NovelToon NovelToon
Mengapa, Harus Aku?

Mengapa, Harus Aku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:258
Nilai: 5
Nama Author: Erni Handayani

Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.

Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.

Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Jiwamu tangguh, hingga kau memilih diam. Meski dalam diammu tersayat luka begitu dalam.

Aku beruntung mengenalmu begitu dekat. Walau nanti jika bertemu kita bagai dua orang yang tak pernah saling mengenal.

Alisha, kepergianmu di hari pernikahanku menegaskan betapa panahku menciptakan luka yang tak terhingga sakitnya. Aku harap masih tersisa maaf untukku darimu.

Separuh hatiku akan tetap milikmu, meski aku tak memiliki ragamu. Walau nanti kita bagai orang asing. Jika kamu mampu berkorban demi Aisha maka aku akan berkorban demi kamu.

Lukamu memang tak berdarah tetapi menusuk tepat di ulu hatimu. Jangan tanyakan padaku tentang perasaanku saat ini, karena aku pun tak bisa menggambarkan betapa bodohnya aku. Semoga kamu tetap bahagia!

Apak kabar Alisha ku? Hanya dalam diam aku bisa memanggilmu Neng Alisha. Maafkan aku yang melukis luka teramat dalam untukmu. Azam Al Ghani.

Aku menangis tergugu lembaran kertas itu basah terkena air mataku. Tidak ada yang bersalah, takdir yang tidak berpihak pada kita. Air mata semakin bercucuran, bukan hanya aku yang terluka tapi kamu juga. Tangisku tak dapat ku hentikan. Untung Mba Sinta telah pindah kamar jadi tidak ada yang melihat tangisku saat ini.

Dadaku terasa sesak, karena tangis yang hebat. Kepala sampai terasa nyeri. Cukup kali ini terakhir aku menangis, semua akan sia-sia jika aku lemah.

Aku menghapus sisa-sisa air mata, jam menunjukan pukul 23:30. Aku berniat mengambil wudu untuk melakukan salat sunat, agar hati ini tenang.

Mulai detik ini aku harus menghapus setiap jengkal tentang Azam, meski aku tak tahu bagaimana caranya. Aku hanya masa lalu, ada Aisha yang menjadi masa depan Azam. Aku harus menjaga semua hati sampai waktuku terhenti.

Aku terbangun pukul 03:00 dini hari, kepala sedikit terasa berat. Ternyata aku tertidur masih mengenakan mukena. Bergegas aku mengambil wudu guna menjalankan salat tahajud. Dinginnya air langsung menyergap kulitku, rasa segar menjalar ke seluruh tubuh.

Dengan khusyuk aku menjalankan ibadah salat tahajud. Tiada henti aku memohon kepada Allah untuk lebih memberiku kekuatan. Tak lupa ku sebut Aisha juga Azam agar senantiasa bahagia.

Rasa haus mengusik tenggorokanku, air minum yang aku siapkan telah habis. Efek dari terlalu lama menangis membuat aku merasa haus, dengan malas aku berjalan ke dapur. Memakai jilbab instan untuk jaga-jaga jika ada yang sudah bangun terutama Azam.

Ketika melewati kamar Aisha juga Azam, yang bersebelahan dengan kamarku. Samar-samar aku mendengar pembicaraan mereka tanpa sengaja. Di sela-sela pintu yang sedikit terbuka. sepertinya mereka juga baru selesai melakukan salat tahajud.

"Mas masih negatif! maafin adek!" samar-samar suara Aisha terdengar di antara kesunyian malam.

"Nggak apa, Dik! Belum rizki kita." terdengar Azam menjawab perkataan Aisha yang tampak putus asa.

Ada rasa nyeri yang langsung menusuk ulu hatiku, apalagi ini Robb? Mengapa aku mendengar percakapan mereka? Aku lekas memacu langkahku untuk menuju dapur. Belum genap tiga langkah ucapan Aisha kembali terdengar.

"Kamu ngga akan poligami kan, Mas? Aku takut di madu!"

Deg, perkataan Aisha langsung mematikan langkahku. Seluruh sendi seakan berhenti, darah pun tal mengalir ke tubuhku. Allah, mengapa aku bisa buta. Aisha teramat mencintai Azam, tidak terbayang apa yang terjadi jika aku dulu egois mengatakan yang sebenarnya.

