Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
kekacauan di restoran itu masih terus berlangsung, Elina hanya diam tak mampu membela diri.merasa diri bukanlah siapa siapa dan bukan tandingan dua orang di hadapannya itu. Clara maju beberapa langkah lalu mendorong Elina yang masih terdiam seribu bahasa menunduk dengan ketakutannya.
Clara berjongkok menarik segenggam rambut Elina lalu membisikkan sesuatu, sebuah ancaman menakutkan bagi Elina.
"oh kau kasihan sekali. kau pikir dengan tampang seperti ini bisa menarik perhatian Axel? Lucu sekali. Tetaplah di tempatmu dan jangan sampai kau melupakan tempatmu" terdengar halus namun sangat mematikan bagi siapa saja yang mendengar kalimat itu.
Clara bangkit namun kaki kanannya dengan sengaja menginjak tangan Elina membuat Elina meringis kesakitan. menahan air matanya.
"nyonya tolong lepaskan saya"
"tidak akan. kau harus membayar rasa sakit ini pada apa yang kau lakukan waktu itu"Clara menarik Elina ketengah restoran dan mempermalukannya didepan para pengunjung.
"kalian lihat.dia yang di hadapan kalian ini adalah wanita murahan. dia menjual tubuhnya hanya untuk menarik perhatian pria pria kaya" kata Clara dengan amarah memuncak, merasa dialah yang paling tersakiti.
Elina hanya bisa menunduk tanpa melakukan perlawanan sedikitpun, ia pasrah dengan keadaan nya saat ini. toh dia juga hanya seorang pelayan rendahan dan tidak mempunyai kekuatan apa apa.
Elizabeth mendekat ke arah clara untuk menyudahi pertengkaran ini, ada sedikit rasa iba melihat Elina yang dipermalukan seperti itu.
"Clara, sudahlah ayo kita pulang" ajak Elizabeth. membuat clara terdiam dari ocehannya.
ia pun mengangguk. lalu mendekati Elina kembali.
"ini baru permulaan, ingat akan ada yang lebih menyakitkan setelah ini" bisiknya. lalu pergi meninggalkan Elina.
.
.
Waktu kerjanya telah usai Elina keluar dari restoran, langkahnya gontai. air mata yang ia tahan berjam jam kini mengalir deras membasahi pipinya. Ia pun tak langsung pulang. Hati yang hancur dan pikiran yang kacau tak mampu membawa langkah kakinya untuk kembali kerumah, Elina tak ingin Sophia merasa khawatir dengan keadaannya sekarang ini. biarlah ia yang menanggung nya sendiri.
Elina berjalan tanpa tujuan, kakinya membawa dirinya ke sebuah taman kota yang tak jauh dari restoran tempatnya bekerja. Taman itu sunyi, hanya terdengar gemericik dedaunan dan nyanyian serangga. ia duduk di sebuah bangku taman dan punggung nya bersandar di batang pohon yang kokoh.
Dinginnya malam terasa menusuk kulitnya, namun dinginnya itu tak sebanding dengan dinginnya kenyataan. ucapan Clara masih terngiang ngiang di telinganya.
"dasar wanita murahan"
Elina memejamkan matanya. ia menarik napas dalam dan berusaha menenangkan diri.
ia hanya bisa pasrah, menerima kenyataan yang menimpanya. tak tau kejadian apa yang akan menimpanya dimasa depan namun ia berharap suatu saat nanti ia bisa menemukan kebahagiaan dan kedamaian.
Lama Elina duduk di bangku taman, hingga langit mulai menunjukkan warna-warna senja yang memudar. Dinginnya malam semakin terasa menusuk tulang. Ia menggigil, namun tak bergeming dari tempat duduknya. Pikirannya masih melayang-layang, antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang tak menentu.
Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul di hadapannya. Ia mendongak.melihat Ryan, pemilik restoran tempatnya bekerja, berdiri di depannya. Ryan terlihat khawatir, wajahnya menunjukkan keprihatinan yang tulus.
"Elina" sapa Ryan, suaranya lembut. Ia duduk di samping Elina, menjaga jarak yang cukup untuk menghormati kesedihan Elina.
Elina hanya diam, tak mampu membalas sapaan Ryan. Air matanya masih mengalir, membasahi pipinya.
"Malam semakin dingin. Kau akan kedinginan," katanya.Ryan mengulurkan sebuah jaket.
Elina menerima nya tanpa sepatah kata pun. Ia mengenakan jaket itu, merasakan kehangatan yang sedikit meredakan dinginnya tubuh dan hatinya.
