Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4 : Tak Mau Menunggu Lagi
“Alasanku enggak menceraikan Dewi karena Dewi bisa diandalkan buat urus keluargaku. Karena andai enggak ada Dewi, kita enggak bisa leluasa senang-senang, Sayang!” ucap Prasetyo masih belum diizinkan pergi oleh ibu Retno.
Ibu Retno bahkan belum mengizinkan Prasetyo memakai pakaian. Pria yang usianya lebih muda darinya itu, masih ia jadikan sebagai penghangat ranjangnya. Sebab kini saja, ia masih memeluknya erat.
“Biar aku pulang dulu. Kalau aku enggak pulang, Dewi bisa marah. Karena kemarin-kemarin saja, Dewi sudah berani minta cerai!” yakin Prasetyo yang juga masih membalas memeluk wanita bertubuh gendut dan tak lain bosnya.
Meski ibu Retno menjalani perawatan tubuh penuh, faktor usia sekaligus pola hidup tidak bisa berbohong. Kulit ibu Retno memang putih mulus layaknya kulit bayi, tapi semua itu perlu uang yang tidaklah sedikit. Termasuk juga tubuh ibu Retno yang meski tidak sedang hamil, tetap lebih besar dari tubuh Dewi.
“Pulangnya nanti lah,” rengek ibu Retno sangat manja, kemudian mengabsen wajah maupun leher Prasetyo menggunakan bibirnya. Bibir tebal yang lima menit sekali ia poles gincu merah menyala demi membuat Prasetyo tergila-gila kepadanya. Selain itu, ia juga meninggalkan banyak bekas cupa.ng di tubuh Prasetyo.
“Nih orang, ... sudah seharian main bahkan sekarang sudah sore, masih saja belum puas? Oke, deh ... aku pancing biar uangnya keluar banyak!” batin Prasetyo yang memang tidak tulus juga kepada wanita berambut pirang dan sangat manja kepadanya itu.
“Oh iya, Sayang ... bulan ini, aku belum gajian loh. Yang mereka tahu kan, aku kerja. Masa sudah akhir bulan, aku belum gajian? Kalau tetangga kontrakan tahu, mereka bakalan makin sering sindir aku!” rengek Prasetyo.
Seperti biasa, ibu Retno akan marah-marah manja di setiap Prasetyo mengingatkan gaji yang harus dibayar.
“Giliran urusan uang, kamu enggak pernah lupa. Giliran suruh nginep semalam saja, kamu enggak mau!” rengek ibu Retno.
“Dasar janda kesepian! Tapi enggak ada salahnya sih, malam ini aku nginep saja. Toh mau pulang pun, ya enggak mungkin dikasih jatah juga sama Dewi meski Dewi selalu bikin kangen berat!” batin Prasetyo lagi yang hanya ingat jatah dari Dewi. Padahal selama ini, ia hanya menjadikan istri cantiknya itu tulang punggung.
Prasetyo bahkan tidak ingat, bahwa sang istri sangat membutuhkan kehadirannya. Selain itu, ada dua anak mereka yang juga tengah menunggunya.
Seperti rencananya, Prasetyo sengaja memastikan imbalan yang ia dapat andai dirinya mau menginap, kepada ibu Retno. Tanggung jawabnya yang begitu besar kepada keluarga besarnya, memang membuat Prasetyo kewalahan dalam mencari uang. Hingga ketika dua tahun lalu ibu Retno mendadak mengutarakan perasaannya dan tak segan langsung agresif kepada Prasetyo. Prasetyo pun sengaja membuat wanita itu makin penasaran sekaligus tergila-gila kepadanya.
Padahal saat itu, suami ibu Retno masih hidup. Hanya saja, suami ibu Retno selaku alasan ibu Retno bergelimang harta, kala itu dalam kondisi stroke. Selain itu, Prasetyo juga tahu posisi ibu Retno tak lebih dari istri muda dan konon telah menikung istri pertama dari suami ibu Retno. Selain itu Prasetyo juga tahu, bahwa dulunya, di sana ibu Retno merupakan pembantu. Akan tetapi, Prasetyo tidak peduli. Karena asal ibu Retno bisa menjadi pundi-pundi uangnya, itu sudah lebih dari cukup. Terlebih semenjak itu, pekerjaan Prasetyo hanya fokus memuaskan kebutuhan bi.rahi ibu Retno. Tentunya, bayaran yang Prasetyo terima juga jadi jauh lebih tinggi dari bayaran normalnya sebagai sopir.
“Kalau aku mau nginep, bahkan sampai beberapa hari di sini asal kamu bahagia, ... kamu mau kasih apa?” rayu Prasetyo sambil membelai mesra wajah kemudian turun ke leher bahkan dada ibu Retno. Demi membahagiakan ibu Retno, ia sengaja memijat-mijat manja, dua gunungan di dada ibu Retno yang meski besar tapi sangat kendur.
