Mbak Bian itu cantik.
Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.
Ah, mbak Bian benar-benar cantik.
Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata
"Menikahlah denganku Cha!"
Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.
Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Kecurigaan dan Asumsi
Mbak Bian memandang lurus ke arah jalanan di depan, fokus menyetir mobil Pajero Sport putih kesayangannya. Sejauh ini, sudah ada 2 mobil yang pernah mbak Bian gunakan untuk menjemputku. Yang pertama adalah mobil Jeep Wrangler Rubicon yang sering membuatku melongo ketika mengetahui harganya, sekalipun aku menjual ginjalku tetap saja tak akan mampu membeli mobil itu. Dan yang kedua adalah Pajero Sport putih ini.
Untuk mobil Jeep, mbak Bian sangat jarang memakainya karena sangat mencolok dan membuat mbak Bian menjadi pusat perhatian. Percayalah saat aku pertama kali melihat mbak Bian menunjukkan mobil Jeepnya kepadaku, aku langsung teringat dengan mobil-mobil penculik di sinetron dan film petualangan Sherina yang sangat kusukai.
Kadang aku heran melihat mbak Bian. Dari begitu banyaknya mobil dengan desain yang bisa dimodifikasi menjadi lebih girly, mbak Bian justru memilih mengendarai mobil yang membuatnya terkesan 'macho'. Tapi, aku rasa itu wajar sih, mengingat mbak Bian yang sedikit tomboy.
Sepanjang perjalanan pikiranku terus mengulang-ulang perkataan Cancan, terutama tentang bagian mbak Bian yang menciumku diam-diam. Refleks aku melihat figur mbak Bian dari arah samping. Dari berbagai arah, mbak Bian tetap terlihat cantik paripurna, bahkan seandainya mbak Bian mendaftar menjadi miss Indonesia bahkan miss Universe sekalipun, mbak Bian pasti menjadi juaranya.
Rasanya sulit mempercayai tuduhan Cancan kepada mbak Bian, apalagi aku pernah beberapa kali memergoki seorang pria keluar-masuk kamar mbak Bian. Pria yang awalnya ku kira sebagai suami mbak Bian. Aku bahkan beberapa kali mendengar suara ribut diiringi desahan dari kamar mbak Bian di tengah malam, membuatku menyimpulkan bahwa mereka sedang melakukan aktivitas yang langsung membuat wajahku memerah bak kepiting rebus.
Bukankah semua hal itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa mbak Bian straight? Mungkin saja alasan mbak Bian menciumku memang karena rasa gemas kan? Aku menepuk-nepuk pipiku, merasa kesal dengan pikiranku yang terbagi dalam dua kubu. Satu kubu menentang segala tuduhan Cancan, dan satu kubu lagi menyetujui tuduhan Cancan.
"Ya ampun!"
Tangan mbak Bian terulur, menyentuh pipi kananku yang baru saja kutepuk. Mbak Bian mengelus pipiku pelan, dahinya berkerut, sepertinya merasa heran dengan tindakanku barusan.
"Kok lo nabok pipi sendiri? Nggak sakit kah?"
Tanyanya dengan pandangan masih fokus ke depan.
Refleks aku menjauhkan tubuhku, menghindari elusan tangan mbak Bian di pipiku.
"Oh itu-”
“Ada nyamuk tadi mbak!"
Jawabku asal.
Mbak Bian terlihat kaget dengan diriku yang menghindari elusan tangannya. Dia kembali meletakkan tangannya di stir mobil, ekspresi kecewa terbentuk di wajah cantiknya. Duh, gusti. Sebenarnya aku tak tega melihat mbak Bian seperti ini. Tapi tuduhan Cancan mirip seperti kenangan mantan di otakku, sulit dan sangat susah di hapus!
"Gue ada salah sama lo?"
Suara sedih mbak Bian membuatku langsung menggelengkan kepala dengan panik.
"Nggak kok mbak!"
Aku mengibaskan tanganku cepat.
Lampu merah yang menyala di persimpangan membuat mbak Bian mengalihkan tatapannya kepadaku.
"Jadi? lo kok aneh gini?"
Tanya mbak Bian sembari mengedipkan mata polosnya berkali-kali.
Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal sambil tersenyum canggung.
"Sorry mbak, aku ngehindar karena wajahku minyakan mbak. Aku lupa skincare-an tadi pagi."
Jawabku, ngeles level maksimal.
Mbak Bian memandangku dengan tatapan penuh selidik sebentar, sebelum akhirnya menghela nafas.
"Syukurlah! Gue kira lo sengaja ngehindarin gue."
Ucapnya lega, lalu kembali memfokuskan pandangannya ke jalanan.
