Safira di jebak oleh teman-teman yang merasa iri padanya, hingga ia hamil dan memiliki tiga anak sekaligus dari pria yang pernah menodainya.
Perjalanan sulit untuk membesarkan ke tiga anaknya seorang diri, membuatnya melupakan tentang rasa cinta. Sulit baginya untuk bisa mempercayai kaum lelaki, dan ia hanya menganggap laki-laki itu teman.
Sampai saat ayah dari ke tiga anaknya datang memohon ampun atas apa yang ia lakukan dulu, barulah Safira bisa menerima seseorang yang selalu mengatakan cinta untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sun_flower95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 7
Suasana apartemen yang di masuki Arselo sangat hening, meskipun terawat tapi suasananya dingin seperti yang sudah lama tak berpenghuni.
Arselo pun melangkahkan kakinya untuk ke kamar tempat ia biasa beristirahat, sejenak ia terpaku sembari menatap pintu kamar yang ia suruh tempati oleh wanita yang pernah menikah kilat dengannya. Ada sedikit rasa bersalah di dirinya, karena walau bagaimana pun sebenarnya wanita itu tak ada sangkut paut dengannya, wanita itu hanya menjadi pelampiasan amarah teman-temannya saja.
Pagi hari telah tiba, Arselo dengan malas segera bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke perusahaan. Keluar dari area pribadinya, ia berlalu untuk ke dapur untuk membuat kopi hitam kesukaannya. Arselo berfikir, apa hanya ia yang tinggal di unit itu, kerena merasa penasaran ia pun berlalu menuju pintu yang berada di sebrang kamarnya.
Tok... tok... tok....
Berulang kali ia mengetuk pintu kamar itu namun hanya hening yang ia dapat, hingga akhirnya ia pun memberanikan diri untuk membuka kamar itu, perasaannya memang kurang pantas kalau masuk ke ruangan orang lain tanpa persetujuan pemiliknya, tapi mau bagaimana lagi, Arselo merasa sangat penasaran.
Ceklek...
Hal pertama yang ia dapat sebuah ruangan rapi, bahkan seperti tak ada yang menempati ruangan itu dia melangkah ke arah lemari dan membukanya, tak ada satu helai pun pakaian.
Arselo iseng membuka laci nakas yang berada di sebelah ranjangnya, ia menemukan sebuah alat mini yang diketahuinya sebagai alat tes kehamilan dengan garis dua yang samar-samar (mungkin karena sudah terlalu lama) mata Arselo membulat, dengan netra yang menatap lurus ke arah tespek tersebut.
"Apa dia hamil?" tanyanya pada diri sendiri.
"Ini tidak mungkin, bisa jadi besar kepala jika benar wanita itu hamil anakku," ucapnya lagi geram sambil tangannya mengepal kuat-kuat.
"Sebaiknya aku segera pergi bekerja, Papa bisa ngamuk lagi jika tahu aku tak ada di perusahaan," batin Arselo, ia berniat menanyakan tentang wanita itu pada petugas apartemen nanti sore setelah pulang kerja.
***
Sudah seminggu ini kegiatan Safira menjadi bertambah dengan kehadiran tiga buah hatinya, sakit hati yang ia rasakan sedikit terobati dengan adanya mereka. Ni Eti pun sangat menyayangi si kembar tiga, bahkan tak hanya keluarga Abizar yang menyayanginya, tetangga-tetangga pun turut menyukai bayi-bayinya itu, sehingga ia tak terlalu terbebani dengan biaya susu formula untuk ke tiga bayinya, bukan Safira tak ingin memberikan full asi, hanya saja asi yang tak terlalu banyak untuk di konsumsi tiga bayinya menjadi kurang, makanya ia selingi dengan susu formula.
"Fir, Qirani sudah di mandikan?" tanya Ni Eti yang sedang membawa baby Dayyan di pangkuannya yang telah terlelap. Sedangkan baby Raiyan sudah tidur duluan.
"Sudah, Ni. ini baru selesai di jemur, mau di pakaikan bajunya dulu." Safira segera memakaikan Qirani pakaiannya.
