Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16
Mereka menyusuri lorong-lorong gelap yang sempit, hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lampu yang berkedip di kejauhan. Dinding-dinding berlumut dan lantai yang basah membuat langkah mereka terasa berat, setiap bunyi langkah terdengar menggaung, menambah suasana mencekam. Nafisah berjalan di depan, memimpin dengan wajah tegang, sementara Nizam dan Azzam mengikuti dengan penuh kewaspadaan. Udara di sekitar mereka terasa tebal, dingin, seolah-olah sesuatu—atau seseorang—mengintai dari balik kegelapan.
“Tempat ini... kenapa terasa begitu mati?” Nafisah bergumam, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya gemetar saat ia merapatkan jaket di tubuhnya, mencoba menenangkan diri dari rasa cemas yang makin mencekam.
Nizam, yang selalu serius dan waspada, mendekat, matanya tajam mengamati setiap sudut. “Mungkin kita terlalu lama di sini. Seharusnya kita pergi sebelum terlambat,” katanya dengan nada rendah tapi tegas, meski di dalam kepalanya keraguan mulai merayap. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Dan apa kita benar-benar aman?"
Azzam, yang biasanya santai, kini terlihat pucat. "Tempat ini... seperti ditinggalkan tiba-tiba. Siapa yang meninggalkan laptop menyala begitu saja?" Dia melirik ke arah pintu dengan gugup, tangannya terus-menerus meremas ujung bajunya, tanda kegelisahannya yang tak bisa disembunyikan.
Mereka akhirnya menemukan sebuah ruangan kecil yang tampak seperti bekas kantor. Cahaya dari laptop yang menyala adalah satu-satunya sumber penerangan di ruangan tersebut, memperlihatkan kursi yang terbalik, meja yang penuh dengan berkas-berkas berantakan, dan kaca jendela yang retak. Nafisah merasakan bulu kuduknya berdiri saat memandang ke sekeliling ruangan yang terlihat seperti baru saja ditinggalkan dalam keadaan terburu-buru.
"Ada sesuatu yang salah di sini," bisik Nafisah, tatapannya terfokus pada laptop di tengah ruangan. "Kenapa laptopnya masih menyala?" Nadanya penuh rasa penasaran, namun di balik itu, rasa takut tak bisa disembunyikan.
Dengan cepat, Nafisah melangkah maju dan duduk di depan laptop, jari-jarinya dengan gugup menekan keyboard. “Ada email... belum terkirim,” ucapnya pelan, membuka pesan itu. Matanya berlari melintasi baris demi baris kata yang muncul di layar.
Wajah Nafisah tiba-tiba memucat, dan jantungnya berdebar kencang saat membaca isi pesan tersebut. “Ini... ini dari seorang peneliti. Mereka sedang mengerjakan sesuatu... virus...” Nafisah berhenti, merasa tenggorokannya kering.
“Virus?” Nizam bergegas mendekat, dahinya berkerut dalam, matanya menatap layar dengan sorot yang penuh ketegangan. “Apa maksudnya?”
Nafisah menarik napas dalam, melanjutkan membaca dengan suara rendah tapi cepat, “Mereka mengembangkan virus berbahaya... yang bisa mengubah manusia menjadi... makhluk tak terkendali.”
"Apa yang mereka lakukan di sini?" pikir Nafisah, tubuhnya terasa dingin seolah-olah darahnya membeku. "Ini semua bukan kecelakaan... semua yang terjadi di kota ini... mereka sudah tahu. Tapi kenapa tidak ada yang memperingatkan kita?"
Azzam, yang kini berdiri di belakang Nafisah, merasa ngeri. “Tunggu... apakah ini yang menyebabkan semua orang... berubah?” Suara Azzam pecah di akhir kalimat, menunjukkan betapa takutnya ia terhadap jawaban yang mungkin ia dengar.
Nafisah mengangguk perlahan, wajahnya semakin tegang. "Sepertinya begitu. Dan lebih buruknya lagi... peneliti ini bilang ada kebocoran besar di laboratorium mereka. Virus itu sudah keluar, dan mungkin sudah menyebar ke luar kota."
