang selalu bisa menangkap ragu di suaranya, menatapnya tajam. “Aku tahu kamu sedang memikirkan sesuatu.”
Marsha mendesah. Ia tidak ingin membicarakan tentang Sean, tetapi di sisi lain, ia juga tidak ingin berbohong pada Vano.
“Aku cuma merasa... rumah jadi sepi.”
Vano mengangkat alis. “Kenapa?”
“Sean lagi ke luar negeri.”
Vano menatapnya dengan ekspresi aneh. “Dan itu buat kamu merasa... sepi?”
Marsha diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Entahlah. Mungkin aku cuma terbiasa lihat dia ada di rumah.”
Vano tersenyum kecil. “Kamu mulai terbiasa dengan kehadirannya.”
Marsha menggeleng cepat. “Nggak, bukan begitu—”
“Tapi kamu merindukannya, kan?” potong Vano,
Marsha terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi kata-kata itu terasa sulit keluar. Ia sendiri tidak tahu apa yang ia rasakan. Beberapa minggu berlalu, tetapi Sean belum juga kembali.
Setiap kali Marsha melewati ruang kerja Sean yang kini kosong, ada sesuatu yang terasa janggal. Ia bahkan pernah tanpa sadar berdiri di depan pintu ruangan itu, menatapnya lama sebelum akhirnya tersadar dan melangkah pergi.
Sore itu, ia duduk di balkon kamarnya, menatap langit yang mulai berubah jingga. Pikirannya melayang pada kejadian terakhir sebelum Sean pergi—kecupan di kepalanya, cara pria itu menatapnya sebelum berangkat, dan bagaimana ia tidak banyak bicara tentang urusan bisnisnya.
“Apa yang sebenarnya dia lakukan di luar negeri?” Marsha bergumam pelan.
Ponselnya bergetar, mengganggu lamunannya. Sebuah pesan masuk.
Sean: Bagaimana kabar kamu?
Marsha menatap pesan itu lama sebelum akhirnya mengetik balasan.
Marsha: Baik.
Tidak ada tambahan kata-kata lain. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Beberapa menit kemudian, balasan dari Sean datang.
Sean: Aku akan pulang lebih lambat dari yang direncanakan.
Marsha menggigit bibir.
Marsha: Berapa lama lagi?
Sean: Mungkin dua bulan.
Jantung Marsha mencelos. Dua bulan? Jadi, totalnya bisa lebih dari tiga bulan? Tangannya mengetik sesuatu, tetapi ia menghapusnya lagi. Ia tidak ingin terlihat peduli. Akhirnya, ia hanya membalas singkat.
Marsha: Oke.
Ia meletakkan ponselnya di meja, menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya sejak Sean pergi, ia menyadari satu hal. Ia merindukannya.
...***...