Langkah yang aku ambil ternyata tepat, aku bisa menerima kenyataan tetapi, sulit untuk Aisha. Rasa hausku mendadak hilang, aku memutar balik badan dan berlari menuju kamar lagi.

Aku menatap surat dari Azam yang masih tergeletak di lantai. Aku memungutnya, dengan cepat aku memasukan surat itu ke dalam laci lalu menguncinya rapat-rapat.

Aku ingin buta saja Allah, agar aku tidak melihat sedikitpun kesedihan di mata Aisha. Atau tuliskan telingaku agar tak mendengar suara kesakitannya. "Aku telah ikhlas ya Allah, berikan apa yang Aisha minta," lirihku.

Suara azan subuh membangunkan aku, ternyata aku terlelap lagi. Buru-buru mengambil wudu, tidak mungkin aku tidak ikut jamaah tidak mungkin aku ke masjid dengan keadaan mata sembab.

Usai salat aku menyempatkan untuk mengaji sebentar. Hati sedikit tenang, meski perkataan Aisha masih terngiang dengan jelas di telinga.

Setelah selesai mengaji aku memutuskan untuk segera mand, pagi ini aku berencana untuk ke toko buku. Mencari buku refensi untuk mengajar sastra dan menepi sejenak dari pikiran Aisha juga Azam yang selalu memenuhi isi kepala.

Mata terlihat sembab dengan kantung mata yang tidak terlukis jelas. Berkali-kali aku membubuhkan bedak untuk menyamarkan kantung mata.

Cukup lama aku mematut diri di depan cermin, tak lupa mengoleskan sedikit lipstik agar tidak terlihat seperti mayat hidup.

"Mau kemana, Nak?" tanya Ayah yang tengah menikmati teh di teras saat aku melintas akan ke luar rumah.

"Mau ke toko buku, Yah! Cari referensi untuk materi nanti,"jawabku.

"Nggak sarapan dulu,Nak? Kamu juga kurusan sekarang!" tanya Ayah lagi. Aku memang mengalami penurunan berat badan sejak dua bulan terakhir. Tinggi 150 cm, berat badan 40 kg membuat aku seperti mayat berjalan. Napsu makan juga mengurang di tambah kini tinggal di Darul Arkom.

"Alisha cari sarapan di luar saja, Yah! Keburu siang nanti jalanan macet!" kilahku. Setelah membaca surat dari Azam juga apa yang aku dengar semalam membuat aku harus mengambil jarak lebih jauh lagi. Memilih menghindar dari sarapan pagi karena aku tak sanggup melihat mereka berdua.

"Jangan sering jajan di luar nggak bagus, Nak!" ucap Abah lagi. Aku hanya mengangguk sebagai tanda menurut.

"Iya udah Alisha jalan dulu, Yah! Tadi sudah minta Kang Herman untuk mengantar Alisha!" pamitku pada Ayah.

"Kak Alisha mau kemana?"

Suara lembut Aisha menghentikan langkah kaki. Aku memutar badan. Tampak Azam juga Aisha tampak rapi, mungkin mereka ada keperluan di luar.

"Ke toko buku, Aisha. Kamu sendiri tumben udah rapi?" tanyaku balik.

"Ada keperluan di luar, kak! Bareng aku dan Mas Azam saja, kak!" ujar Aisha.

Aku melirik Azam yang berdiri di samping istrinya. Bareng Aisha juga Azam? Tidak, itu tidak mungkin. Sulit untuk aku melupakan semuanya jika terus tercipta kebersamaan. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.

"Kakak di antar Kang Herman, Aisha. Belum tentu tujuan kita searah!" jawabku menolak ajakan Aisha.

"Maaf Neng, Umi Zulfa mendadak minta di jemput!"

Tiba-tiba Kang Herman datang membawa kabar tidak mengenakan. Umi Zulfa, kakak Ayah yang tinggal di lain kecamatan itu selalu mendadak jika berkunjung. Terpaksa aku mengalah. Aku tahu persis Umi Zulfa, untuk mencari aman aku memilih untuk naik ojeg online saja.

1
Afu Afu
jangan bucin alisha,buka hati buat yg lain percm menghro Azam istri nya jg SDH hmil apa yg mau km hrapkan ,plis deh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!