Di balik kehidupan mereka yang penuh bahaya dan ketegangan sebagai anggota organisasi rahasia, Alya, Alyss, Akira, dan Asahi terjebak dalam hubungan rumit yang dibalut dengan rahasia masa lalu. Alya, si kembar yang pendiam namun tajam, dan Alyss, yang ceria serta spontan, tak pernah menyangka bahwa kehidupan mereka akan berubah drastis setelah bertemu Akira dan Asahi, sepupu yang memimpin di tengah kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azky Lyss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Kesederhanaan di tengah kekacauan
Sementara Asahi dan Alya berada di ruang latihan, Akira dan Alyss memutuskan untuk mengambil waktu sejenak di luar. Mereka berjalan beriringan di jalan setapak yang menuju ke taman kecil di area belakang markas. Tidak ada yang mengatakan apa-apa pada awalnya, dan mungkin memang tidak perlu. Kadang-kadang, keheningan di antara mereka terasa lebih nyaman daripada kata-kata.
Alyss, dengan semangatnya yang biasanya meledak-ledak, tampak lebih tenang hari ini. Akira menyadari perubahan itu, meskipun dia tidak langsung menanyakannya. Sambil memasukkan tangannya ke dalam saku, Akira melirik ke arahnya.
“Kau tidak seperti biasanya,” Akira akhirnya memecah keheningan.
Alyss menoleh dengan senyum kecil di wajahnya, meskipun matanya tampak memikirkan sesuatu yang jauh di dalam pikirannya. “Hanya... merenung sedikit,” katanya ringan, lalu menendang kerikil kecil di depannya. “Semua hal yang terjadi belakangan ini—misi, organisasi, semuanya—terasa begitu cepat.”
Akira mengangguk pelan, memahami perasaannya. “Terkadang sulit menemukan momen untuk berhenti dan bernapas, ya?”
Alyss tertawa pelan, tetapi kali ini tawanya tidak semeriah biasanya. “Ya, itulah masalahnya. Rasanya kita selalu berlari, mengejar sesuatu, tapi aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kita kejar.”
Mereka terus berjalan, sampai akhirnya tiba di bangku kayu tua di dekat taman. Di sana, mereka duduk berdampingan, menikmati angin sejuk yang mengusap wajah mereka. Akira diam-diam mengamati Alyss. Dia memang selalu penuh energi, selalu ceria dan spontan, tetapi ada saat-saat seperti ini ketika ia tampak jauh lebih introspektif.
“Kau tahu, aku selalu mengagumi semangatmu,” kata Akira tiba-tiba, suaranya terdengar tulus. “Kau selalu tahu bagaimana membuat semua orang merasa lebih ringan.”
Alyss menatapnya, sedikit terkejut dengan pujian itu. “Kau bercanda, kan? Kadang aku merasa seperti beban bagi kalian.”
Akira menoleh ke arahnya, dengan ekspresi serius di wajahnya. “Jangan pernah berpikir seperti itu. Kau bagian penting dari tim, Alyss. Dan, sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana kami bisa tetap bertahan tanpa semangatmu yang selalu menyala.”
Alyss merasa pipinya memanas sedikit. Dia jarang menerima pujian dari Akira, dan mendengar kata-kata itu membuatnya sedikit canggung. Dia mengalihkan pandangannya, menatap ke depan dengan senyum kecil yang terlukis di wajahnya.
“Aku hanya... tidak ingin merepotkan kalian,” gumamnya.
Akira tersenyum, kali ini dengan lebih lembut. “Kau tidak pernah merepotkan. Jika ada yang merasa terbebani, itu mungkin aku.”
Alyss tertawa kecil, tapi ada kehangatan di balik tawanya. “Kau selalu menjadi yang paling bijak, paling tenang. Tapi jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Akira. Kau sudah melakukan lebih dari cukup untuk kami semua.”
Akira terdiam sejenak. Kata-kata Alyss menusuk langsung ke dalam dirinya. Memang, sebagai pemimpin, ia selalu merasa harus bertanggung jawab atas segalanya, selalu memikirkan langkah ke depan, memastikan semua orang aman. Tapi di momen-momen seperti ini, dia menyadari betapa ia merindukan kebebasan untuk tidak selalu harus berpikir sejauh itu.
“Kadang aku berharap aku bisa lebih seperti Asahi,” kata Akira pelan. “Hidup tanpa terlalu banyak berpikir, bertindak dengan insting. Tapi itu bukan aku.”
“Kau tak perlu jadi seperti orang lain,” jawab Alyss dengan lembut. “Kau cukup jadi dirimu sendiri, Akira. Itu sudah lebih dari cukup.”
Keheningan kembali merayap di antara mereka, tapi kali ini terasa lebih ringan. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, tetapi dengan kehangatan yang baru terasa. Akira, yang biasanya selalu memikirkan tanggung jawab dan strategi, untuk pertama kalinya merasa bisa sedikit menurunkan bebannya di hadapan Alyss. Mungkin inilah momen langka di mana mereka bisa benar-benar merasa seperti anak muda biasa, bukan bagian dari organisasi besar yang penuh tekanan.
Matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi di sekeliling mereka, dan warna langit berubah menjadi jingga keemasan. Akira melirik ke samping, melihat Alyss yang tersenyum samar, menikmati pemandangan sore itu. Ada ketenangan dalam caranya duduk, dan itu membuat Akira merasa nyaman berada di sisinya.
“Alyss,” kata Akira tiba-tiba, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Aku harap kau tahu, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu. Kita semua akan...”
Alyss menatapnya sebentar, kemudian tersenyum. Senyum itu, meskipun sederhana, menyiratkan banyak hal yang tak terucapkan. Mungkin karena mereka masih terlalu muda untuk benar-benar memahami perasaan mereka, atau mungkin karena ada hal-hal yang lebih besar yang masih harus mereka hadapi. Namun, satu hal yang jelas—di tengah kekacauan yang terus menerpa hidup mereka, ada momen-momen kecil seperti ini yang membuat segalanya terasa lebih berarti.
Mereka duduk di sana, membiarkan waktu berlalu tanpa terburu-buru. Tidak ada janji yang terucap, tidak ada perasaan yang jelas terungkap. Tapi, dalam diam, ada sesuatu yang tumbuh, sesuatu yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua.