Dia bukannya tidak sayang sama suaminya lagi, tapi sudah muak karena merasa dipermainkan selama ini. Apalagi, dia divonis menderita penyakit mematikan hingga enggan hidup lagi. Dia bukan hanya cemburu tapi sakit hatinya lebih perih karena tuduhan keji pada ayahnya sendiri. Akhirnya, dia hanya bisa berkata pada suaminya itu "Jangan melarangku untuk bercerai darimu!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Geisya Tin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
“Deril memberimu uang? Dia murah hati sekarang?” ujar Regan tak percaya, sebab selama ini dia hanya tahu Shima melakukan segalanya seorang diri.
“Regan, apa kamu gak tahu? Sekarang Shima sudah resmi bercerai!” kata Nadisa dengan senyuman puas di wajahnya. Dia penuh kegirangan, padahal, bukan dia yang bercerai.
Suami beracun seperti Deril, memang tidak layak dipertahankan, yang hanya memberi uang setelah mereka resmi bercerai
Nadisa mengetahui perjalanan pernikahan sahabatnya itu hingga, Shima memutuskan untuk pergi dari rumah keluarga besar Deril, pun karena dukungannya.
Pada awalnya yang mencurigai perselingkuhan antara Deril dan Karina juga Nadia. Dia memergoki keduanya, beberapa kali sedang makan bersama dalam suasana yang intim. Shima lebih banyak di rumah, hingga tidak tahu kalau Karina bersikap seolah Deril adalah miliknya.
Atas pemberitaan dari Nadisa, Shima berusaha menemukan bukti, jika Karina menggunakan segala cara untuk mendapatkan Deril. Lalu, Nadisa memberikan solusi demi ketenangan sahabatnya. Lebih baik berpisah jika tidak bisa memiliki Deril seutuhnya. Sebab, Karina akan menempel terus dan menganggap apa yang dilakukannya pada Deril, wajar-wajar saja.
Mendengar ucapan Nadisa, Regan menatap Shima penuh perhatian, “Benarkah? Itu bagus,” katanya, dengan begitu dia bisa mengejar Shima tanpa hambatan dari siapa pun juga.
Tidak ada lagi yang berhak melarang jika dia mau menikah dengan sahabatnya itu. Baik Deril atau keluarganya, tidak bisa ikut campur kalau dia akan berdekatan dan berdua saja dengan Shima.
“Kalau begitu, aku punya kesempatan untuk mengejarmu, Shima, sekarang berilah aku kesempatan!”
“Tidak Regan, aku tidak bisa dekat dengan lelaki, siapa pun itu!” jawab Shima.
“Ah, itu hanya sampai empat bulan ke depan!” sahut Nadisa mengingatkan masa Iddah bagi sahabatnya.
“Oh!” gumam Regan mengerti.
Ya, itu pun kalau umurnya masih ada. Pikir Shima dalam hati.
Namun, yang membuat Shima tidak mungkin berdekatan dengan Regan adalah perjanjian yang ditandatanganinya. Tidak mungkin dia membiarkan Regan menjadi korban kemarahan Deril seandainya, mantan suaminya itu tahu, dia dekat dengan laki-laki lain.
“Ehem! Ehem! Yang sudah lama memendam cinta, udah gak sabar ya?” kata Nadisa berkelakar pada Regan.
“CK! Kamu tahu aja!” sahut Regan sambil tersenyum dan melirik Shima.
Nadisa ingin membicarakan sesuatu yang lain soal masa lalu yang pernah ada antara Shima dan Regan. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, dia menerima panggilan itu. Ternyata dari temannya semasa SMA yang termasuk akrab dengan Shima dan diienya.
Setelah selesai menelepon, Nadisa memperlihatkan pesan yang diterima nya kepada Shima.
“Apa ini? Apa kalian mau mengadakan reuni?” kata Sima setelah membaca pesan di ponsel Nadisa, dari teman mereka yang bernama Nella.
Dahulu, saat masih sekolah, mereka memiliki sebuah geng yang terdiri dari enam orang dan mereka sudah seperti saudara. Dari ke-enam orang sahabat itu, ada empat di antara mereka mengalami kebangkrutan. Nasib mereka hampir sama seperti Shima dan Nadisa. Hanya tiga temannya yang masih tetap bertahan dengan kekayaan dan kesuksesan kedua orang tuanya.
“Ya, mereka ngajak ketemuan, katanya ulang tahun Nella, apa kamu mau ikut?” tanya Nadisa dengan mata yang bersinar penuh pengharapan.
Shima tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya dia menggangguk. Sementara Nadisa tersenyum hangat, hatinya senang. Sahabatnya itu sudah lama tidak kumpul-kumpul setelah menikah dengan Deril. Sekarang waktunya bebas menikmati waktu untuk diri sendiri apalagi, Shima harus lebih banyak bersenang-senang.
Shima menghadapi sebuah penyakit yang mematikan. Menikmati waktu bersama teman-teman adalah salah satu yang terbaik. Mengingat keluarganya juga bisa dikatakan tidak ada. Tidak ada juga suami yang mengekangnya untuk tetap di rumah dan menahan diri.
“Regan, apa kamu mau ikut?” tanya Nadisa mengingat mereka juga adalah teman satu SMA.
“Sepertinya aku gak bisa, karena aku juga ada rapat hari itu ... eum ... besok, kan?”
“Yah! Sayang sekali padahal kita bisa makan siang bareng, kan?” keluh Nadisa.
“Memangnya kalian mau ketemuan di mana?” kata Regan.
