Akibat kenakalan dari Raya dan selalu berbuat onar saat masih sekolah membuat kedua orangtuanya memasukkan Raya ke ponpes. setelah lulus sekolah.
Tiba disana, bukannya jadi santri seperti pada umumnya malah dijadikan istri kedua secara dadakan. Hal itu membuat orangtua Raya marah. Lalu apakah Raya benar-benar memilih atau menolak tawaran seperti orangtuanya?
Tingkah laku Raya yang bikin elus dada membuat Arsyad harus memiliki stok kesabaran yang banyak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pinkberryss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belajar mengaji
Sore tadi Raya ikut Bu Sofiyah untuk memasak, tidak banyak tapi membuatnya lelah. Maklum Raya termasuk remaja jompo yang apa-apa ngeluh capek. Padahal tingkahnya banyak sekali, tapi tidak pernah ngerasa capek.
Setelah sholat berjamaah kini mereka sedang makan malam di meja makan. Mereka mencoba mencicipi sayur yang dimasak oleh Raya sendiri tanpa bantuan Bu Sofiyah, maksudnya bumbu-bumbunya, Bu Sofiyah hanya membantu mengaduk.
huek
Arsyad membuang sayur yang baru saja masuk dalam mulutnya.
"Loh kenapa?"
"Sangat asin,"
"Eh nggak ya enak aja!" protes Raya pada Arsyad.
"Kalau begitu kamu coba aja sendiri,"
Raya mulai mencoba sayur sawi, dan ternyata benar rasanya sangatlah aneh. Terlalu banyak garam. Mata Raya berair, dia mau menangis karena tidak ada yang memakan masakannya.
Pak Umar memandangi anaknya, memberi kode Arsyad untuk tetap memakan sayur itu. Bu sofiyah mengelus lengan Raya agar tak jadi menangis.
"Daripada mubazir biar saya habiskan," ucap Arsyad dengan nada datar namun muka yang tak bisa ditebak.
'Aku harus tahan. Setidaknya dicampur nasi yang banyak agar rasa asin bisa memudar' batin Arsyad.
"Huaaa...." tiba-tiba Raya menangis membuat mereka yang dimeja makan menatapnya.
"Kenapa nak?" Bu Sofiyah gegas menenangkan Raya.
"Pokoknya masakan Raya harus habis! Jangan ada yang tersisa, kan namanya juga belajar, emang kalo rasanya asin nggak boleh?"
"Boleh nak, umi dulu juga pernah masak gosong, bahkan kopi yang harusnya ada rasa manis jadi pahit banget karena lupa nggak ditambah gula," kata pak Umar.
"Sudah nak. Kamu habiskan ya makannya," Raya menggeleng nafsu makannya hilang begitu saja.
"Mau lauk yang mana? Biar umi ambilkan,"
"Jangan umi, Raya udah nggak nafsu lagi,"
'Astaghfirullah, padahal sudah ku makan sayur masakannya kenapa malah masih merajuk begini' Arsyad tetap memakan sampai habis tanpa sisa.
"Oh iya nak nanti belajar mengaji ya sama Arsyad. Di mushola saja setelah selesai sholat isya. Atau kalau mau di ruang tamu juga nggak papa," mendengar kata belajar mengaji membuat Raya tersedak air liurnya sendiri. Oh tidak, seorang Raya akan mengaji padahal dia tak pernah lancar bahkan masih iqro pun rasanya masih mengulang-ulang.
"Yang bener aja umi?"
"Ehem. Nanti saya tunggu di mushola. Saya pamit dulu mau persiapan sholat isya,"
"Iya nak."
Raya hanya pasrah walaupun nanti entah lama atau sebentar waktunya. Dia melanjutkan makannya kembali karena perutnya masih lapar.
Duh Raya kalau emang lapar ya dimakan saja, nggak usah segala mogok makan perkara sayurnya nggak ada yang makan.
Setelah itu dia ikut lagi sholat berjamaah bersama Bu Sofiyah, karena sebelumnya dia malas tapi bukan malah sholat, hanya malas berjamaah jadi dia sholat sendiri dalam kamar.
"Huft gue abis ini mau ngaji, paling males banget sebenarnya tapi mau gimana lagi ntar yang ada malah dihukum kalo nggak nurut sama Gus"
"Mana sih udah gue tungguin juga masih aja belum nongol. Mana sendirian disini."
Raya menunggu di mushola putri, sudah hampir sepuluh menitan tapi Arsyad belum juga datang. Dia hampir saja ingin mengobrak abrik isi mushola jika yang ngajar belum kesini.
"Ya ampun Gus! Gue tungguin lama amat nggak tepat waktu banget, harus dihukum nih modelan kayak gini. Jangan mentang-mentang seorang Gus ya, eh maksud gue pengajar jadi bisa seenaknya datang kapan saja, kalo murid aja dihukum semisal melanggar. Heran gue sama elo!"
