Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pekerjaan Baru
"Yudis? Ngapain kamu ada di sini? K-Kamu ngikutin aku sampai ke sini?" tanya Hana tergagap-gagap.
"Jawab dulu pertanyaanku! Kamu habis ngapain sama Anwar di dalam? Apa kamu mau coba-coba mendekati dia? Katakan!" cecar Yudis, mulai gusar.
"A-Aku cuma mau jenguk dia doang, kok. Nggak ngapa-ngapain," terang Hana, menegaskan.
"Ck. Kamu nggak usah berdalih, deh. Pasti kamu diam-diam jadian sama dia di sana, kan?" tuntut Yudis menatap nyalang.
Hana mengembuskan napas berat sembari berkacak pinggang. Ditatapnya lagi Yudis dengan lesu, seraya berkata, "Astaga! Sumpah demi Tuhan, Yudis, aku nggak ngapa-ngapain sama Anwar! Harus dengan cara apa lagi aku meyakinkan kamu, kalau omongan aku aja nggak dipercaya? Lagipula, ngapain kamu posesif gitu? Kamu tuh bukan siapa-siapa buat aku. Jangankan pacar, teman pun bukan."
"Begitu, ya? Jadi, kamu nggak menganggap aku siapa-siapa dalam hidup kamu? Oke. Kalau gitu aku bakal menghabisi Anwar sekarang juga," sungut Yudis, sembari bergegas masuk ke rutan.
"Tunggu, Yudis! Jangan masuk ke sana!" tegur Hana berlari menghampiri Yudis, lalu menggenggam erat lengannya.
Yudis pun menoleh, menatap Hana dengan sorot mata penuh amarah. "Apa? Semakin kamu cegah, maka aku akan nekat masuk ke rutan. Akan aku hajar Anwar sampai babak belur."
Hana menggenggam lengan Yudis lebih erat dan menariknya lebih dekat. "Ayolah, Yudis! Kamu baru saja bebas. Yang benar saja, kamu masuk penjara lagi cuma gara-gara bikin ulah sama Anwar? Bagaimanapun juga Anwar itu teman kamu."
Yudis mendengus sebal, kemudian berbalik badan menghadap Hana. Gadis itu segera melepaskan genggamannya dari lengan Yudis, sembari tertunduk mundur perlahan-lahan, berusaha menghindar.
"Kenapa kamu begitu peduli, Hana? Bukannya kamu akan lebih senang jika aku ditahan polisi?" ketus Yudis melangkah mendekati Hana.
"B-Bukan gitu. A-Aku cuma nggak mau ada keributan. Itu aja," bantah Hana, sambil melangkah mundur dan membuang muka.
Yudis yang tak puas mendengar jawaban Hana, seketika mencengkram kedua lengan atas gadis itu. Sontak, Hana pun terkesiap oleh tindakan Yudis yang tiba-tiba. Dadanya berdebar-debar, diliputi ketakutan yang kian mencekiknya.
"Tatap aku, Hana. Apa kamu mencegah aku karena peduli atau sekadar nggak mau ada keributan?" tanya Yudis, menatap wajah Hana lekat-lekat.
Dengan gugup, Hana mendongak menatap pemuda di hadapannya. Perasaannya tidak karuan, deru napasnya seakan memburu. Tatapan sepasang mata pemburu di balik kacamata itu seakan menusuk dada Hana dan memaksa jantungnya agar berhenti berdetak.
Perlahan, cengkraman Yudis di lengan Hana melonggar. Tangan lelaki itu berpindah ke wajah Hana. Yudis mulai merunduk dan mendekatkan kepalanya ke wajah manis gadis di hadapannya.
"Aku tau, kamu punya sedikit cinta buat aku, walaupun terus berusaha menolak aku. Mata kamu sudah cukup menjelaskan segalanya, Hana," bisik Yudis menatap kedua mata Hana.
Sekujur tubuh Hana membeku tatkala Yudis semakin mendekat. Ia memejamkan mata, merasakan embusan napas pemuda itu tepat di hidungnya.
Namun, belum sempat Yudis mengecup bibir Hana, suara klakson motor membuyarkan suasana. Yudis segera berdiri tegap, mendapati seorang pemotor sedang menatap nyalang ke arahnya dan Hana.
"Kalau mau cipokan jangan di sini! Gila lu!" sungut pemotor pria yang hendak memasuki rutan.
Dirasa mendapat kesempatan, Hana secepatnya berlari dari depan rutan. Kendati perasaannya masih tak karuan, melarikan diri dari Yudis merupakan keputusan tepat baginya. Bagaimanapun juga, ia tak akan pernah lupa pesan ibunya. Menjaga harga diri sampai menemukan jodoh yang tepat, merupakan hal penting untuk tetap dijaga.
Sementara itu, Yudis dengan sungkan meminta maaf pada pemotor. Ia menyesal karena sudah mengganggu pemandangan pria yang hendak masuk ke rutan itu.
Selepas pria itu masuk ke rutan, Yudis memandang jauh ke arah Hana berlari. Tampak gadis itu memasuki angkutan umum, meninggalkannya sendirian di sana. Pria itu tersenyum sambil menggeleng pelan.
