Difiar Seamus seorang penyihir penyedia jasa pengabul permintaan dengan imbalan sesuka hatinya. Tidak segan-segan Difiar mengambil hal berharga dari pelanggannya. Sehingga manusia sadar jika mereka harus lebih berusaha lagi daripada menempuh jalan instan yang membuat mereka menyesal.
Malena Safira manusia yang tidak tahu identitasnya, pasalnya semua orang menganggap jika dirinya seorang penjelajah waktu. Bagi Safira, dia hanyalah orang yang setiap hari selalu sial dan bermimpi buruk. Anehnya, mimpi itu merupakan kisah masa lalu orang yang diambang kematian.
Jika kalian sedang putus asa lalu menemukan gubuk tua yang di kelilingi pepohonan, masuklah ke dalam penyihir akan mengabulkan permintaan kalian karena mereka pernah mencicipi rasanya ramuan pengubah nasib yang terbukti ampuh mengubah hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gaurika Jolie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gerhana Langka Datang Lagi
Setelah memegang kontak fisik dengannya, Safira merasa aneh tidak bisa melihat masa lalunya. Safira mencoba kontak mata dengannya berharap bisa membaca batin, tetapi gagal karena tidak mendengar apa pun. Baru disadari jika batinnya terasa sunyi dan tenang, apa karena tidak ada orang?
Rasa ingin taunya mendominasi, akhirnya Safira memegang kedua tangan Difiar agar bisa menatap sepasang mata tajam itu. Sayangnya, tidak mendapatkan jawaban, justru jantungnya berdetak hebat. Dirinya baru ingat jika riasannya berantakan.
"Duh...."
Safira langsung mengusap air matanya menggunakan kaos Difiar sehingga kedua tangannya merentang ke atas. Difiar kembali terkejut dengan perilaku Safira yang secara tiba-tiba, ditambah salah tingkah yang terlihat terang-terangan.
"Hahah, maaf."
Tawa Safira menggelitik hati Difiar, walaupun tidak bisa membaca batin Safira, Difiar tahu jika cinta pertamanya sedang mengalami hari yang buruk.
“Aduh, maaf banget kaos putih kamu kotor. Nanti aku ganti deh harga kaos kamu, atau sekarang aku transfer ke bank kamu, ya?” tawar Safira diiringi tawa canggung. Dirinya merutuki kecerobohannya yang tidak bisa menahan diri dari pria tampan.
Tidak ada respon dari pria di depannya, Safira pun merasa bersalah setelah pria itu melihat kaosnya yang basah dan juga maskaranya luntur. Dari raut wajah pria itu yang datar, Safira menyimpulkan jika dirinya membuat kesalahan total.
‘Make up murahan, gampang luntur!’
“Sekarang aku beliin yang baru, sebentar kamu tunggu di sini atau ikut?” Safira hendak melangkah, tetapi Difiar menarik tangannya.
“Nggak usah. Bayar utangmu aja.”
Safira menjentikkan jarinya. “Kenapa aku bisa lupa? Kamu orang yang sama itu? Tapi...”
“Belum ada duit, huh?” tanya Difiar sangat kesal.
Wanita acak-acakan itu mengangguk malu. “Janji setelah ini aku lunasi. Bulan depan pasti aku cicil!”
“Nggak usah janji kalau nggak bisa ditepati,” sindirnya yang berusaha tidak kesal. Bagaimanapun dia orang yang sama dengan cinta pertamanya.
“Beneran ini, aku pasti bayar nggak kabur lagi!”
Difiar menatap wanita bercahaya itu. “Kamu temenin aku menghabiskan malam ini sampai besok pagi di sini,” pinta Difiar yang seolah salah dengan kata-katanya, lalu dia cepat meralat, “Maksudnya, malam ini ada gerhana bulan total yang terjadi 195 tahun sekali. Nggak mau melewatinya begitu saja, kan?”
Safira terbelalak bukan karena ucapan Difiar yang pertama melainkan gerhana bulan. “Aku baru tau ada kejadian langka yang nggak mungkin terulang lagi di hidup. Aku nggak mau melewatinya!”
Dengan cepat Safira melihat bulan yang berwarna sedikit merah. Dirinya melangkah karena penasaran ingin melihatnya lebih jelas, dengan cepat Difiar kembali menarik tangannya.
Safira ingat jika di depannya jurang. Sontak mengikuti Difiar dari belakang menuju ke arah batu besar. Difiar menyuruh Safira duduk di atas batu dan dirinya di bawah.
Jam menunjukkan tengah malam sehingga dirinya menghela napas seraya menanti bulan berubah warna menjadi merah.
Mendengar embusan napas Safira yang berat, Difiar bertanya, “Apa yang kamu pikirkan?”
“Besok. Mungkin besok hari pertamaku jadi pengangguran setelah dipecat!” jawabnya ketus lalu melipat tangan di dada.