Baru juga Arsyad datang belum mengucap sepatah kata apapun namun sudah didahului oleh Raya.
Sabar Gus Arsyad, sabar menghadapi calon istri.
"Maaf saya tadi habis dari kamar mandi jadi agak lama. Yasudah kita mulai," dia kemudian membuka sebuah buku iqro dan meletakkannya diatas meja kecil, pemisah antara dia dan Raya.
"Yang bener aja gue dikasih buku bocil,"
"Emang kamu sudah lancar baca Qur'an?"
'Buset nge remeh in banget sih dia, mentang-mentang sudah lancar selancar jalan tol'
"Gus jangan mentang-mentang ente lancar ya bacanya, jangan mentang-mentang juga Hafidz Qur'an jadi seolah-olah rendah in orang lain kayak gue misalnya,"
"Siapa yang begitu Raya, saya ini mau mengajarkanmu secara perlahan, sekarang ayo baca basmalah dulu."
Kalau sudah begini Raya bisa apa coba. Untung saja bab awalan dia lancar karena memang semudah itu, hanya saja pelafalan tiap huruf Hijaiyah nya ada yang kurang jelas dan kurang tepat.
ehem
"Ademnya lihat calon pengantin sedang mengaji bersama," tiba-tiba Malik datang, dia memang mau ke kelas Diniyah namun karena tak sengaja melihat Arsyad bersama Raya akhirnya dia goda sedikit.
"Mas Malik? Mau ngajar kan, yasudah bisa lanjut ke kelas," Arsyad menyuruh kakanya untuk pergi meninggalkan mereka supaya suasana tidaklah canggung.
"Ya ampun santai dulu dong, gimana Ray rasanya diajari ngaji sama calon suami?" Raya memandangi Malik dengan ekspresi kesal. Bagaimana tidak, suasana yang tadinya cukup membuatnya konsen malah menjadi buyar apalagi di goda begini.
"Besok Gus Malik free nggak malamnya?"
"Kenapa memangnya?"
"Mau jadi guru ngaji Raya nggak Gus? Atau Ning Inayah deh,"
Tawa Malik pecah, agaknya memang Raya sengaja bicara begitu padanya karena dari tadi Malik mengintip dari jauh bagaimana cara Arsyad mengajar.
Raya banyak salahnya jadi berapa kali dia mengulang kembali. Malik pun berhenti dari tawanya kamu menatap mereka berdua secara bergantian.
"Syad, ajari dengan baik dan pelan-pelan saja. Kalau salah jangan dengan nada tinggi," Arsyad tidak terima kalau dikatai jika ia membentak atau bicara nada tinggi adalah salah besar.
"Tidak mas bukan begitu, hanya saja—"
"Hanya saja Raya banyak salahnya? Wajar saja kan baru belajar lagi setelah lama tidak mengaji," Raya mengangguk setuju kali ini dia merasa menang karena ada yang membelanya.
"Dengerin Gus kalau gini ogah gue ngaji lagi!" Saat mau Raya bangkit dari duduknya, ia ditahan oleh Arsyad yang tiba-tiba menggenggam tangannya membuat Raya salah tingkah.
"Duduk dulu, belum selesai,"
"Yasudah kalau begitu, lanjutkan belajar ngajinya," Malik balik untuk mengajar para santri malam ini.
"Apa-apaan sih gus! Lepasin dong tangan gue. Betah bener dipegang," sontak saja Arsyad menarik kembali tangannya yang berada di tangan Raya.
"Siapa juga yang betah, tangan kayak kamu kayaknya nggak pernah pegang apapun ya?" dahi Raya mengernyit.
"Maksud saya biasanya kalau tangan lembut dan halus kan jarang mengurus rumah seperti mencuci piring, menyapu, mencuci atau yang lainnya,"
"Oh hellow seorang Raya princess nya papa Burhan yang paling ganteng dan mama Diana yang paling cantik. Nggak mungkin dong gue ngelakuin itu Gus! Kan rumah gue gede dan butuh pembantu juga. Lagian meskipun ada orang yang suka bersihin seisi rumah, kerjain semuanya nggak perawatan? Setidaknya pakai lotion," jelas Raya panjang lebar membuat Arsyad terdiam. Benar juga kalau misal ada orang yang begitu sudah pasti bisa pakai lotion biar tidak kering.
"Yasudah lanjut ngajinya, berhenti dimana tadi?" Akhirnya Raya dengan berat hati menuruti untuk tetap mengaji walaupun iqro.
Semangat Raya, kalau sudah begini nantinya bisa tuh jadi Qoriah. Tapi bertahap dong ya, yang penting bisa dan lancar tidak harus jadi Qoriah.
Btw guys gimana bab ini? Ada kurangnya nggak? Author selalu menunggu kalian para pembaca supaya makin semangat buat nulis.