Arka, detektif yang di pindah tugaskan di desa terpencil karena skandalnya, harus menyelesaikan teka-teki tentang pembunuhan berantai dan seikat mawar kuning yang di letakkan pelaku di dekat tubuh korbannya. Di bantu dengan Kirana, seorang dokter forensik yang mengungkap kematian korban. Akankah Arka dan Kirana menangkap pelaku pembunuhan berantai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kirana terluka
Arka memandang Kirana dengan penuh kekhawatiran. "Kirana, ini sangat berbahaya. Jika kamu ikut, kamu harus berada di bawah pengawasan ketat."
Kirana mengangguk tegas. "Aku mengerti. Aku hanya ingin membantu. Aku tidak bisa duduk diam mengetahui pelaku itu masih berkeliaran."
Akhirnya, Arka mengalah. Mereka bergegas menuju apartemen Dahlia bersama Bayu, membawa serta tim yang siap siaga. Sesampainya di sana, mereka disambut dengan keramaian yang tidak terduga. Para penghuni apartemen berkumpul di luar, membicarakan kehadiran polisi.
Arka menggenggam tangan Kirana erat-erat, matanya terus mengawasi sekitar. "Tetap dekat denganku," bisiknya.
Kirana mengangguk, tetapi dalam sekejap, kerumunan menjadi semakin padat dan kacau. Seseorang berteriak, membuat semua orang mulai bergerak panik. Dalam kekacauan itu, Kirana terpisah dari Arka. Dia mencoba untuk berteriak, tetapi suaranya tenggelam dalam hiruk-pikuk.
Arka berbalik dengan panik, mencari Kirana di tengah kerumunan. "Kirana!" teriaknya, tetapi dia tidak melihat tanda-tanda keberadaan Kirana. Rasa khawatir membanjiri dirinya. Dia segera meraih radio komunikasi.
"Bayu, Kirana hilang! Cari dia, segera!" suara Arka penuh dengan ketegangan dan kepanikan.
Bayu yang berada di sisi lain apartemen segera merespons. "Mengerti, kami akan mencarinya. Jangan khawatir, Arka."
Namun, Arka tidak bisa menenangkan dirinya. Dia mengerahkan seluruh timnya untuk menyisir setiap sudut apartemen. Setiap detik berlalu seperti siksaan, dan bayangan terburuk terus menghantui pikirannya.
Di suatu sudut gelap apartemen, Kirana berusaha menenangkan diri, tetapi dia merasa ada seseorang yang mengawasinya. Jantungnya berdegup kencang, dan dia merasa ketakutan yang amat sangat. Saat dia berbalik, sebuah tangan kasar menariknya ke dalam kegelapan.
"Arka..." bisik Kirana, sebelum semuanya menjadi gelap.
Arka terus mencari, matanya menatap penuh amarah dan ketakutan. "Aku akan menemukannya, apapun yang terjadi," gumamnya, tekadnya semakin bulat.
Malam semakin larut, namun pencarian Kirana masih terus berlanjut. Arka dan Bayu bersama tim mereka menyisir setiap sudut apartemen Dahlia, dari lantai teratas hingga basement. Lampu senter menerangi lorong-lorong gelap, tetapi hasilnya nihil. Kirana seolah menghilang tanpa jejak.
Arka semakin gelisah, wajahnya tegang. Bayu mendekatinya dengan raut yang tidak kalah khawatir. "Arka, kami sudah mencari di seluruh apartemen. Tidak ada tanda-tanda Kirana."
Arka mengepalkan tangannya, menahan amarah dan ketakutan yang bercampur aduk. "Dia ada di sini. Kita hanya belum menemukannya." Suaranya penuh ketegasan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Salah satu anak buah Arka mendekat, wajahnya penuh penyesalan. "Maaf, Pak. Kami sudah mencari di setiap ruangan, tapi tidak ada yang melihat Kirana. Apakah mungkin dia ... dibawa keluar?"
Arka menggeleng keras. "Tidak mungkin. Dia ada di sini. Lanjutkan pencarian. Jangan berhenti sampai kita menemukan dia!"
Anak buahnya mengangguk dan kembali menyebar, tetapi keraguan mulai terlihat di wajah mereka. Arka menatap lorong panjang di depannya, pikirannya dipenuhi bayangan buruk. Dia tidak bisa membayangkan kehilangan Kirana, bukan sekarang, bukan setelah semua yang telah mereka lalui bersama.
Bayu meletakkan tangan di bahu Arka. "Kita akan menemukannya, Arka. Aku yakin dia masih di sekitar sini."
Arka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku tidak akan memaafkan diriku jika sesuatu terjadi padanya."
Di sudut lain apartemen, Kirana perlahan sadar dari pingsannya. Dia mendapati dirinya di ruangan kecil dan gelap, dengan tangan dan kakinya terikat. Dia berusaha keras untuk melepaskan diri, tetapi ikatan itu terlalu kuat. Perasaan takut menyergapnya, tetapi dia berusaha tetap tenang.