"Hampir saja," desis Yudis, sambil nyengir, membayangkan kembali momen romantis bersama Hana beberapa menit lalu.
***
Tanpa perlu menunggu berganti hari, Hana langsung mencari alamat Bu Laras yang diberikan oleh Anwar. Awalnya, ia tercengang memasuki kawasan real estate yang diyakini terdapat kediaman bos parfum itu. Akan tetapi, setelah mengingat lagi tentang koneksi wanita itu dengan keluarga keempat pelaku pembunuhan Alin, ia pun tak perlu merasa heran lagi.
Cukup jauh ia berjalan memasuki kawasan real estate itu, mencari nomor rumah yang sama seperti tercantum di kertas. Hingga saat berdiri di depan nomor rumah yang dituju, Hana terdiam sejenak memandangi rumah yang begitu megah dan luas di hadapannya.
"Ini beneran alamat rumah yang dikasih Anwar, kan? Apa nggak salah, ya? Rumah bos parfum aja sebagus ini, apalagi rumahnya Yudis," gumamnya terkagum-kagum. Namun, seketika ia segera terhenyak setelah menyadari sudah menyebut nama pemuda yang hendak menciumnya di rutan.
Di tengah rasa kagum, terdengar suara deru motor berhenti di dekat Hana. Tampak seorang pemuda mengenakan jaket jins dan celana abu-abu sedang melepas helm. Ia lekas turun dari motor, lalu menghampiri Hana sambil mengembangkan senyum di bibirnya.
"Kakak mau nyari siapa, ya?" tanya pemuda rupawan bermata sayu dengan rambut bergelombang itu.
"Saya mau ketemu sama Bu Laras. Kebetulan, saya lagi nyari kerja. Barangkali Bu Laras berkenan mempekerjakan saya sebagai asisten rumah tangga," jelas Hana.
"Oh." Lelaki itu mengangguk, lalu mengulurkan tangan pada Hana seraya berkata, "Kenalin, gue Demian, anaknya Bu Laras."
Dengan senang hati, Hana menyalami Demian seraya berkata, "Hana."
"Oya, Kak Hana. Kita masuk, yuk! Kali aja Mama ada di dalam. Kebetulan, asisten rumah tangga di rumah kami udah mengundurkan diri tiga hari lalu. Mudah-mudahan Mama setuju buat mempekerjakan Kak Hana," tutur Demian, sembari berjalan membukakan pintu gerbang.
Hana dengan sungkan memasuki pekarangan rumah itu. Matanya tak berhenti terkesima memandang kediaman Bu Laras.
Demian mengajak Hana masuk ke rumahnya. Gadis itu menaiki satu per satu tangga menuju teras rumah, lalu mengucapkan salam tatkala masuk ke ruang tamu. Ia menyapukan pandangan ke sekitarnya. Tampak potret bahagia keluarga kecil yang terdiri dari Bu Laras, suaminya, serta Demian kecil yang menggemaskan.
Tak lama kemudian, seorang wanita berambut pendek dan ikal datang menghampiri Hana. Wajah wanita berusia empat puluhan yang lembut dan ramah itu, membuat Hana merasa semakin segan oleh kehadirannya. Hana pun berdiri dari sofa, menyambut Bu Laras.
"Bu Laras, ya?" tanya Hana, sembari mengulurkan tangan.
Bu Laras menyambut jabatan tangan Hana. "Ya, dengan saya sendiri. Kamu siapa?"
"Saya Hana. Saya sedang butuh pekerjaan, Bu," terang Hana, lalu melepaskan jabatan tangannya dari Bu Laras.
"Oh. Silakan duduk," ucap Bu Laras.
"Iya, Bu," sahut Hana, sembari duduk kembali di sofa, berhadapan dengan Bu Laras.
"Kamu tau dari mana rumah saya? Apa ada orang yang merekomendasikan pekerjaan sama kamu?" tanya Bu Laras.
"Saya temannya Anwar. Kebetulan saat menjenguk Anwar tadi, saya dikasih tau kalau Ibu lagi butuh asisten rumah tangga," jelas Hana, tanpa ragu.
"Oh, temannya Anwar. Iya, saya kenal. Anwar anak sulungnya Sahar Muzakir, kan, ya?"
"Iya," jawab Hana singkat.
"Kalau begitu, kamu mulai besok boleh kerja di sini. Saya akan menyiapkan kamar buat kamu di dekat dapur dulu. Saya harap, kamu betah kerja di sini," jelas Bu Laras.
Tercengang Hana mendengar penuturan Bu Laras. Ia tak menyangka, akan semudah ini mendapatkan pekerjaan sekaligus melancarkan rencana memperoleh informasi untuk membebaskan Anwar dan meraih keadilan buat Alin. Hatinya tak berhenti bergumam, Alhamdulillah, Ya Allah! Engkau sudah memberi aku kemudahan dalam menjalankan rencana baik ini. Bismillah, mudah-mudahan rencana awal ini berhasil. Dengan begitu, aku nggak perlu lagi dekat-dekat Yudis buat membantu Alin mendapat keadilan.