Detik itu juga, ibu Retno yang memang memiliki nafsu se.ksualitas tinggi langsung terangsang. Prasetyo tersenyum bangga karenanya. Terlebih sang bos langsung sibuk mendesah, meminta lebih dari yang tengah Prasetyo lakukan.
“Aku bakalan kasih kamu satu mobil. Kamu tinggal pilih! Apalagi kalau kamu mau menikahiku meski hanya pernikahan siri dan kita rahasiakan!” ucap ibu Retno yang sudah sibuk mendesah.
Detik itu juga Prasetyo terdiam tak percaya. Benarkah ibu Retno akan memberinya mobil bahkan lebih? Hanya dengan syarat yang sangat sederhana?
“Aku butuh bukti!” tegas Prasetyo sengaja menahan kedua tangan ibu Retno yang sudah sibuk meraba-raba bawah perutnya. Tangan kanan ibu Retno bahkan segera masuk ke celananya. Prasetyo tahu apa yang ibu Retno cari sekaligus mau.
Dengan tatapan frustrasi, ibu Retno yang merasa nyaris gil.a karena hasra.tnya tak kunjung tersalurkan, segera membuka brankas di belakangnya. Ia memberikan sebuah kunci mobil dan beberapa gepok uang kepada Prasetyo. Detik itu juga, ia langsung bisa berkuasa sekaligus memperlakukan Prasetyo dengan leluasa.
Selain langsung bahagia bukan main, Prasetyo juga menikmati apa yang ibu Retno lakukan. Apalagi biar bagaimanapun, ia sudah bukan laki-laki baik yang mampu setia kepada satu wanita bahkan itu istrinya.
“Enggak ada yang lebih indah dari ini. Biar aku hidup bahagia bersama Retno. Sementara Dewi bertugas menjadi tulang punggung keluargaku, ... biarkan Dewi menggantikan tugasku,” batin Prasetyo sungguh lupa pada kewajibannya kepada Dewi dan juga kedua anak mereka.
Sementara itu, di puskesmas, Dewi yang sudah rapi dan tampak layaknya orang sehat, masih menunggu di bangku tunggu. Suasana puskesmas sudah sangat sepi karena memang tidak sedang banyak pasien. Ditambah lagi di kebanyakan puskesmas, memang cenderung ramai di pagi hingga siang saja.
Yang membuat Dewi sangat nelangsa, tak semata karena sang suami tak kunjung datang. Sebab di bangku ia duduk, Alif sudah meringkuk tidur lelap beralas tas bonus dari pihak puskesmas karena Dewi sudah melahirkan di sana.
Hujan deras disertai angin dan petir masih berlangsung. Tukang parkir yang dari tadi memperhatikan Dewi dari tempat parkir yang beratap di sekitar puskesmas, menghampiri.
“Ibunya nunggu jemputan?” tanya bapak-bapak tukang parkir yang menghampiri Dewi.
“Pak, boleh minta tolong? Tolong teleponkan bos saya. Puskesmas ini ada telepon, kan?” ucap Dewi.
Dewi merasa sangat marah dan tak mau menunggu suaminya lagi. Andai suaminya mau datang menjemputnya, ia akan membuat Prasetyo melakukannya ke rumah bosnya. Bos yang juga sudah seperti orang tua Dewi sendiri dan beberapa kali kerap menegur Prasetyo.
Tak ada lima belas menit, bos Dewi datang. Menggunakan mobil kijang tua, sepasang pasutri berbondong-bondong turun memakai payung.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, si Pras mati apa sudah ke alam baka? Dari siang sampai malam, belum jemput juga!” ucap umi Aminah. Wanita berkerudung lebar itu segera mengambil bayi perempuan Dewi.
Sementara Alif yang akan langsung Dewi gendong, sudah langsung diambil alih oleh pak Mahmud dan tak lain suami umi Aminah.
“Kamu baru lahiran, jangan angkat berat-berat dulu!” ucap pak Mahmud.
Dewi hanya menenteng kantong keresek berisi pakaian kotor miliknya dan Alif, selain satu kantong berisi keperluan mereka.
“Tega kamu Mas! Padahal baru dua hari lalu kamu menolak permintaan ceraiku. Kamu janji, kamu akan berubah! Kamu janji akan kasih kebahagiaan ke aku dan anak-anak!” batin Dewi sambil duduk di sebelah ibu Aminah.
Alif yang akhirnya bangun, duduk di tempat duduk sebelah pak Mahmud menyetir. Pak Mahmud menyetir sendiri karena kini memang sudah malam.
saat itu jamannya.....
semuanya pada sakit......