Aruna dan Nathan adalah dua sahabat yang udah saling kenal sejak kecil. Hubungan mereka simpel banget, selalu saling mendukung tanpa drama. Tapi, ada satu rahasia besar yang disimpan Aruna: dia udah naksir Nathan selama bertahun-tahun.
Waktu Nathan mulai pacaran sama orang lain, hati Aruna mulai goyah. Dia harus pilih, terus memendam perasaan atau nekat bilang dan mungkin merusak persahabatan mereka. Sementara itu, Nathan juga ngerasa ada yang aneh, tapi dia nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.
Lama-lama, beberapa kejadian kecil mulai mengungkap perasaan mereka yang selama ini tertahan. Sampai suatu hari, di tengah hujan deras, momen itu datang dan semua jadi jelas. Tapi, apakah cinta yang lama dipendam ini bakal jadi awal yang baru, atau malah jadi akhir dari segalanya?
Sekeping Rasa yang Tersembunyi adalah cerita tentang berani menghadapi perasaan, kehilangan, dan keindahan cinta yang tumbuh diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyler Austin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin Perasaan Dan Keberanian Untuk Jujur
Hidup gue belakangan terasa seperti teka-teki yang nggak pernah selesai. Gue pikir, setelah ngobrol sama Nathan waktu itu, semuanya bakal lebih tenang. Tapi ternyata, kenyataan punya caranya sendiri buat bikin hidup makin rumit.
Hari itu, gue lagi nongkrong di kafe bareng Nadira. Dia udah lama ngajakin gue buat catch up, katanya dia punya cerita penting.
“Jadi, gimana? Lo sama Nathan masih sering ngobrol, kan?” tanya Nadira sambil mengaduk latte-nya.
“Masih,” gue jawab santai. “Tapi nggak intens kayak dulu. Lo tahu lah, dia sekarang fokus sama Keira.”
Nadira mengangkat alisnya. “Lo oke sama itu? Maksud gue, lo nggak merasa… aneh atau gimana gitu?”
Gue menghela napas. “Gue harusnya biasa aja, Nad. Gue nggak punya hak buat merasa aneh. Nathan sahabat gue, dan gue cuma mau dia bahagia. Tapi jujur, kadang gue ngerasa kayak gue nggak sepenuhnya ngerti apa yang gue rasain.”
Nadira tersenyum kecil. “Lo bohong kalau bilang lo nggak ada rasa apa-apa. Gue bisa lihat dari cara lo cerita tentang dia. Tapi ya, gue ngerti kalau lo masih denial.”
Belum sempat gue jawab, pintu kafe terbuka, dan sosok yang nggak asing buat gue muncul. Reyhan. Dia melambaikan tangan, dan langsung menuju meja gue.
“Hei, gue ganggu nggak?” tanyanya sambil tersenyum lebar.
“Gak lah, duduk aja,” jawab gue.
Reyhan duduk, pesan espresso, lalu mulai cerita tentang kerjaannya yang katanya lagi ribet. Tapi perhatian gue sedikit terpecah. Ada yang aneh sama cara dia ngelihat gue hari itu, kayak ada sesuatu yang pengen dia omongin.
“Lo kenapa, Rey? Ada yang mau lo bilang, ya?” tanya gue akhirnya.
Dia tersenyum, sedikit canggung. “Sebenernya… iya. Gue pengen ngajak lo ke acara kampus gue minggu depan. Ada pameran seni, dan gue pikir lo bakal suka.”
Gue sedikit terkejut. “Acara seni? Wah, sounds fun. Tapi kenapa lo tiba-tiba ngajak gue?”
Reyhan menggaruk belakang kepalanya, kelihatan agak gugup. “Karena gue pikir lo perlu refreshing. Lo kelihatan… terlalu sibuk mikirin hal-hal yang bikin lo stres.”
Nadira melirik gue sambil tersenyum jahil. “Kayaknya gue nggak perlu di sini deh. Kalian lanjut aja.”
