Seorang wanita mandiri yang baru saja di selingkuhi oleh kekasihnya yang selama ini dia cintai dan satu-satunya orang yang dia andalkan sejak neneknya meninggal, namanya Jade.
Dia memutuskan untuk mencari pria kaya raya yang akan sudah siap untuk menikah, dia ingin mengakhiri hidupnya dengan tenang. Dan seorang teman nya di bar menjodohkan dia dengan seorang pria yang berusia delapan tahun lebih tua darinya. Tapi dia tidak menolak, dia akan mencoba.
Siapa sangka jika pria itu adalah kakak dari temannya, duda kaya raya tanpa anak. Namun ternyata pria itu bermasalah, dia impoten. Dan Jade harus bisa menyembuhkan nya jika dia ingin menjadi istri pria itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Aku tersadar, namun mataku terasa berat untuk terbuka. Kehangatan di tanganku membuatku yakin seseorang sedang menggenggam nya. Aku mendengar sesuatu, suara Rhine. Terdengar sangat dekat dan jelas. Aku mencoba membuka mata tapi ku urungkan saat mendengar suara Ryan yang terdengar marah.
"Kau gila?! Kau mencari Lea?"
"Bukan urusanmu," Rhine terdengar dingin.
"Hah? Bagaimana dengan Jade, dia menyembuhkan mu. Apa yang kau lakukan sekarang saat dia tak sadar, ini baru dua hari dan kau sudah mencari wanita lain? Jangan coba-coba menyakitinya, aku memperingatkan mu." suara Ryan terdengar serak dan keras. Kurasa dia berada di dekatku.
"Sudah kubilang bukan urusanmu."
Buk.
Tangan ku rasanya dingin, merasakan AC ruangan langsung menyentuh kulitku. Tak ada lagi yang menggenggam tanganku, aku ingin untuk membuka mata namun serasa begitu berat, aku mencoba membukanya perlahan dan sangat sedikit. Kerah baju Rhine berada genggaman Ryan, aku tak yakin bagaimana ekspresi tapi sepertinya Ryan marah.
Apa Ryan marah karna aku? Rhine sungguh mencari mantan istrinya?
Aku ingin tahu lebih, aku menutup mataku kembali dan menyiapkan telingaku sebaik-baiknya untuk bisa mendengar percakapan mereka.
"Tenanglah, ini tak seperti yang kau pikirkan. Keluar, kita bicara." suara berat Rhine memerintah layaknya seorang kakak.
Dia mengecup ku, dia mengecup keningku. Aku merasakan bibirnya menyentuh kulitku, lembut.
"Jangan berpikir kau bisa menyentuhnya sebelum menjelaskan apa yang coba kau lakukan," Ryan menuntut jawaban. Aku lega, aku sangat lega dia peduli padaku dan tahu apa yang ku mau. Aku memang tak ingin dia menyentuhku sekarang, kurasa aku juga butuh penjelasan. Tapi diluar? Mereka ingin bicara di luar, tanpa ku.
Mereka pergi, aku tak lagi marasa adanya kehadiran mereka. Aku juga mendengar suara pintu tertutup.
Aku mencoba untuk membuka mata, perlahan-lahan. Tempat yang familiar, aku berada di kamar Rhine. Di atas ranjangnya. Aku mencoba menggerakkan leherku menoleh ke kiri meski sakit. Mataku tertuju pada pepohonan yang ada tepat sebelum pantai dari arah pusat kota. Tampak berwarna kejinggaan karena terbawa suasana sunset di langit.
Pikiranku melayang, rasanya seperti terbang di awan. Aku tak bisa merasakan badanku, sungguh mati rasa rasanya. Jika benar, aku mendengar Ryan mengatakan aku sudah terbaring selama dua hari. Itu pasti karena alkohol, Rhine memang meminum alkohol berkadar tinggi.
Kepalaku berdenyut, aku kepikiran tentang Rhine. Dia mencari mantan istrinya saat aku terbaring tak sadarkan diri, atau karena dia sudah sembuh jadi mereka ingin rujuk. Ah tidak, pemikiran negatif itu datang lagi.
Kami sudah menikah, aku dan dia baru menikah tidak mungkin dia menceraikan ku. Meskipun hanya di atas kertas, tapi itu tetap sebuah pernikahan. Lagi pula aku sudah bermimpi berikrar di atas altar di saksikan oleh nenek. Aku juga tidak butuh pesta di dunia nyata. Sekarang aku hanya ingin mengetahui alasannya.
Klek.
Aku langsung menutup mata kembali saat mendengar suara pintu terbuka. Pura-pura tidur.
"Aku akan segera kembali," Rhine kembali mengecup keningku lagi dan pergi. Aku tahu dia sudah pergi tapi aku merasakan seseorang masih disana.
"Aku tahu kau sudah bangun, aku melihat kau membuka mata tadi," ucap Ryan mengintimidasi. Dia melihatnya. Rhine bahkan tidak tahu aku sudah sadar. Aku membuka mataku dan tersenyum tipis padanya.
"Kau juga mendengar nya bukan?"
