Eldric Hugo
Seorang pria penderita myshopobia. Dalam ketakutan akan hidup sebatang kara sebagai jomblo karatan.
Tanpa sengaja ia meniduri seorang pria yang berkerja di club, dan tubuhnya tidak menunjukkan reaksi alergi.
Karina seorang gadis yang memilih untuk menyamar menjadi laki-laki, setelah dia kabur dari orang yang hendak membelinya. Karina di jual oleh ibu yang mengasuhnya selama ini.
Akankan El mengetahui siapa sebenarnya sosok yang bersamanya. Keppoin yuk
Ada dua kisah di sini semua punya porsinya masing-masing.
Happy reading 🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak ada reaksi
El baru saja membuka matanya, ia merasa sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Pria berusia empat puluh tahun itu masih terlihat tampan di usianya yang matang. Tangan El masih meraba ke seluruh sisi ranjang di sebelahnya. Aneh, El merasa ada seseorang yang sebelumnya terbaring di sana menemani dia tidur.
Seorang manusia hidup dan bernafas di sebelahnya. Begitu dekat, El jelas merasakan kulit mereka bersentuhan, dan El baik baik saja. Netra El melebar memikirkan hal itu. Dengan kasar El menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya.
Dengan cepat tangan kekarnya menanggalkan semua pakaiannya yang melekat pada tubuhnya. Jajaran roti sobek yang membuat kau hawa panas dingin, terpampang jelas di sana. Dengan tubuh polosnya El masuk kedalam kamar mandi.
Rintikan air menghantam tubuh kekar El. Mengalir, membasahi tiap lekuk otot tubuhnya. Tak ada tanda tanda kemerahan atau reaksi lain pada. Seulas senyum terukir di bibir tebal El. Sepertinya dia tidak akan menjadi jomblo sampai tua.
El membersihkan dirinya lebih cepat lima menit dari biasanya, ya setidaknya pagi ini El hanya membutuhkan waktu 55 menit untuk membersihkan dirinya. Itu sudah rekor tercepat El sampai saat ini.
Dengan hanya mengunakan handuk El keluar dari kamar mandi. Langkah lebar El mengantarkannya mendekati nakas, ia pun segera meraih ponsel dan tisu basah. Mengusap ulang benda pipih itu berulang kali sebelum memakainya. Mengunakan loud speaker El mengubungi seseorang.
"Cepat datang ke kamarku!" titah El setelah nada sambung di angkat.
Tok...tok..
Mendengar suara ketukan pintu, El pun segera membukanya. Tentu saja setelah menyemprot knop pintu dengan desinfektan. Seorang pria bertubuh tegap menunduk hormat saat melihat berdiri di depan pintu saat El membuka pintunya.
"Selamat pagi Tuan," sapa asisten Joe.
"Hem." El berbalik lalu berjalan kearah ranjang dan mendudukkan dirinya di tepi.
Asisten Joe pun mengekor di belakangnya, setelah menutup pintu Joe kembali berjalan mendekati Tuannya, lalu menyerahkan paper bag yang ia bawa. Sebuah baju baru di tempat langganan El. El hanya akan memakai baju sekali saja dan langsung membuangnya.
El langsung menanggalkan handuk yang melilit aset miliknya. Joe
segera membalikkan tubuhnya ke arah berlawanan. Ia sudah terbiasa dengan semua ini.
"Siapa yang masuk ke kamar ini Joe?" tanya El sembari memakai pengaman miliknya.
Joe mengerutkan keningnya, pasalnya tidak ada seorangpun yang di perbolehkan mendekati kamar ini dan semua karyawan di klub ini tau peraturan itu.
"Siapa Tuan?"
"Aku butuh jawaban. Bukan pertanyaan balik, Joe!"
"Maaf, Tuan."
"Cari tau tentang itu, aku yakin ada seseorang yang masuk ke dalam kamarku tadi malam. Periksa semua cctv aku ingin kau bisa menjawab pertanyaan ku saat makan siang nanti!" tegas El tak terbantahkan.
"Baik Tuan."
Setelah memberi peringatan El pun segera keluar dari kamar itu tentu dengan Joe di belakang.
Sementara di sebuah kamar kos kecil berukuran 2x3. Seorang gadis meringkuk dalam selimut tipisnya setelah membersihkan dirinya. Ia begitu lelah badannya menggigil. Matanya terpejam. Namun, ia tidak tidur. Pikirannya jauh menerawang ke sosok yang ia rindukan.
______
Seorang anak berusia 4 tahun menangis dibalik tumpukan kardus di bawah kolong jembatan.
"Mama," lirih anak itu di sela isaknya.
Sebuah tangan keriput terulur dengan senyum manis yang terpancar di wajah yang sudah termakan usia.
"Adek kenapa menangis? dimana Mama kamu?"
Karin kecil hanya menggelengkan kepalanya. Sudah sejak seminggu yang lalu dia berada di jalan raya kota Jakarta. Gadis kecil itu bahkan tidak tahu tempat keberadaannya sekarang.
Beberapa orang dewasa memaksanya untuk mengemis di jalan, jika tidak mau dia tidak akan mendapatkan jatah makanan.
Saat dia dan beberapa anak lain sedang mengemis. Tiba-tiba satpol PP datang dan merazia mereka, para pengemis dan tunawisma lainnya pun berhambur. Karina pun turut bersembunyi di tumpukan kardus meringkuk menyelipkan tubuhnya yang kecil dia antara kotak karton besar.
Melihat gadis kecil itu menangis sesenggukan sendiri membuat Heri merasa kasihan.