“Nggak tahu, nih, Nella belum ngasih tahu di mana tempatnya!”
“Oke, kalau begitu, mudah-mudahan aku bisa datang besok, asal kamu ingatkan lagi ya sekarang aku pergi dulu!” kata Shima.
“Kamu mau ke mana?” tanya Nadisa, “apa kamu buru-buru?”
“Ya! Lagian makanan kita juga sudah habis! Aku punya urusan sebentar!”
“Biar aku antar!” kata Regan.
“Gak usah, Re! Jangan repot-repot untuk nganter aku! Lagian kamu masih punya banyak pasien, mereka lebih membutuhkan kamu daripada aku.”
“Nggak apa-apa, aku libur hari ini.”
Shima sejenak merasa heran karena setiap kali Regan ingin melakukan sesuatu untuk dirinya, pria itu selalu mengatakan kalau dia sedang libur. Dia tidak tahu pasti apakah Regan benar-benar libur atau tidak. Akan tetapi, yang jelas pria itu selalu ingin melakukan sesuatu untuk dirinya. Shima bukannya menolak kebaikan Regan, hanya saja dia merasa tidak enak, karena dokter seperti Regan pasti sibuk. Baik di tempat praktek ataupun di rumah sakit.
Tidak mungkin, kan, dia selalu repot-repot untuk wanita yang sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun dengannya.
Regan memaksa, dia sudah membukakan pintu mobil saat Shima baru berjalan ke trotoar. Nadisa tersenyum melihat tingkah mereka dan pergi setelah mengucapkan salam kepada Shima.
Regan mengantarkan Shima sampai di tempat yang diinginkan. Itu sebuah makam yang berbeda dengan makam di mana Ibu Shima di kuburkan.
“Kamu mau mengunjungi siapa di sini?” tanya Regan.
“Ada nenek dan ada juga keluarga yang baru beberapa bulan lalu meninggal dan di sini kuburannya.”
“Oh! Pergilah! Aku akan menunggumu di sini!”
“Re ...!”
“Kenapa? Gak mau? Sudah kubilang, aku gak repot! Benaran deh!”
“Bukan masalah kamu repot atau enggak! Aku mau lama di sini, dan aku gak tenang kalau ada yang nunggu! Kumohon mengertilah, Re!” Shima berkata sambil mengatupkan kedua tangannya. Dia hanya khawatir dengan dirinya sendiri. Deril akan marah jika tahu, Regan selalu mendekati.
Regan diam termangu sebentar, dia menatap keadaan sekitar yang terkesan sepi. Maklum, kan, namanya juga kuburan.
Akan tetapi ada rasa tidak nyaman meninggalkan Shima seorang diri di sana. Permintaan Shima yang memohon padanya, membuat Regan akhirnya pergi dengan rasa tak berdaya. Dalam hati dia hanya berharap, wanita itu baik-baik saja dan pulang dengan selamat.
Shima melangkah ke lokasi kuburan nenek Deril, yang ditunjukkan oleh Candra beberapa hari yang lalu. Dia berjalan dengan tenang sambil membawa rangkaian bunga yang sempat dia beli di jalan tadi.
Melangkah secara perlahan, hatinya sedikit berdebar saat melewati beberapa makam yang semuanya keluarga Pertama. Itu komplek kuburan mereka. Salah satunya ada nisan yang tertulis nama Ganiarta.
Shima mengabaikan kuburan dengan batu nisan itu, karena yang dia tuju adalah makam nenek mantan suaminya.
“Nenek, maafkan aku baru bisa mengunjunginmu sekarang!” kata Shima sambil berjongkok dan meletakkan bunganya di batu nisan.
“Waktu itu, nomor ponsel lamaku gak aktif, jadi gak ada yang ngasih tahu informasi soal kematian Nenek! Sekali lagi aku merasa bersalah! Sekarang aku cuma bisa mendoakan Nenek!” Shima terus berkata seolah orang yang ada dalam kuburan itu bisa mendengarnya bicara.
Semua orang yang meninggal akan menjadi tanah, sementara dunia mereka sangat berbeda. Shima tahu kalau mereka yang sudah dikubur itu hanya membutuhkan doa dan tidak akan membantu menyelesaikan apa yang dikeluhkan manusia. Namun, dia hanya ingin menumpahkan isi hatinya.
Dahulu, Nenek selalu baik dan memanjakannya selama tinggal bersama.
Shima menangis setelah mengadukan apa yang dia alami bersama dengan Deril. Perpisahannya, kecemburuannya, prasangka buruknya pada Karina, dan juga harapannya yang ikut gugur, bersama dengan kematian bayinya yang belum bernyawa.
Setelah puas menangis, Shima pulang dengan menggunakan taxi. Tak lupa dia mampir ke supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan makanan untuk malam nanti.
Alangkah terkejutnya Shima saat membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Ada rasa was-was yang tiba-tiba hadir. Dia yakin sudah mengunci pintu itu sebelum pergi.
Dia membuka pintu secara perlahan penuh kewaspadaan.
Selama ini tempat itu aman dan tidak pernah ada kejahatan. Bahkan, para tetangga semuanya baik padanya. Namun, sekarang dia merasakan ada sesuatu yang tidak biasa, ada sepatu laki-laki yang tergeletak di sana.
Ruang tamunya gelap, jendelanya dibiarkan tertutup dan lampunya juga tidak dinyalakan. Hanya ada samar-samar bayangan yang terlihat duduk di sofa.
“Apa kamu mau tetap di situ?” Suara seorang pria mengagetkan Shima.
aku cuma bisa 1 bab sehari😭