Gue langsung melempar tatapan ke Nadira. “Nggak usah lebay, Nad. Reyhan cuma ngajak gue jalan, itu doang.”
Reyhan ketawa kecil. “Santai, gue cuma pengen Aruna lihat sesuatu yang mungkin dia suka. Seni bisa bantu lo ngeluarin apa yang lo rasain, kan?”
Gue terdiam sebentar, lalu mengangguk. “Oke, gue ikut. Thanks udah ngajakin, Rey.”
Seminggu berlalu, dan seperti yang Reyhan bilang, dia jemput gue buat ke pameran seni di kampusnya. Gue nggak terlalu ngerti seni modern, tapi Reyhan bilang ada beberapa instalasi yang dia yakin gue bakal suka.
“Lo udah pernah ke acara kayak gini sebelumnya?” tanya Reyhan waktu kami masuk ke aula yang penuh sama lukisan, patung, dan instalasi digital.
“Jujur aja, jarang,” jawab gue sambil ngelihatin sekitar. “Tapi gue penasaran sih. Lo sering dateng ke pameran kayak gini?”
“Lumayan,” katanya sambil jalan pelan di sebelah gue. “Gue suka lihat gimana seni bisa ngasih perspektif baru. Kadang, karya seni tuh ngomong sesuatu yang nggak bisa kita ungkapin dengan kata-kata.”
Gue mengangguk, mulai ngerti maksudnya. Salah satu instalasi yang kami lihat adalah kumpulan cermin yang disusun dengan bentuk abstrak. Dari sudut tertentu, cermin-cermin itu memantulkan bayangan yang membentuk wajah.
“Wow… ini keren,” gue berkata pelan.
Reyhan tersenyum. “Lo tahu, ini tentang identitas. Kadang kita cuma lihat bagian kecil dari diri kita, tapi kalau semua potongan digabung, kita jadi tahu siapa kita sebenarnya.”
Gue menatap dia sebentar, mencoba mencerna maksudnya. “Lo ngomongnya dalam banget, Rey.”
Dia ketawa kecil. “Bukan gue yang dalam, seninya aja yang ngasih makna. Lo tahu nggak? Seni kadang mirip sama perasaan. Lo nggak selalu ngerti sepenuhnya, tapi lo bisa ngerasain.”
Gue terdiam. Kata-kata Reyhan nyentuh sesuatu di kepala gue. Gue kepikiran Nathan, hubungan gue sama dia, dan perasaan yang gue pendam selama ini. Apa selama ini gue cuma lihat “potongan” kecil dari diri gue, sama kayak instalasi ini?
“Aruna?” Reyhan memanggil pelan, ngelihat gue yang tenggelam dalam pikiran sendiri.
“Eh, sorry. Gue lagi mikir,” jawab gue buru-buru.
“Kalau lo mau cerita, gue dengerin,” katanya lembut.
Gue ragu sejenak, tapi akhirnya bicara. “Rey, lo pernah ngerasa kayak lo nggak yakin sama perasaan lo sendiri? Kayak ada sesuatu yang lo rasain, tapi lo takut buat ngakuin karena lo nggak mau semuanya berubah?”
Reyhan mengangguk pelan. “Pernah. Tapi kadang, lo harus jujur sama diri lo sendiri. Kalau nggak, lo bakal terus-terusan terjebak di tempat yang sama.”
Kata-kata Reyhan bikin gue terdiam lagi. Gue tahu dia benar, tapi kenapa semuanya terasa begitu rumit?
“Gue nggak bilang ini mudah, tapi kalau lo butuh waktu buat ngerti apa yang lo rasain, nggak apa-apa. Yang penting, jangan terlalu lama nyimpen semuanya sendirian,” tambah Reyhan.
Gue tersenyum tipis. “Thanks, Rey. Gue bakal mikirin itu.”