"Ikut Bapak pulang ya, Nak?"
Karina diam, wajahnya memancarkan rasa takut yang teramat sangat. Heri pen tersenyum dan mengelus pucuk rambutnya.
"Bapak bukan orang jahat, bapak akan bawa kamu pulang ke rumah. Di sana kita bisa makan dan tidur dengan nyaman, meskipun rumah Bapak tidak besar tapi cukup nyaman untuk kita berteduh," ujar Heri menjelaskan.
Karina pun mengangguk, ia meraih tangan tua yang terulur sejak tadi.
"Nama kamu siapa? lalu Bapak panggil saja Bapak Heri."
"Nama aku Karina," ucap gadis kecil itu.
"Mana yang cantik Nak," ucap Heri dengan senyum.
_____
"Karina apa kau di dalam?" sebuah suara memanggilnya dari luar kamar, membuyarkan lamunannya.
"Ya, buka saja," Sahut Karina dari balik selimut. Dia sudah hafal betul siapa yang datang mencarinya, hanya satu orang yang akan datang.
Tiwi teman sekelas Karina di sekolah, hanya dia yang satu satunya orang mau mau bersusah payah berteman dengan Karina saat semua orang menjauhinya, Karena Karina hanyalah seorang anak yatim-piatu dan seorang yang miskin.
Tiwi segera membuka pintu dan nyelonong masuk begitu saja. Melihat sahabatnya yang masih tergulung dalam selimut membuat Tiwi heran. Ia pun duduk di samping Karina dan menarik selimutnya dengan keras, sampai terlepas dari tubuh gadis itu.
"Ishh.... dingin tau," keluhnya pada Tiwi.
"Dingin? kamu sakit?" Tiwi menempel telapak tangannya di kening sahabatnya.
"Astaga Karin badan kamu panas banget, aku anterin ke dokter ya?" ujar Tiwi dengan cemas.
"Cuman meriang dikit aja, tolong izinin aku ya. Aku pengen istirahat hari ini." Karina mempererat pelukannya pada selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhnya.
"Tapi badan kamu panas banget itu, mana kamu sendirian lagi. Aku anterin ke dokter." Tiwi menyibakkan selimut, dan menarik lengan kecil temannya.
Tubuh Karina terasa lemas. Namun, ia masih bisa memberontak. Gadis itu menatap menatap mata temannya dengan binar mata memelas. Tiwi pun hanya bisa berdecak kesal pada sahabatnya yang keras kepala itu.
"Ok, deh ntar aku bikin surat izin buat kamu. Tapi aku nggak tega liat kamu kayak gini, kamu sendirian."
"Tadi udah minum obat warung kok, bentar lagi juga reda demamnya. Udah kamu cepetan berangkat nanti di amuk sama Pak Septa."
"Emh...iya deh, cepat sembuh ya Say." Tiwi pun beranjak dari sisi Karina. Ia menoleh sejenak pada sahabatnya sebelum beranjak pergi.
Ia sungguh tidak tega melihat keadaan sahabat yang terkulai lemas seperti ini. Tiwi harus segera berangkat ke sekolah, karena memang waktunya yang sudah sangat mepet.
Karina terlelap sejenak. Sebelum riuh suara ponsel memaksanya untuk membuka matanya. Entah berapa kali ponsel itu berdering mengganggu tidurnya.
Dengan mata yang masih terpejam
Karina mengulurkan tangannya, meraba raba sisi sebelah bantalnya untuk menemukan ponsel. Karina langsung menggeser layar ponselnya tanpa melihat nama si penelepon yang tertera di layar.
"Halo."
"Halo Riz kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?!" hardik seseorang di ujung telepon.
"Pak Jimmy, maafkan saya Pak,Saya sedang tidak enak badan," Karina membelalakkan matanya mendengar suara si bos yang membentaknya.
"Cepat ke Club sekarang juga!"
"Tapi Pak sa-
"Tidak ada tapi, aku tunggu sekarang."
Jimmy langsung mematikan sambungan ponselnya. Karina pun mendesah menghela nafasnya. Ia menyibakkan selimut dan berusaha bangkit dari kasur lantai tempat ia berbaring. Ia meraup rambutnya yang menjuntai sedikit melebihi bahunya mengikatnya sembarangan dengan karet gelang.
"Jam berapa ini, kenapa tiba-tiba menyuruh aku ke club," gerutu Karina dengan mulut mungilnya.
Ia sedikit berjalan ke depan agar bisa memerhatikan dirinya di pantulan cermin yang menggantung di tembok kamar mandinya dengan baik. Ia mulai meraih wig rambut yang ada di atas lemari plastik usang miliknya lalu memakai rambut palsu itu dengan perlahan, mengepaskannya dengan sedikit menarik dan menata helaian rambutnya.
Setelah itu ia melilitkan kain panjang di area dada sampai perutnya. Setelah itu ia segera memakai kaos dalam double sebelum merangkapnya lagi dengan kaos oblong dan kemeja lengan panjang. Karina pun sedikit memoles wajahnya agar terlihat sedikit lebih gelap di beberapa bagian.
Dengan nafasnya terasa panas Karina menghentakkan nafasnya kasar. Merapikan lagi baju dan rambut palsu yang ia kenakan.
"Oke Riz saatnya kau tampil lagi." Karina mengambil tas selempang yang tergantung di sisi cermin.
Ia mengambil obat sakit kepala dan memasukkannya kedalam mulutnya, dengan dorongan air mineral dari botol ia memasukkan obat itu kedalam lambungnya. Karina pun melangkah keluar kamar kosnya lalu segera pergi ke club.