"Oh ya sudah, habis Qirani tidur kamu segera makan, tadi bi Midah ada nganterin sayur katuk buat kamu," ucap ni Eti.
Safira tersenyum. "Nini sudah makan?" tanyanya pada Ni Eti.
"Sudah, tadi pagi saat kamu sedang memandikan Raiyan," jawab ni Eti.
Safira pun hanya mengangguk, dan segera menidurkan baby Qirani, karena ia sudah sangat lapar.
***
Di kantor Arselo tidak fokus pada kerjaannya, ia lebih banyak melamun. Memang biasanya juga ia tak terlalu antusias tentang kerjaan hanya saja hari ini dia terlihat berbeda.
"Tuan, apa ada yang mengganggu fikiran anda saat ini?" tanya Sofyan.
"Tidak ada," jawab Arselo Acuh.
"Tapi kenapa hari ini anda banyak melamun dan tak fokus?" tanya Sofyan lagi.
"Ck, kau itu banyak tanya sekali!" jawab Arselo kesal sambil memalingkan wajahnya.
Sofyan pun tak mengatakan apa-apa lagi dan dia pun segera berlalu menuju ruangannya.
Setelah kepergian Sofyan, Arselo pun menghubungi seseorang.
"halo Dev."
"......"
"Baik, gimana kabar lo sendiri?"
"......"
"Gak ada hal yang penting, sich."
"......"
"Gue cuma mau tanya, lo masih ada kontekan sama temen yang waktu itu lo kerjain?"
"......"
"Gak ada apa-apa sih, cuma tanya aja."
"......"
"Ok, next time kumpul lagi."
Arselo pun mengakhiri sambungan telpon itu, ia memang penasaran bagaimana kehidupan wanita itu, tapi ia tak berniat untuk mencarinya.
****
...Empat tahun kemudian...
"Mama"
"Mama"
"Mama"
Tiga anak batita itu menghampiri sang ibu yang tengah beristirahat di pinggiran sawah, dia berteduh di bawah pohon pisang yang daun-daunnya bisa menghalau teriknya sinar matahari.
"Sayang hati-hati jalannya," ucap Safira pada ketiga anak batita itu.
"Mama, ini titipan nini. Katanya suruh mam," ucap Dayyan si sulung pada Safira.
"Iya Mama, kita mau temani Mama mam di sini juga," ucap Qirani.
"Aku juga bawa air minum buat mama," ucap Raiyan menimpali sang adik.
"Kalian kesini gak sama nini?" tanya Safira.
"Ngga ma, nini katanya sakit kepala." jawab Dayyan.
"Sudah minum obat Nininya?" tanya Safira lagi.
"Sudah, tadi aku yang beliin ke warung pak Somad, ma" jawab Raiyan.
"Oh ya sudah, biar nini istirahat di rumah. kita mam dulu ya" ucap Safira pada ke tiga anaknya yang kini telah menggelar daun pisang sebagai alas makan mereka.
Safira sudah mulai bekerja di sawah lagi sejak usia anak-anaknya tiga bulan, ia menitipkan ketiga anaknya pada bu Resti dan Caca. Bu Resti memang tidak bekerja seperti kebanyakan orang-orang di kampung itu, karena penghasilan pak Bambang dari berjualan ikan di tambak, dan restoran yang di jalankan Abizar membuat kehidupan keluarga itu tak kekurangan.
Safira sudah pernah di ajak untuk bergabung dan mengelola restoran itu, tapi ia masih menolak dengan alasan ia belum cukup berani untuk kembali ke kota itu.
"Ma, katanya nanti jalan yang di kampung kita akan mulai di buat jalan raya ya?" tanya Dayyan.
"Mama kurang tahu sayang, orang-orang sich pada bilang begitu, katanya akan di jadikan tempat wisata alam juga" jawan Safira.
"Ma, nanti di kampung kita akan banyak orang ya?" tanya Qirani.
"Mungkin saja sayang" ucap Safira sembari mengelus sayang kepala anak-anaknya tersebut.
Dan makan siang itu pun berlangsung dengan obrolan ringan khas anak-anak, Safira hanya tersenyum lembut penuh arti.