"Aku tahu kau sedang sedih" kata Ryan, suaranya penuh empati.
"Aku melihat semuanya yang terjadi di restoran tadi, maaf aku tidak bisa membantumu. ada hal penting yang harus aku selesaikan" ucap Ryan merasa bersalah.
Elina kembali terdiam, air matanya kembali mengalir deras. Ia tak mampu berkata-kata. rasa malu dan sakit hati masih begitu kuat.
Ryan menaruh tangannya di bahu Elina, sentuhannya lembut dan penuh pengertian.
"Jangan terlalu memikirkan kata-kata Clara. Dia salah, dan kau tidak bersalah"ucap Ryan
Elina menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku merasa sangat bodoh, Pak Ryan. Aku telah dipermalukan di tempat ku bekerja"
"Kau tidak bodoh. Kau adalah gadis yang baik dan pekerja keras. Jangan biarkan kejadian ini menghancurkan mu" ucap Ryan dengan tersenyum simpul.
Elina menatap Ryan dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa sedikit lega mendengar kata-kata Ryan. Ia merasa ada secercah harapan di tengah kesedihannya.
"Terima kasih, Pak Ryan," bisik Elina, suaranya terbata-bata.
"Tidak perlu berterima kasih, Elina. Aku hanya ingin membantumu." Ia diam sejenak, lalu melanjutkan.
"Mungkin... kita bisa bicara lebih banyak nanti? Di tempat yang lebih nyaman? dan satu lagi panggil saja aku Ryan"
Elina mengangguk pelan. Ia merasa butuh seseorang untuk didengarkan, seseorang yang bisa mengerti perasaannya. Ryan, dengan kebaikan dan perhatiannya, telah memberikannya sedikit harapan di tengah keterpurukannya. Ia merasa masih ada yang peduli padanya.
setelah merasa tenang Elina meminta Ryan untuk mengantarnya pulang. ia ingin segera membaringkan badannya di kasurnya yang empuk. rasa lelah yang menguras seluruh tubuhnya bahkan juga pikirannya.
Sesampainya dikontrakan Elina mengucapkan terima kasih pada Ryan lalu ia membalas dengan senyuman. Ia akan sabar menunggu jawaban Elina untuk menerima cintanya.
Kejadian di restoran masih menghantuinya, namun ia berusaha menenangkan diri, berharap menemukan sedikit kedamaian di rumah. Namun, takdir tampaknya masih ingin mengujinya.
Begitu membuka pintu, ia mendapati pemandangan yang tak terduga. Adiknya, Sophia, duduk di ruang tamu bersama seorang lelaki. Sophia tampak ceria, bahkan sedikit genit. Lelaki itu tampan, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Elina merasa tidak nyaman.
"Kak Elina!" seru Sophia, girang. Ia langsung berdiri dan memeluk Elina.
Elina membalas pelukan adiknya, namun rasa was-was masih menghantuinya. Ia mengamati lelaki di samping Sophia dengan seksama.
"Kak, ini Aldo, teman sophia" kata nya. memperkenalkan lelaki itu, suaranya sedikit ragu.
Elina mengerutkan kening. Nama itu tak asing, namun ia tak bisa mengingat di mana ia pernah mendengarnya. Ia mengangguk, berusaha untuk tetap tenang. Namun, perasaan tidak nyaman itu semakin kuat.
"Senang bertemu denganmu, Kak Elina," kata Aldo, tersenyum ramah. Namun, senyum itu tak mampu menghilangkan kecanggungan yang terasa di udara.
Elina hanya mengangguk singkat, berusaha untuk tetap tenang. Ia tak ingin membuat keributan di hadapan Sophia.namu kilasan nama Aldo muncul di ingatannya. waktu itu kejadian terakhir kali Sophia yang pulang kerumah larut malam dan dalam keadaan mabuk.
"Kakak kenapa diam saja? Aku senang sekali Aldo mau berkunjung," kata Sophia, tak menyadari ketegangan yang dirasakan Elina.
Elina menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya.
"Sophia," panggil Elina dengan suara bergetar.
Sophia tampak bingung.
"Iya, Kak. Dia baik kok. Kita ketemu lagi di taman dekat sekolah. Dia… dia sering bantu aku belajar."
Sophia berusaha meyakinkan Elina.
.
.
Lanjut yah
See you😊
Dukung aku dan tinggalkan jejak karena membuatku semakin semangat
Like komen dan favorit