"Ayolah Cha! Jangan pikirkan omongan ghaib tanpa buktinya Cancan. Yakin aja deh, dia pasti ngomong gitu biar bisa makan ayam tanpa kau sadari. Stop berpikir negatif. Ingat, mas-mas tak dikenal yang sering ngapelin mbak Bian sampe subuh. Sadar Cha, sadar"
Aku mengulang-ulangi rentetan kalimat panjang itu di kepalaku, memperlakukannya bak sebuah mantra untuk menepis semua tuduhan Cancan yang berbisik manja di setiap sudut otakku.
***
"Buset, jatah makan gue 2 hari ini mah!"
Hampir saja aku berteriak histeris saat melihat pamflet yang menampilkan harga gelato dengan berbagai ukuran. Mataku berkali-kali memandangi pamflet harga dan dompet di tanganku yang berisi jejeran lembaran bergambar pak Frans Kaseipo sebanyak 5 lembar. Tanpa sadar aku menelan ludah, kalau aku menuruti keinginanku untuk makan gelato, bahkan ukuran small cone saja sekalipun, maka sudah dipastikan aku harus makan mie instan dengan kuah segaban dua hari ke depan! Oalah mak e, andai saja saat ini dompetku berisi lembaran pak Soekarno-Hatta. Oh bapak proklamator dan bapak koperasi, ku merindukan kalian!
Tepukan lembut yang terasa di pundakku langsung membuat perhatianku yang memandang prihatin ke arah dompet langsung teralihkan. Mataku kini menatap mbak Bian yang sedang tersenyum lebar, memamerkan gigi putihnya.
"Lupa ya ada gue? Tenang aja, gue yang traktir!"
Ucapnya seakan memahami pikiranku.
Aku langsung menggelengkan kepala, menahan tangan mbak Bian yang sudah bersiap untuk memesan.
"Nggak ah mbak, aku dijajani mbak mulu."
Ucapku tak enak.
Mbak Bian langsung menepuk kepalaku pelan, sebelum akhirnya turun untuk mencubit pipiku yang penuh lemak
"Apaan sih, sama mbak sendiri pake nggak enak segala. Udah ah, malu tau kita diliatin dari tadi."
Tanpa menunggu balasanku, mbak Bian langsung memesan.
Lagi-lagi mulutku hanya bisa terplongo saat mengetahui bahwa yang mbak Bian pesan adalah ukuran paling besar. Mbak Bian bahkan tak perlu repot-repot menanyakan rasa apa yang kuinginkan, seakan dia sudah tahu sejak awal.
Mbak Bian lalu menarik tanganku, menuju sebuah kursi kosong. Sedangkan aku hanya fokus memandangi gelato yang ada di atas meja. Aku membelai cup yang ada di depanku dengan khidmat, merasa tak rela untuk memakannya.
Tawa kecil terdengar dari mulut mbak Bian. Dengan cepat dia menyendok gelato milikku dan memaksa gelato rasa mocha chocolate itu masuk ke dalam mulutku.
Mataku langsung membelalak lebar begitu rasa manis lumer di dalam mulutku, membuat kedua tanganku refleks menangkup pipi.
"Enaknya!!!"
Gumamku begitu gelato berhasil masuk ke sistem pencernaanku. Sekarang aku paham kenapa harga gelato bisa semahal itu. Rasanya yang ringan dan tidak menimbulkan sensasi enek benar-benar memanjakan lidahku!
Mbak Bian hanya tertawa kecil melihat ekspresiku. Lagi-lagi memasukkan sendokan gelato berikutnya ke dalam mulutku. Perasaan bahagia yang membanjiriku membuatku lupa bahwa porsiku telah habis. Secara tak langsung tentu saja mbak Bian yang menyuapiku.
"Mau porsi gue?"
Tawarnya saat melihatku yang terus memandangi cup kosong gelato yang sudah bermigrasi ke dalam perutku.
Aku langsung menggelengkan kepala
"Nggak, mbak Bian makan aja."
Jawabku, mengeluarkan HP dan mulai bermain game untuk mengalihkan perhatianku dari porsi gelato mbak Bian yang seolah-olah memanggil untuk kumakan.
"Atau mau beli lagi?"
Lagi-lagi aku menggelengkan kepala cepat. Sebenarnya dalam hati tentu saja aku mau nambah lagi. Apalagi gelato memiliki lemak lebih rendah daripada es krim. Jadi tubuhku yang sudah gempal dari sononya nggak bakalan bertambah gempal (please, ini sih cuma akal-akalanku doang).
"Yakin?"
Mbak Bian menatapku dengan ekspresi tak yakin.
Menelan ludah sejenak, aku menganggukkan kepala setelah berulang kali mengulang-ulang motto hidupku soal traktiran,
"Malu-malu nggak kenyang, nggak kenyang-kenyang nggak tahu malu"
"Bian?"
Saat mbak Bian masih asyik menggodaku. Tiba-tiba seorang pria menghampiri kami, memandang mbak Bian dengan ekspresi tak percaya.
"Lo, Arbian, kan?"
"Arbian Bagaskara?"