Bianca, adalah wanita berusia dua puluh empat tahun yang terpaksa menerima calon adik iparnya sebagai mempelai pria di pernikahannya demi menyelamatkan harga diri dan bayi dalam kandungannya.
Meski berasal dari keluarga kaya dan terpandang, rupanya tidak membuat Bianca beruntung dalam hal percintaan. Ia dihianati oleh kekasih dan sahabatnya.
Menikah dengan bocah laki-laki yang masih berusia sembilan belas tahun adalah hal yang cukup membuat hati Bianca ketar-ketir. Akankah pernikahan mereka berjalan dengan mulus? Atau Bianca memilih untuk melepas suami bocahnya demi masa depan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penawaran Ulang
Panik sekaligus takut, Daniel tidak tahu apa yang terjadi pada Bianca. Bocah laki-laki itu segera menelepon rumah sakit, meminta seorang dokter datang untuk memeriksa keadaan Bianca.
Saat menunggu dokter tiba, Daniel tidak tahu harus melakukan apa. Seluruh pakaian yang dikenakan oleh Bianca basah, bahkan rambut wanita itupun tergerai berantakan.
Daniel tidak bisa melakukan apapun, ia juga tidak mungkin mengganti pakaian Bianca. Rasanya tidak sopan menyentuh seorang wanita tanpa persetujuannya.
"Ma, bisakah Mama datang ke rumah villa Kak Bianca. Tolong datang sekarang, Ma. Cepat!" seru Daniel melalui sambungan telepon.
Rupanya, Daniel menelepon Mamanya. Meskipun Sintia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga anak bungsunya menyuruhnya datang terburu-buru, Sintia merasakan firasat buruk.
Wanita paruh baya itu segera menuju rumah villa Bianca bersama sopirnya. Ia sampai di rumah itu tepat saat seorang dokter tiba.
Melihat keadaan rumah berantakan serta keadaan Bianca yang terbaring lemah di atas tempat tidur, Sintia menangis, ia merasa bersalah. Wanita itu merasa gagal dalam mendidik anak sulungnya. Jika bukan karena Darren, semua ini tidak akan pernah terjadi.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Daniel?" tanya Sintia. Mereka sedang menunggu dokter melakukan pemeriksaan.
"Aku tidak tahu, Ma. Saat aku datang, pintu rumah terbuka, ruang tamu sudah berantakan. Aku menemukan Kak Bianca di kamar mandi dalam keadaan pingsan," jelas Daniel.
Rasa cemas dan khawatir tergambar jelas di wajah Sintia juga Daniel. Mereka tahu, apa yang terjadi pada Bianca adalah kesalahan Darren.
Setelah dokter melakukan pemeriksaan, dokter menjelaskan alasan Bianca pingsan. Wanita itu diduga mengalami dehidrasi berat, seluruh tubuhnya pucat. Dokter mengatakan jika faktor stres bisa mempengaruhi kondisi mental wanita itu.
Saat Sintia meminta dokter memeriksa janin dalam kandungan Bianca, dokter mengatakan jika janin itu masih bertahan.
"Sebaiknya periksakan ke rumah sakit agar bisa mengetahui secara detail kondisi kehamilannya," saran dokter.
"Baik, Dok." Sintia mengangguk.
Dokter meminta Sintia dan Daniel bersabar, Bianca baik-baik saja dan ia hanya butuh waktu beristirahat. Fisik wanita itu sangat lemah, hingga membuatnya kehilangan kesadaran.
Setelah kepergian dokter, Sintia meminta Daniel membereskan semua barang pecah di ruang tamu. Sementara itu, Sintia mengganti pakaian basah Bianca dengan pakaian yang bersih dan kering.
Mengenal wanita sebaik Bianca selama beberapa tahun terakhir, membuat Sintia sangat menginginkan wanita itu menjadi menantunya. Mereka sangat dekat, bahkan Sintia sudah menganggap Bianca sebagai anaknya sendiri.
"Bianca, maafkan Mama," lirih Sintia. Ia menangis sambil mengusap wajah Bianca. Bahkan Bianca sudah memanggilnya 'mama' sejak pertemuan pertama dua tahun lalu.
Selama lebih dari satu jam, Sintia dan Daniel menunggu Bianca dengan khawatir. Mereka cemas karena wanita itu tak kunjung sadar.
Namun setelah Sintia berulang kali menggosok telapak kakinya, Bianca akhirnya terbangun.
"Ma," lirih Bianca. Suaranya serak seperti tertahan di tenggorokan.
Daniel buru-buru menyodorkan segelas air putih dan membantu Bianca minum.
"Bagaimana keadaanmu, Sayang. Apa yang terjadi?" tanya Sintia.
"Darren datang ke sini, dia memintaku menggugurkan bayi ini," jawab Bianca. Nada suaranya bergetar, bibirnya pucat, ia lalu menangis dalam pelukan Sintia.
Kekurangajaran Darren benar-benar tidak bisa di toleransi. Laki-laki itu sudah kehilangan akal sehat, ia sudah dibutakan oleh cinta sesaat. Sintia tidak habis pikir, bagaimana bisa anaknya berbuat seburuk itu pada wanita sebaik Bianca.
Daniel tidak bisa berkata-kata. Ia keluar dari kamar dan membuat makanan untuk Bianca. Hanya berselang beberapa menit, bocah laki-laki itu datang membawa dua potong sandwich.
"Kak, kau harus makan. Setelah ini kita ke rumah sakit," ucap Daniel. Meski awalnya Bianca menolak makan, Sintia terus membujuknya.
***
Di rumah sakit, Bianca sedang melakukan pemeriksaan kehamilan. Sintia dan Daniel begitu setia menemaninya.
Saat ini, dokter menyatakan kondisi janin dalam keadaan sehat. Kini, kehamilan Bianca sudah memasuki usia sepuluh minggu. Namun dokter menyarankan agar Bianca lebih banyak beristirahat dan mengurangi stres, karena di usia janin yang masih muda, keguguran rawan terjadi.
Kondisi fisik dan mental ibu hamil sangat berpengaruh pada kondisi janin. Hal itu mengharuskan ibu hamil untuk memperbanyak istirahat dan bahagia, agar janin dalam kandungannya pun tumbuh dengan baik.
Semua orang sadar, bahagia adalah hal yang mustahil bagi Bianca saat ini. Dalam kondisi ini, Bianca lah yang paling tersakiti, baik secara mental maupun fisik.
Setelah pulang dari rumah sakit, Daniel dan Sintia tetap menemani Bianca. Mereka mengantar wanita itu kembali ke rumah dengan selamat.
"Ma, terima kasih sudah datang. Maaf jika membuatmu repot," ucap Bianca.
"Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Seharusnya Mama yang meminta maaf, ini semua kesalahan Mama," jawab Sintia. Lagi-lagi ia tidak bisa menahan tangis.
"Tidak, Ma. Jangan menyalahkan diri sendiri. Mungkin ini semua karena aku kurang baik."
"Bianca, kau wanita sempurna. Darren lah yang bod*h, dia tidak bisa melihat betapa sempurnanya dirimu."
"Lalu, bagaimana dengan bayi ini? Apa aku harus ...." Kalimat Bianca terhenti, ia tidak kuasa mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya.
Sintia paham tentang apa yang ada dalam pikiran Bianca. Wanita paruh baya itu mengalihkan pandangan pada anak bungsunya yang sedang duduk di dekat mereka.
"Daniel bersedia menikah untuk menggantikan Darren, sekaligus menjadi ayah dari bayi ini. Bagaimana, Bianca? Apa kau mau melakukannya?"
***