Aku mengangguk. Ryan berdiri di samping ranjang dan berjalan menjauh, langkahnya besar. Dia sampai di jendela dengan cepat, dia sepertinya melirik ke bawah. Ke halaman depan. "Aku akan memeriksanya untukmu, jadi jangan di pikirkan. Istirahat lah."
"Baiklah, terimakasih." Aku mengalihkan pandangan darinya dan menatap lurus ke atas, ke langit-langit kamar. "Tapi,.. dia sungguh mencari mantan istrinya?"
"Kau tahu dia mantan istrinya?"
"Ya, Rhine menyebut namanya waktu itu. "
"Aishh, aku akan segera mengabari mu. Jadi jangan berpikir sembarangan sampai aku kembali," Ryan menyentuh kepalaku begitu dia kembali berdiri di tepi ranjang. Dia mengacak-acak rambutku sebelum pergi, aku cemberut senang karenanya. Dia sungguh tahu apa yang membuatku tenang. Ryan tersenyum dan menghilang di balik pintu yang menutup.
Gelap, langit malam membentang seperti kanvas biru tua yang tak berujung. Aku bisa melihatnya dari balik jendela kaca. Pemandangan laut malam, berkilauan di bawah cahaya bulan selalu mampu memikat hati. Aku berharap bisa menjadi bagian dari pemandangan indah malam ini.
Malam ini, sebuah keraguan menyelubungi hatiku seperti kabut tebal yang mengambang di lautan sana. Setelah terlelap lama dalam kelelahan, aku baru saja selesai mandi, mencuci diriku dari emosi tak bertepi karena Rhine. Dia tidak ada di villa, dan ketidakhadirannya itu menambah berat beban pikiranku. Dia tak kunjung kembali.
Kursi rotan yang ada di depan jendela ku jadikan sebagai tempat duduk, aku bersandar dan berharap mendapatkan ketenangan. Namun kenyataannya hati ku tidak merasa tenang sedikitpun.
Aku menghadap ke luar jendela, mataku tertuju pada keindahan bulan yang menyiramkan warna keperakan gelap di lautan, seolah langit dan lautan sedang melangsungkan akhir hari ini yang penuh cerita. Warna keperakan itu menyelimuti dunia di luar sana dengan keanggunan yang tenang, tetapi hatiku tidak merasa sebanding dengan ketenangan alam di hadapanku.
Hingga akhirnya Rhine pulang. Dia berdiri di ambang pintu sejenak melihatku, aku bisa melihat bayangannya dari pantulan jendela. Namun Rhine tidak memberikan kata-kata, melainkan sebuah pelukan hangat yang membalut ku dalam rasa aman.
Dalam keheningan itu, aku ingin mengetahui alasan di balik ketidakhadirannya. Apa mungkin dia pergi untuk bertemu mantan istrinya. Mungkin kah dia membicarakan sesuatu melalui percakapan dengan wanita yang telah lama meninggalkan hidupnya itu untuk mereka kembali bersama.
Tidak, aku tidak bisa menanyakan apa pun. Aku akan menunggu Ryan mengabari ku. Aku akan menyimpannya. Tapi jujur saja aku ingin dia yang mengucapkan sesuatu yang belum dia ungkapkan kepadaku, bukan dari Ryan. Untuk sekarang aku membiarkannya menjadi sebuah rahasia yang menggantung di udara.
"Kau baik-baik saja? Sudah baikan?" Rhine memegang pipi kiri dan kanan ku, telapak tangannya dingin. Aku mengangguk. "Syukurlah," Rhine memelukku lagi.
Di bawah cahaya lembut lampu meja makan yang berpendar, Rhine menyajikan makanan ke dalam piringku. Suara sendok dan garpu yang beradu lembut seakan membentuk sebuah melodi yang menenangkan.
"Selamat makan," kata Rhine dengan senyuman, wajahnya memantulkan cahaya hangat lampu di atasnya.
"Terima kasih," jawabku. Setiap suap terasa seperti pelukan hangat yang menghapus keraguan dan rasa gelisah yang menggerogoti hatiku. Perasaan itu perlahan-lahan surut.
Aku merasa tenang bisa makan malam dengannya. Rhine berdiri dan mengumpulkan piring-piring yang sudah kosong. Dia tak mengizinkan ku untuk membantunya. Matanya seolah mencerminkan ketulusan yang mendalam, tapi aku merasa ada sesuatu yang bersembunyi di balik tatapannya.
"Aku minta maaf, aku harus pergi," katanya, suaranya sedikit tergesa-gesa. "Ada janji temu bisnis di bar ku. Aku harus pergi untuk memastikan semuanya berjalan lancar."
Aku hanya bisa mengangguk. Meskipun aku tahu ini adalah bagian dari rutinitas hidupnya yang selalu sibuk di malam hari tapi ada rasa hampa yang tersisa di hati ini. "Jangan khawatir, aku akan segera kembali," katanya sambil menghela napas.
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh.
...----------------...
gk rela sebenarnya klo hrus pisah sm mereka.. 😢😢
kira2 Ryan&Hana udh ada anak jg blm ya🙈😅
klo emg Rhine bkn jodoh nya,,, kasih Kade jodoh yg lebih baik lagi thoorrr