Pintu ruangan terbuka, dan seseorang masuk dengan langkah pelan. Kirana memicingkan mata, mencoba mengenali wajah di balik bayangan. "Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan dariku?"
Orang itu tertawa kecil, suaranya terdengar dingin. "Kamu akan segera tahu, Kirana. Tapi untuk sekarang, cukup diam di sini dan nikmati kesunyian."
Kirana merinding mendengar suara itu, tetapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. "Arka akan datang untukku. Kamu tidak akan bisa lolos begitu saja."
Orang itu hanya tersenyum tipis. "Kita lihat saja nanti." Lalu dia berbalik dan meninggalkan ruangan, membiarkan Kirana dalam kegelapan yang semakin pekat.
Di luar, Arka masih terus mencari. Bayu mencoba menghubungi tim lain untuk bantuan tambahan, tetapi waktu terasa semakin menipis. Arka tidak mau menyerah. Dia tahu, dia bisa merasakan bahwa Kirana masih ada di dekat mereka, menunggu untuk ditemukan.
"Bayu, kita harus menyisir ulang. Ada tempat yang mungkin kita lewatkan," ujar Arka dengan tegas.
Bayu mengangguk, meskipun lelah terlihat di wajahnya. "Baik, kita mulai lagi dari lantai atas."
Saat mereka kembali bergerak, Arka berbisik dalam hati, "Tahan sedikit lagi, Kirana. Aku akan menemukannya. Aku janji."
---
Di saat Arka dan timnya menyisir ulang apartemen, tiba-tiba sebuah suara samar terdengar dari ujung lorong basement. Arka menegakkan tubuhnya, telinganya menangkap suara rintihan lemah. Dia menatap Bayu dengan penuh tekad. "Itu dia," bisiknya.
Tanpa membuang waktu, mereka berlari menuju sumber suara. Semakin dekat, suara itu semakin jelas, rintihan penuh rasa sakit yang berasal dari salah satu ruangan terkunci. Arka dengan cepat menghantam pintu dengan bahunya, membuat pintu terbuka dengan suara berderak keras.
Di dalam ruangan kecil yang gelap, mereka menemukan Kirana terbaring di lantai dengan kondisi mengenaskan. Wajahnya penuh luka lebam, bibirnya pecah, dan ada bekas darah mengering di sudut bibirnya. Tangan dan kakinya masih terikat, tetapi matanya yang penuh kesakitan langsung bersinar melihat Arka.
"Kirana!" Arka berlutut di sampingnya, dengan lembut menyentuh wajahnya. "Aku di sini, kamu aman sekarang."
Kirana mengerjapkan matanya, berusaha menahan air mata. "Arka ..." suaranya parau, hampir tak terdengar.
Bayu segera membantu melepaskan ikatan di tangan dan kaki Kirana, sementara Arka terus menenangkan gadis itu. "Kami akan membawa kamu keluar dari sini. Aku janji, tidak ada yang akan menyakitimu lagi."
Saat ikatannya terlepas, Kirana mencoba duduk tetapi tubuhnya terlalu lemah. Arka mengangkatnya dengan hati-hati dalam pelukannya, perasaannya campur aduk antara marah dan lega.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Arka dengan suara penuh amarah, tetapi Kirana hanya bisa menggeleng lemah.
"Dia ... memakai topeng. Aku tidak bisa melihat wajahnya," jawab Kirana dengan susah payah.
Arka mengeratkan pelukannya, merasa tak berdaya melihat kondisi Kirana. "Kita akan menemukan dia. Aku janji."
Bayu memanggil ambulans dan meminta tim medis segera datang. Saat mereka membawa Kirana keluar dari ruangan itu, Arka tidak bisa menghilangkan perasaan bersalah yang menghantui dirinya. Dia bersumpah dalam hati, tidak akan pernah membiarkan hal ini terjadi lagi.
Sesampainya di luar apartemen, tim medis segera menangani Kirana. Arka berdiri di dekatnya, matanya terus mengawasi dengan penuh perhatian. "Kamu kuat, Kirana. Kamu akan baik-baik saja," bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri sama seperti dia meyakinkan Kirana.
Kirana menatap Arka dengan lemah, tetapi ada secercah senyum di wajahnya. "Aku tahu kamu akan menemukanku," ucapnya dengan lirih, sebelum matanya tertutup perlahan.
Arka mengepalkan tangan, bertekad untuk tidak hanya melindungi Kirana, tetapi juga membawa keadilan kepada pelaku yang telah menyakitinya. "Aku akan mencari orang itu, dan dia akan membayar untuk semua ini," ujar Arka dengan penuh tekad, pandangannya tertuju ke depan, penuh dendam dan tekad yang membara.
To be continued ...