Pameran selesai, tapi percakapan sama Reyhan terus terngiang di kepala gue sepanjang perjalanan pulang. Mungkin ini waktunya gue berhenti menghindar dan mulai menghadapi apa yang sebenarnya gue rasain.
Malam itu, setelah gue pulang dari pameran bareng Reyhan, gue duduk di kamar sambil merhatiin langit-langit. Kata-kata Reyhan terus terngiang di kepala gue: “Kadang lo harus jujur sama diri lo sendiri.”
Gue tahu gue nggak bisa terus-terusan kayak gini—memendam perasaan tanpa arah. Tapi gimana caranya? Nathan sekarang sama Keira, dan gue nggak mau jadi orang yang bikin semuanya rusak.
Ponsel gue tiba-tiba bergetar. Ada pesan masuk dari Nathan.
Nathan:
“Lo udah tidur?”
Gue ngebaca pesannya sambil ngerasa sedikit gugup. Ini jarang banget. Biasanya Nathan cuma ngehubungin kalau ada hal penting.
Gue:
“Belum. Kenapa?”
Nggak lama, Nathan langsung nelfon.
“Hey, lo sibuk?” suara Nathan terdengar sedikit berat di seberang sana.
“Nggak, kenapa?” gue jawab, ngerasain ada yang beda dari suaranya.
“Gue cuma… pengen ngobrol. Ada yang mau gue ceritain.”
Gue langsung duduk lebih tegak di kasur. “Cerita apa?”
“Keira,” dia mulai, dan jantung gue rasanya berhenti sesaat.
“Oh… ada apa sama dia?” gue mencoba nggak nunjukin apapun di nada suara gue.
Nathan menghela napas panjang. “Dia kayaknya berubah, Na. Gue ngerasa dia nggak seintens dulu. Kadang gue ngomong sesuatu, tapi dia kayak nggak benar-benar denger. Lo ngerti kan, maksud gue?”
Gue nggak tahu harus jawab apa. Di satu sisi, gue pengen bilang kalau gue ngerti banget. Tapi di sisi lain, gue nggak mau kelihatan terlalu senang dengan masalah mereka.
“Lo udah coba ngomong sama dia?” tanya gue akhirnya.
“Udah. Tapi… dia bilang gue terlalu overthinking. Gue jadi nggak tahu lagi, ini salah gue atau gimana.”
“Nath,” gue memanggil pelan. “Lo yakin sama perasaan lo ke dia?”
Dia terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab. “Gue nggak tahu, Na. Gue sayang dia, tapi… ada bagian dari diri gue yang ngerasa kalau gue nggak sepenuhnya di tempat yang benar.”
Kata-katanya bikin hati gue terasa campur aduk. Apa itu berarti ada kesempatan buat gue? Tapi apa gue siap kalau itu berarti Nathan harus ngelepas Keira?
“Nath, gue rasa lo perlu waktu buat bener-bener mikirin ini. Jangan paksa diri lo buat terus jalan kalau lo ngerasa nggak yakin,” kata gue, mencoba terdengar netral.
“Lo selalu tahu harus ngomong apa, ya,” katanya sambil ketawa kecil. “Thanks, Na. Serius, gue selalu merasa lebih tenang kalau ngobrol sama lo.”
Gue cuma bisa tersenyum kecil meskipun dia nggak bisa lihat. “Gue cuma ngasih saran. Sisanya, lo yang harus mutusin.”
Setelah telepon selesai, gue berbaring di kasur, memandangi langit-langit lagi. Ada rasa lega karena Nathan percaya sama gue, tapi ada juga rasa cemas. Apa yang akan terjadi kalau Nathan benar-benar ngelepas Keira? Apa gue siap jadi lebih dari sekedar sahabat?
Satu hal yang gue tahu pasti, gue nggak bisa terus-terusan ngumpet di balik perasaan yang gue pendam. Cepat atau lambat, gue harus ngambil langkah—dan mungkin, langkah itu adalah jujur sama diri gue sendiri.