Tepat ketika Nafisah hendak membaca kalimat terakhir, layar laptop tiba-tiba padam. Ruangan menjadi gelap gulita, hanya menyisakan bayangan samar dari sisa-sisa cahaya lampu di luar jendela yang retak. Nafisah menggigit bibirnya dengan frustrasi, “Sial! Laptopnya mati!”
“Apa yang tertulis di bagian terakhir?” desak Nizam, matanya menyipit, mencoba memaksa ingatannya mengingat kata-kata yang baru saja mereka baca.
“Aku... aku nggak sempat membacanya,” jawab Nafisah dengan nada putus asa, tangannya mengepal kuat. Ada sesuatu yang penting di akhir pesan itu, sesuatu yang bisa memberi mereka jawaban, tapi sekarang semuanya gelap.
Suasana berubah semakin mencekam. Nafisah merasakan udara di sekelilingnya semakin dingin, seperti ada sesuatu yang menekan mereka dari segala arah. Nizam menggertakkan giginya, mencoba berpikir cepat. "Kita nggak bisa di sini lebih lama. Apa pun itu, tempat ini udah nggak aman lagi."
Azzam, yang biasanya optimis, sekarang terlihat pucat, tubuhnya kaku seolah-olah siap melarikan diri kapan saja. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita bahkan nggak tahu siapa yang bisa dipercaya!"
Nafisah berdiri, matanya bersinar dengan tekad. "Kita harus keluar dari sini dan cari tahu lebih banyak. Informasi ini... terlalu penting untuk diabaikan." Nada suaranya berubah tegas, meski dalam hatinya, gelombang keraguan masih mengganggu. "Tapi siapa yang bisa kita percayai?"
Tiba-tiba, dari luar ruangan, terdengar suara langkah kaki berat yang mengerikan, semakin mendekat. Mata Nafisah membelalak, perutnya terasa mencelos. "Apa itu?" bisiknya, nyaris tak berani bernapas.
Nizam menoleh cepat, "Kita kedengaran."
Ruangan kecil itu kini terasa semakin sempit, dan waktu mereka semakin sedikit. Mereka memiliki potongan informasi yang bisa mengubah segalanya, tapi tidak tahu apakah mereka punya cukup waktu untuk menggunakannya. Ketegangan memuncak saat suara itu semakin mendekat, dan mereka harus memutuskan langkah selanjutnya—bersembunyi, atau lari menuju bahaya yang lebih besar. "Kita harus bergerak sekarang... tapi kalau salah langkah, semuanya bisa berakhir."
*****
Lorong yang mereka susuri semakin sempit dan gelap. Dinding-dinding kusam yang dipenuhi lumut tampak menekan dari kedua sisi, membuat napas mereka terasa lebih berat. Lampu redup di langit-langit berkerlap-kerlip, nyaris padam, seperti sebuah peringatan samar bahwa mereka seharusnya tidak ada di sana. Udara terasa lembap dan pengap, memunculkan aroma karat dan debu yang menempel di hidung mereka. Setiap langkah yang diambil Queensha dan Nada bergema pelan, seperti seolah-olah ada sesuatu yang mendengar, mengintai dari kejauhan.
Queensha berhenti sejenak, matanya menyipit mencoba menembus kegelapan di ujung lorong. "Nada, tempat ini makin aneh. Kamu yakin kita harus terus masuk?"
Nada meliriknya sekilas, raut wajahnya tegang, namun penuh tekad. "Kita sudah terlalu jauh. Kalau ada jawaban, itu pasti di sini." Nadanya tenang, tapi matanya terus bergerak, mengamati setiap sudut dengan waspada.
Tiba-tiba, sebuah pintu tua berderit pelan di sebelah mereka, seperti menuntun mereka untuk masuk. Nada mendorong pintu itu perlahan, suara kayu yang retak menambah suasana seram. Mereka mendapati sebuah ruangan tersembunyi—gelap, penuh debu, namun tampaknya sudah lama tidak tersentuh.
"Ini dia," gumam Queensha, suara hatinya bergetar. "Tempat ini menyimpan sesuatu."
Di dalam ruangan itu, mereka melihat sebuah papan besar di dinding, penuh dengan gambar, peta, dan dokumen yang tertempel rapi. Lampu kecil di atas papan memberikan cahaya kuning pucat yang membuat gambar-gambar dan tulisan-tulisan itu tampak lebih menakutkan. Peta besar yang tergantung di tengahnya memperlihatkan pola penyebaran yang tidak wajar—lingkaran-lingkaran merah yang mewakili daerah yang terinfeksi tersebar secara strategis, bukan acak.