Difiar masih melihat Safira lekat. “Kamu punya permintaan?”
“Kamu bisa mengabulkannya?”
“Bisa.” Dirasa tidak masuk akal bagi manusia, Difiar melanjutkan perkataannya, “Lebih tepatnya membantu sebisaku.”
Sontak Safira mengubah duduknya sehingga berhadapan dengan Difiar. “Kamu tau apa yang terjadi hari ini? Manager sialan itu suruh aku jadi selingkuhannya biar bisa menceraikan istrinya, tapi istrinya menyerang ku sampai seperti ini! Parahnya lagi dia nggak jadi cerai, seenak jidat dia membalikkan fakta aku yang menggodanya! Sial banget, ya?”
“Kenapa kamu nggak lawan?”
“Aku lawan, sih, tapi gitulah! Tiba-tiba aja dia mau bilang ke atasannya karena aku pernah membuat rugi perusahaan, padahal dia udah janji mau atasi masalahku, parahnya dia sama sekali nggak melakukan apa pun! Dia hanya memanfaatkan kesempatan saat aku kesulitan. Mungkin dia udah mengadu sekarang! Aku harus ganti rugi atau dipecat besok!” jawab Safira seraya menjambak rambutnya penuh putus asa.
“Jadi, kamu mau pekerjaan baru?”
Safira menggeleng lalu berpikir ulang. “Aku mau Yohan dan istrinya mendapatkan balasan yang setimpal karena membuatku menderita seperti ini!” ucapnya berteriak meluapkan kekesalannya.
Mata Difiar menyipit ketika mendengar jeritan Safira yang buat telinganya sakit. “Baiklah kalau yang kamu mau itu.”
Safira tidak percaya dengan pria yang baru dikenalnya. “Hey, gitu doang? Nggak mungkin kamu bisa buat mereka mendapatkan balasan, kan?”
Difiar hanya mengedikan bahu lalu dia membuka telapak tangannya yang semula kosong tiba-tiba muncul sebuah botol berisi cairan hijau.
Mata Safira berbinar. “Wahh, kamu bisa sihir?”
Bibir Difiar berkedut karena Safira menganggapnya sihir padahal dia tidak bisa melakukan itu. “Sulap. Aku bawa ini dari rumah, minumlah, sengaja buat jaga-jaga pasti bertemu kamu selalu keadaan luka.”
“Masa iya, sih? Perasaan baru bertemu dua kali, kan?” tanya Safira setelah menangkap botol itu kecil itu.
“Lebih tepatnya, kita pernah bertemu beberapa kali setiap super blood moon ada."
Botol kecil itu terlihat aneh, lebih aneh lagi ucapan Difiar yang melantur. "Kamu ngantuk, ya? Mana mungkin kita bertemu. Umurku baru 25 tahun!"
"Aku maklumi kalau kamu nggak ingat aku. Apa yang aku ucap nggak pernah bohong!" Difiar mengelak dengan mata yang menyipit.
Safira hanya mengangguk supaya tidak ada keributan. Tanpa ragu Safira meminum isi botol itu sampai habis, dirinya tidak peduli jika isinya obat tidur kalau pelakunya setampan Difiar.
Tubuh Safira yang tadinya tidak memiliki tenaga, kini menjadi segar bagaikan bangun tidur. Rasa pahit itu masih membekas di lidahnya sehingga dahi Safira berkerut. “Huek, ini jamu?”
Difiar mengangguk.
Safira masih heran tubuhnya yang terasa sakit sekarang tidak merasakan keluhan apa pun. “Mereknya apa? Aku mau beli buat setok di rumah.”
“Nggak ada yang jual. Kalau mau minta aja sama aku,” jawab Difiar masih lempeng menatap Safira.
Tatapan Difiar membuat Safira meleleh, merasa dapat kode untuk saling bertemu, Safira menyibakkan rambut ke belakang telinga. “Nomer hp kamu 08 berapa? Biar aku catat, buruan!”
Tangan Difiar merogoh saku setelah menangkap maksud ucapan Safira. “Aku lupa, sebentar aku cari.”
Melihat Difiar bagaikan orang tua kolot yang baru belajar pakai ponsel, dia meragukan identitasnya sebagai mafia. ‘Dia bukan mafia! Lihat itu kecerahan layarnya seperti orang rabun.’
Setelah menunggu lama, Difiar kembali melihat Safira. “Gimana cara cek nomor?”
“Huaaahhhaahahah!” Tawa Safira menggelegar dengan pertanyaan Difiar. “Kamu baru pakai hp pertama kali, ya?”
“Enggak, kok. Cuma pakai seperlunya aja buat pekerjaan. Padahal Samuel udah pernah kasih tau caranya, kenapa bisa lupa?”
Melihat pria tampan tengah kebingungan membuat Safira tidak tega mempersulit hidup patung berjalan itu. Safira menghampirinya untuk menyimpan nomornya. Setelah selesai, Safira kembali ke tempat duduk. “Aku akan bayar utang. Sering-sering tagih, aku nggak keberatan sama sekali.”
Alis Difiar terangkat setelah melihat nama yang tersimpan. “Beautiful girl?”
Safira membelakangi Difiar setelah mendengar ucapannya yang dianggap sebagai pujian. “Aku kan cantik.”
“Iya.”
Seketika Safira salah tingkah. Dirinya menyembunyikan pipi merahnya. Sementara Difiar masih melihat Safira dari bawah karena lebih tertarik dengan cinta pertamanya daripada gerhana bulan total yang pernah dilihat sebelumnya.
‘Bagiku ini bukan pertama kali kita melihat super blood moon, kita nggak pernah melewatkan setiap kesempatan langka ini dari awal sampai selesai. Aku nggak masalah kamu melupakan pertemuan kita dan hanya aku yang mengingatnya, karena ini kali pertamanya kamu menjadi sosok orang yang baru,’ batin Difiar yang tidak ingin membuang pandangan darinya sedetik pun.
Sudut mata Safira menangkap basah Difiar yang melihatinya terus. Anehnya, Difiar tidak mengelak saat Safira melihatnya karena Difiar memang sengaja melihat wajahnya yang setiap tahun sama dengan tampilan berbeda.
Tanpa pikir panjang Safira duduk di depan Difiar sehingga mereka berhadapan saling menatap satu sama lain. Difiar menjadi salah tingkah sampai tersedak karena kaget tiba-tiba Safira duduk di depannya.
Safira memangku wajahnya lalu menyibakkan rambutnya. “Apa aku secantik itu sampai takut kehilangan aku?”
“Iya.”
Tanpa permisi Safira memukul bahu Difiar dengan manja. “Kalau bercanda tuh senyum kek, jangan serius terus!”
“Aku lagi nggak bercanda, kamu memang cantik,” balas Difiar yang mundur sedikit.
Safira maju karena terlalu jauh sampai lutut mereka bersentuhan. “Nama kamu siapa? Aku Safira,” ucapnya seraya menyodorkan tangan.
Difiar langsung mengecup telapak tangan itu hingga Safira menertawainya. “Difiar.”
“Difiar?” Safira berteriak karena namanya bagaikan tidak asing. “Aku pernah dengar nama itu, tapi lupa!”
“Nggak papa, namanya pasaran kok.”
Senyum Safira mengembang. “Kamu polos banget, sih. Gemes, deh. Berapa umur kamu?”
“Seribu berapa gitu, aku juga lupa.”
Safira melongo. “Seribu tahun? Kocak! Yang serius dong!”
“Memang aku terlihat lagi melawak?”
Secepatnya Safira menggeleng karena sejak tadi dia tidak melihatnya tersenyum. “Senyum dong.”
“Apa yang disenyumin?” Kepala Difiar miring ke samping sehingga ada perubahan dari tingkah Difiar walaupun masih datar.
Safira jadi ingin mendengar suara tawa Difiar, minimal senyumnya. Lagi dan lagi tangannya bertingkah sesuka hati menggelitik tubuh Difiar agar bisa tertawa, Difiar hanya menggeliat sebagai respon. Safira langsung merutuki tangannya karena tidak bisa diajak kerja sama.
“Kenapa?”
“Mau dengar suara kamu tertawa,” pinta Safira dengan manja.
“Nggak ada yang lucu.”
Safira langsung menunjukkan wajah lucunya, bertingkah menggemaskan agar Difiar tertawa. Namun, yang diharapkan tidak sesuai.
“Nggak berhasil?” tanya Safira kecewa.
Difiar menggeleng, tidak ingin mengubah suasana yang telah cair, Difiar mengusap kepala Safira hingga kembali seperti semula. “Kamu lucu, tapi bukan lucu yang aku maksud. Tau kan lucu yang bisa buat orang tertawa. Kalau kamu lucu dalam artian gemas.”
Bagi Safira, Difiar orang pertama yang bertingkah seperti pria polos yang benar-benar baru memulai kehidupan. “Kamu ganteng banget, sih? Jadi mau cium kamu deh,” celetuknya lalu tertawa jahil.
Safira pikir Difiar akan salah tingkah, tetapi tetap tidak bisa menjabarkan ekspresi wajahnya yang terus datar. Jalan satu-satunya menunjukkan sisi liar agar memastikan jika Difiar normal dengan cara mengikat rambutnya sehingga leher jenjangnya terekspos.
“Kamu suka cewek, kan? Pasti nggak pernah ciuman sama cewek, ya?” Safira memajukan wajahnya lalu mengerucutkan bibir.
Jari telunjuknya menunjuk ke arah bibir. “Cium aku kalau kamu memang normal suka sama cewek!”
"Waktu itu kamu aku larang buat menyentuhku, kan? Buruan sentuh aku!"