Queensha merasa kakinya melemas saat menyadari betapa rapi semua ini diatur. "Nada... ini semua sudah direncanakan," bisiknya, matanya terpaku pada dokumen yang mencatat tanggal-tanggal penyebaran. "Ini bukan kebetulan."
Nada menyentuh salah satu peta dengan alisnya berkerut, mencoba mencerna semua informasi yang mereka lihat. "Lihat ini," katanya serius, menunjuk pada simbol-simbol aneh di beberapa titik. "Mereka tahu. Mereka sudah memperkirakan kapan dan di mana wabah ini akan menyebar. Ini bukan sekadar bencana alam."
Queensha merasakan jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. "Kalau ini semua direncanakan... berapa banyak orang yang sudah tahu, dan kenapa mereka tidak menghentikannya?" pikirnya, perutnya terasa mual. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua ini?"
Nada melangkah mundur, menyeka keringat di dahinya, dan mulai berbicara dengan nada lebih tajam. "Ini jelas eksperimen militer atau perusahaan besar yang gagal. Mereka bermain dengan sesuatu yang mereka tidak bisa kendalikan."
Queensha menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri dari rasa takut yang tiba-tiba mencengkeramnya. "Jadi... kamu pikir mereka sengaja melepaskan virus ini?"
"Lebih buruk dari itu," Nada mendekati papan, matanya menyipit tajam saat ia menunjuk pada beberapa catatan rahasia di pinggir dokumen. "Ini bukan hanya tentang virus yang bocor. Mereka sengaja menyebarkannya. Mereka tahu apa yang akan terjadi, dan sekarang mereka menutupi semuanya." Nada suaranya bergetar, penuh kemarahan yang terpendam.
"Ini lebih besar dari yang kita kira" Nada berpikir dalam-dalam, keningnya mengernyit saat mencoba menyusun potongan teka-teki ini. "Kalau benar mereka yang menyebarkan virus ini, kita bukan cuma melawan zombie. Kita melawan orang-orang yang lebih berbahaya dari itu."
Queensha menelan ludah, kedua tangannya menggenggam erat di sisi tubuhnya. "Kalau benar mereka menutupi ini... apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Nada terdiam sejenak, matanya penuh kebingungan tapi juga tekad. "Kita harus mengungkap ini. Tapi kita harus hati-hati. Kalau mereka tahu kita menemukan ini, kita juga dalam bahaya."
Tepat saat mereka merenungkan langkah selanjutnya, sebuah suara keras terdengar dari lantai bawah. Lantai di bawah kaki mereka bergetar, seolah-olah ada sesuatu yang besar bergerak di sana—mendekat.
Wajah Queensha berubah pucat, dia segera menoleh ke arah Nada, matanya melebar dengan ketakutan. "Apa itu?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Nada mengangkat tangannya memberi isyarat agar diam, wajahnya menegang saat mencoba mendengar lebih jelas. "Entah... tapi apapun itu, kita tidak bisa tinggal di sini."
Queensha merasa tubuhnya gemetar, pikirannya berpacu liar. "Apakah mereka tahu kita di sini? Apa mereka datang untuk kita?" Jantungnya berdegup semakin kencang, seolah-olah mencoba melarikan diri dari dadanya. "Aku tidak siap untuk ini... tapi aku tidak bisa lari sekarang."
Mereka saling pandang dengan tegang, tahu bahwa waktu mereka semakin menipis. Pilihan di depan mereka jelas—bertahan di sini dan menghadapi apa pun yang datang, atau mencoba melarikan diri sebelum mereka terjebak. Langkah-langkah berat itu semakin dekat, suara mengerikan yang menghentikan napas mereka.
Nada mengepalkan tinjunya dengan kuat, rahangnya mengeras. "Kita harus pergi. Sekarang."
Mereka berdua bergegas keluar dari ruangan, menyusuri lorong yang kini terasa lebih sempit dan menekan. Hati mereka berlomba dengan waktu, tak tahu apakah mereka cukup cepat untuk menghindari apa pun yang mengintai di balik kegelapan.